02 - 𝙇𝙄𝙇 𝘽𝙍𝙊𝙏𝙃𝙀𝙍

106 16 1
                                    

𝙎 𝙀 𝙍 𝙀 𝙉 𝘼 [𝘽𝙄𝙉𝙃𝘼𝙊]

•••

••

Pada saat itu, Hanbin kecil yang berumur lima tahun selalu menantikan kepulangan sang Ayah dari tempat kerja. Dia akan duduk dengan manis di atas sofa, kemudian terdiam seraya menebak nebak sesuatu apakah yang akan di bawa ayahnya saat tiba nanti. Keadaan di luar pun ia intip melalui gorden yang sedikit terbuka. Rupanya halaman depan rumah telah basah dengan lebatnya air hujan. Wajahnya tampak khawatir saat tidak melihat ada tanda-tanda kepulangan sang Ayah padahal jarum panjang jam sudah melewati angka 10 di mana biasanya sosok yang ia tunggu telah tiba.

Hanbin kecil yang hampir menyerah menunggu Ayahnya, dengan kelopak mata nyaris tertutup sebab mengantuk, spontan beranjak dari sofa kala mendengar suara mesin mobil yang tak asing. 'Ayah pulang!' serunya senang. Jari-jarinya yang mungil menarik kenop pintu, senyum manisnya terpatri semakin lebar ketika Ayahnya turun dari mobil tentunya tanpa tangan kosong.

"Ayah, bawa apa?"

Biasanya, beliau akan membawa banyak makanan enak dari penjual yang sering berjualan di pinggir jalan. Kadang juga membawa sekotak susu serta roti dari cakes bakery langganannya. Tapi malam itu, apa yang dibawa sang Ayah tampak lebih besar dari apa yang ia duga. Bahkan, terbungkus keranjang bukan kantong plastik seperti biasa.

"Itu apa, Ayah? Kenapa besar sekali? Itu mainan ya?"

Beliau tersenyum, namun wajahnya menggeleng.

"Bukan, Nak, ini bukan mainan." Katanya, lantas meletakkan keranjang tersebut tepat di hadapan anak satu-satunya itu.

Di malam itu Hanbin tahu jika apa yang di bawa Ayahnya adalah seorang bayi laki-laki yang bahkan masih merah. Wajahnya begitu kecil dan imut seperti dirinya. Telapak tangannya terkepal erat dan tubuhnya yang di pakaikan pakaian hangat pun terlihat naik-turun menandakan bahwa bayi tersebut bernafas dengan baik.

Tapi, dia bingung. Mengapa Ayahnya membawa pulang seorang bayi?

"Dia sendirian, Nak. Dia tidak sepertimu yang masih memiliki Ayah dan juga Ibu."

Hanbin kecil itu adalah perasa dan mudah sekali iba. Hanya dengan mendengar kalimat seperti itu saja, matanya spontan berkaca-kaca. "Hanbin tidak keberatan 'kan jika adik bayi menjadi bagian dari keluarga kita?"

"Adik bayi?" matanya yang berkaca-kaca menyiratkan kebingungan.

"Iya, adik bayi yang suatu saat nanti akan memanggilmu kakak, kak Hanbin? "

Kak Hanbin? Mendengar dirinya di panggil kakak saja, Hanbin sudah sangat bahagia.

"Kamu akan tumbuh besar bersamanya, dia yang akan menemanimu jika Ayah dan Ibu tidak ada. Dia akan menyayangi serta menjagamu."

"Benarkah?"

"Tentu saja, Nak. Tapi, kamu juga harus melakukan hal yang serupa. Jadilah kakak yang baik untuknya dan jangan pernah kalian meninggalkan satu sama lain. Hanbin bisa?"

Sejatinya Hanbin hanyalah anak berusia lima tahun yang mungkin hanya tahu jika ia menyayangi dan menjaga adiknya itu adalah perkara yang mudah tanpa tahu bahwa di masa yang akan datang, untuk melakukan kedua hal tersebut ia harus melakukan pekerjaan keji. Dan itu semua semata-mata hanya untuk Adiknya saja, Han Yujin.

.

"Kenapa? Makanannya tidak enak?"

Hanbin bertanya saat menyadari jika sedari tadi, adiknya itu hanya diam saja seraya memperhatikan makanannya yang tak kunjung di makan juga padahal ini adalah makanan yang sempat adiknya itu inginkan beberapa hari lalu.

"Kau ada masalah di sekolah, hm?" Yujin menggeleng.

"Lalu?" Alih-alih sebuah jawaban, yang Hanbin dapatkan dari adiknya justru secarik kertas. Ia membuka untuk membaca setiap kata yang tercetak di kertas tersebut.

'Penyelenggaraan kegiatan berkemah bagi siswa dan siswi kelas 1 di tahun 2024' adalah apa yang menjadi inti utama dari surat yang di bacanya.

"Kalau kak Hanbin tidak ada uang tidak apa-apa, aku-"

"Ikut saja." Katanya.

"Kau suka sekali dengan alam Yujin, kakak tau itu. Di sana kau juga akan bersenang-senang, bukankah begitu?"

"Tapi, kita tidak punya uang, Kak. Biaya kegiatannya juga bahkan lebih mahal dari uang jajanku seminggu."

Hanbin tidak tahu apakah ia harus menangis karena sedih dengan keuangan mereka atau justru tertawa karena perkataan Yujin. Tapi sebagai kakak yang baik, apa pun akan dia usahakan sekalipun itu tentang uang, karena sejak kedua orang tuanya meninggal dunia ia tidak tahu siapa lagi yang harus ia bahagia-kan. Sisa hidupnya ia dedikasikan penuh untuk Yujin, adiknya yang paling berharga.

"Yujin, kau tidak usah terlalu memikirkan soal uang. Kau hanya perlu memberitahu kakak berapa biayanya dan apa saja yang kau butuhkan, hm? Lagi pula, kita masih punya tabungan yang tersisa. Di pakai saja, nanti kakak cari lagi"

"Kak Hanbin berbicara seolah mencari uang itu adalah hal yang mudah." Yujin mengatakannya sembari berdecak.

"Hei, kau lupa ya jika kakakmu ini pintar mencari uang?"

"Aku tahu, tapi- aku malu karena uang-uang itu sebagian besar habis karena kebutuhanku."

"Tidak usah malu, sejak Ayah dan Ibu tidak ada, tujuan kak Hanbin hidup itu cuman satu yaitu membahagiakan kamu. Jadi, kalau uang-uang itu tidak dipakai untuk memenuhi kebutuhanmu, akan kak Hanbin pakai untuk apa coba?"

"Memangnya kak Hanbin tidak ingin beli sesuatu? Jangan terlalu fokus padaku, kak Hanbin juga harus merasakan semua uang yang sudah kak Hanbin cari dengan kerja keras sampai bercucuran keringat. Aku akan sangat senang kalau kak Hanbin melakukan banyak hal seperti orang dewasa yang sering aku lihat di tempat tongkrongan."

"Baiklah, Pangeran." Hanbin sedikit menggoda adiknya.

"Kak.. aku serius."

"Kakak juga." Balasnya. Lantas mengusap pucuk kepala Yujin dengan penuh kasih sayang.

"Terima kasih sudah peduli, kakak beruntung sekali memiliki adik seperti Yujin."

Sungguh, kalau pun memang ada nominasi 'siapakah yang paling beruntung di antara mereka berdua' maka sudah terlalu jelas bahwa Yujin adalah pemenangnya. Bukankah benar?

••

•••

TO BE CONTINUE

fyi fanfic ini tuh bakalan slow burn bgt jadi harus sabar nunggu update dan juga alurnya. jangan lupa bantu promosi biar makin semangat yahhh 😋

SERENA [BINHAO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang