"Pantes yang dibilang Seokjin Hyung palsu itu salah."
"Kok bisa?"
"Dia pernah cerita ke gue, kalau Pamannya itu ilmuwan, tapi kata Seokjin Hyung 'kan itu Papanya."
"Oh ya? Emangnya kapan?"
"Pas ... di tempat asing?" jawab Jimin ragu.
Yoongi manggut-manggut paham. "Emangnya pas itu lo ngapain kok bisa ketemu sama Seokjin Hyung yang palsu? Lo ngelakuin hal aneh-aneh ya?"
Jika beberapa orang melihat ini, dipastikan mata mereka tidak akan berkedip. Yoongi, si manusia irit bicara kini mengeluarkan beberapa patah kata. Tentu ini adalah hal paling luar biasa sepanjang sejarah di ARCE-HS. Fakta yang hanya Jimin dan Yoongi ketahui, mereka memang sudah dekat sejak awal menginjakkan kaki di sini.
Tidak heran jika Yoongi kerapkali cerewet saat bersama Jimin.
"Walaupun gue orangnya suka ceroboh nih, Hyung, gue tetep waras! Nggak ada tuh gila-gila atau apalah." Jimin mendengus kasar.
Anehnya, Yoongi bisa tertawa kecil dengan jawaban itu. Padahal jika diteliti lebih dalam, perkataan Jimin tidak merujuk pada hal lucu.
Lihatlah, pangeran Elsa mulai mencair.
"Aneh ya," gumam Yoongi pelan. "Kok bisa Elaroid itu tau semua yang berhubungan sama Seokjin."
Jimin ikut berpikir demikian. "Apa karena itu orangnya ada di dekat kita, Hyung?"
"Bisa jadi, tapi semuanya belum pasti. Titik terangnya belum ditemuin sama sekali."
Hari sudah menjelang sore. Sinar mentari terpancar berwarna oranye, burung-burung mulai berterbangan teratur bersama rombongannya. Sesekali dedaunan bergesekan kecil sebab tertiup angin.
Yoongi dan Jimin sengaja pulang telat. Sebenarnya, mereka sudah keluar dari sekolah sejak satu jam yang lalu. Sekarang hari Jum'at, otomatis besok merupakan hari libur. Sekaligus waktunya libur panjang bagi para murid seperti mereka. Maka dari itu, keduanya memanfaatkan waktu untuk memecahkan teka-teki sekaligus melepas penat setelah melewati hari-hari mengerikan itu.
Tenang saja, keduanya satu arah jalan pulang.
"Seharusnya kita sama seperti manusia lain, yang bebas ngelakuin apa aja tanpa dihantui rasa takut," ungkap Jimin menatap lurus indahnya langit. Kapan ya, terakhir kali ia menikmati ciptakan Tuhan itu? Mungkin semenjak ia bergabung menjadi bagian dari ARCE-HS? Entahlah. Yang pasti, Jimin sedikit menyesal.
"Kita nggak bisa mengalahkan takdir gitu aja, Jim. Jangan buat seolah-olah Tuhan paling bersalah di sini, padahal itu ada campur tangan kita. Karena sejatinya, setiap pilihan akan ada konsekuensinya." Yoongi tau betul apa yang dirasakan Jimin, sebab ia juga sama merasakannya.
Sederhana itu menikmati hidup. Melihat langit cerah dihiasi awan-awan yang bergerombol jadi satu. Lantas seperti itu saja, hati seolah mengucapkan banyak kalimat Agung untuk yang menciptakannya.
"Setelah ini, apa iya kita bakal bisa hidup damai, Hyung? Gue rindu, rindu bangetttt sama kehidupan gue dulu. Jauh sebelum kenal sama Arcane."
Yoongi tersenyum teduh, ia menepuk pelan bahu Jimin. "Sedikit lagi, Jim. Ayo kita cari kebenarannya dan setelah itu, lo boleh hidup seperti yang lo dambakan. Gimana?"
Mengambil napas dalam-dalam, menghembuskannya perlahan. Dengan mata terpejam, Jimin merasakan hatinya menghangat. Iya, ia butuh sedikit lagi untuk berada di alam bebas.
"Lagian, mana Jimin yang suka tantangan itu? Mana Jimin yang ceroboh? Dan mana Jimin yang dikenal nggak punya rasa takut?" lanjut Yoongi.
"Janji, Hyung? Kita bakal sama-sama sampai akhir?"
"Gue nggak bisa janji, tapi gue bakal berusaha semampu dan semaksimal yang gue bisa."
Hari ini, Seokjin mengundang Jay untuk berkunjung ke rumahnya. Padahal, jarak rumah keduanya membutuhkan banyak waktu. Sekitar lima jam dan itu harus Jay turuti sebelum Seokjin tantrum parah.
Jay tidak perlu berkelit untuk mencari pesawat terbang. Alasannya? Tentu saja karena ia anak orang kaya. Bahkan keluarga besar Seokjin dan Jay banyak yang mengenal. Hanya beberapa tidak terlihat kamera.
Sepulang sekolah, tanpa basa-basi Jay memesan tiket pesawat. Dan langsung lepas landas detik itu juga. Dalam pesawat itu hanya ada Jay, pilot dan beberapa pramugari. Tenang, pramugarinya sudah tante-tante. Ya kali, Jay tertarik. Eh, tapi bisa jadi.
Setelah memakan waktu yang cukup, Jay sampai di kediaman Seokjin. Bangunannya sedikit asing di ingatannya, karena sudah lama dirinya tidak berkunjung. Kemewahannya masih sama terasa.
"Loh? Kok cepet?" Seokjin menampakkan diri dengan tampang dibuat sepolos mungkin. Ia menjilati es krim sambil bersandar pada pintu utama.
Jay menatapnya datar, lalu menyelonong masuk begitu saja.
"HEH! DASAR NGGAK BERAKHLAQ!" teriak Seokjin, pakai qalqalah pula.
"Kamar gue di mana, Dude?" tanya Jay.
Seokjin makin melotot dan naik darah. Ia melemparkan benda yang ada di tangannya. "Dad, Dud, Dad, Dud pala kau!"
Jay mudah menghindar. Melihat benda yang dilemparkan Seokjin menggelinding lama. Mata Jay memicing tajam, benda ini ... seperti tidak asing. "Benda apa tuh?"
Seokjin tersadar. "OH MAIIII! ITU BENDA PENTING JAY!!!" Dan kembali memungut benda tersebut.
Kompak keduanya menatap benda tidak asing itu dengan tatapan rumit.
"Nemu di mana?" Jay membuka suara, rendah.
"Di dalem Elaroid, waktu Jungwon pingsan."
"Kok bisa?" gumam Jay pelan. Kemudian melirik Seokjin. "Kelakuan ...?"
"Bisa jadi," balas Seokjin cepat. Sudut hatinya merasa ngilu luar biasa. Perasaan kecewa sekaligus sedih mulai mendera. "Kayaknya bener, ada pengkhianat."
"Bukan pengkhianat, tapi psikopat," ralat Jay. "Lo nggak perlu sedih, kita buktiin sama-sama nanti."
Ya, benda tidak asing itu merupakan sebuah pin warna merah darah. Yang artinya, dalang dibalik semuanya ada di sekitar Seokjin sendiri. Atau kalian bisa menyebutnya ... teman-teman Seokjin.
Kira-kira, siapa dia sebenarnya?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[ilustrasi rumah Seokjin]
klo ada aku di sana, paling bisanya jdi semut.
ada yg kalian curigai ga salah satu temennya Seokjin? oh, apa jgn" Seokjin sendiri? 😱