10. Amfiteater

3 2 2
                                    

Beberapa bulan terakhir, kualitas tidur Tirta menurun. Setiap kali memejamkan mata, mimpi buruk yang sama selalu menghantuinya. Setelah itu, dia tidak akan bisa tidur karena mimpi itu terus terngiang.

Dalam sehari, dia hanya tidur maksimal tiga jam. Itu pun karena terbangun oleh mimpi buruk. Tanpa sadar, kantung matanya menebal dan dia menjadi terbiasa dengan tidur yang kurang itu.

Mimpi buruknya terus memutar kejadian serupa. Suatu siang, dia pergi mendekati tombak yang tertancap di tempatnya selama berabad-abad. Tidak seorang pun bisa memindahkannya. Entah dengan kekuatan fisik maupun trik sihir, tombak itu tidak pernah bergerak barang satu milimeter pun.

Akan tetapi, Tirta bisa mengangkat tombak itu seperti sedang mengangkat sebuah balon. Terlihat sangat ringan. Bersamaan dengan tombak terangkat, muncul tsunami yang sangat tinggi dan menelan semua yang ada di depannya.

Anehnya, dia tidak ikut terombang-ambing. Dia melayang di udara, seakan ada kaca transparan di bawah kakinya. Dari sana, dia bisa melihat seluruh negeri yang semula terlihat megah dan makmur, diselimuti air laut. Menyisakan puncak kubah istana yang seolah menjadi maesan sebuah negeri yang mati.

Terima aku, Tirta! Terima aku!

Suara serupa bisikan itu berasal dari tongkat yang dia bawa. Dari bilah lancipnya, muncul api hitam yang merembet cepat ke tangannya. Bisikan itu juga terus berulang dan menggema bagai mantra.

Tirta ingin melepas tombak itu karena merasakan bahaya, tetapi tidak bisa. Hingga api hitam itu turut membakar seluruh tubuh, dia akhirnya bangun.

"Apa maksud mimpi itu?" Pertanyaan semacam itu pernah dia tanyakan ke beberapa orang yang dia percaya bisa menjaga rahasia. Ada yang mengatakan itu hanyalah bunga tidur yang tidak perlu dipikirkan. Ada juga yang mengatakan bahwa mimpinya merupakan pertanda akan sesuatu. Ada lagi yang mengatakan jika mimpi yang sama terus berulang, kemungkinan Tirta sedang dalam pengaruh sihir.

Akan tetapi, Tirta tidak merasa memiliki musuh. Kehidupan yang dia jalani sangat tenteram dan jauh dari masalah. Kalaupun ada persoalan, dia akan menyelesaikannya dengan kepala dingin.

Bahkan gadis yang pernah ditolaknya sudah memiliki pendamping hidup. Dia juga tinggal di tempat jauh, di rumah orang tua suami.

Seiring berjalannya waktu, dia mengabaikan semua pikiran itu. Begitu juga dengan mimpinya yang seakan sudah menjadi kisah yang mendampingi kesehariannya.

Hingga dua minggu lalu, badai angin tiba-tiba datang. Desa Raulek tempat Tirta tinggal dibuat luluh lantak. Serbuan angin kencang dan hujan deras meratakan beberapa rumah warga hanya dalam semalam.

Tirta yakin, badai itu bukan badai biasa. Dia merasakan sensasi panas setiap embusan angin dan rintik hujan mengenai kulitnya. Dia juga merasa bahwa badai itu sedang membawa sesuatu yang mengerikan.

Sayangnya, intuisinya terbukti benar. Beberapa hari setelah badai, banyak ternak warga yang mati. Nelayan yang melaut sering pulang dengan tangan kosong. Banyak buah dan sayur siap panen tiba-tiba rusak.

Selain itu, lima warga tiba-tiba jatuh pingsan. Begitu terbangun, mereka berteriak histeris, meraung-raung, dan sering melukai diri seperti orang gila. Baik dokter maupun para penjelajah yang kebetulan mampir, sama-sama tidak bisa memberi penjelasan.

Pada akhirnya, seorang pelancong yang bisa sihir terpaksa menidurkan mereka agar tidak melukai diri. "Mimpimu dan musibah ini masih berhubungan, loh!" ucapnya ketika bertemu Tirta.

Anehnya, Tirta tidak bisa mengingat wujud fisiknya. Sebagai pengidap hyperthymesia, Tirta mampu mengingat detail masa lalu. Jika dia tidak bisa mengingat tampilan fisik seseorang dengan jelas, bisa dipastikan orang itu telah melakukan sesuatu terhadap ingatannya. Apalagi, dia terkadang melihat pelancong itu berseliweran di desanya sepanjang dua minggu terakhir, untuk memantau keadaan para korban.

Spear Wielder: Pengguna TombakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang