Chapter 1

20 1 0
                                    

Di bawah sinar bulan purnama yang membentang di langit malam Jakarta, sebuah rumah mewah di kawasan elit Pondok Indah berdiri megah dalam keheningan. Dari kejauhan, seolah tak ada yang mengusik ketenangan malam itu. Namun, hanya segelintir orang yang tahu bahwa di balik kemegahan dan kesunyian itu, sesuatu yang kelam sedang terjadi.

Di atas balkon, seorang pria berdiri dengan tatapan tajam yang menembus pekatnya malam. Mata coklatnya berkilau dingin saat memandangi selembaran kertas di tangannya. "CEO BioAdvance Technologies, Victor Salim," gumamnya, suaranya tenang namun penuh ancaman yang terpendam.

Pria itu, Gabriel Rorschach, menoleh ke arah rumah mewah di depannya. Beberapa mobil mewah baru saja tiba, dikawal ketat oleh tujuh polisi bersenjata lengkap dan empat pengawal pribadi. Mereka bergerak dengan disiplin tinggi, menunjukkan bahwa targetnya dijaga dengan baik.

Namun bagi Gabriel, semua itu hanyalah tantangan kecil. Dia tersenyum tipis, memandangi rumah besar itu seakan sudah menjadi miliknya. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan gugur. Purnama yang bersinar terang tanpa awan, seolah menjadi saksi bisu atas rencana kelam yang siap dia ungkapkan.

Gabriel tampak menawan, sosok yang dengan mudah bisa menipu mata yang tak jeli. Dengan senyum yang lembut, ia menatap langit malam. Rambut hitam panjangnya berayun lembut di bawah topi berbulu hitam yang dikenakannya menambah kesan malaikat maut. Dengan gerakan perlahan, Gabriel mengeluarkan pemantik api dari saku blazer-nya. Nyala api kecil dengan cepat melahap lembaran kertas di tangannya, meninggalkan abu yang tertiup angin.

Gabriel melangkah masuk ke dalam rumah kosong setelah sebelumnya mengamati rumah mewah di seberangnya dari balkon. Suara langkah kakinya menggema di sepanjang koridor, menciptakan melodi suram yang seakan mengukir ketakutan di jiwa siapa pun yang mendengarnya. Setiap langkahnya terasa seperti detik-detik yang mengantarkannya menuju tujuannya. Tanpa tergesa, dia menuruni tangga menuju pintu utama, seolah menikmati ketenangan sebelum kekacauan tiba.

Sambil melirik arlojinya, Gabriel berbisik pelan, "Lima detik lagi, semuanya akan hening."

Ketika pintu utama terbuka, pemandangan di hadapan Gabriel bukanlah perumahan yang ramai, melainkan jalanan sepi yang dipenuhi tubuh-tubuh tak bernyawa. Polisi dan penjaga yang seharusnya tengah menjaga rumah mewah itu kini tergeletak dengan wajah-wajah yang membeku dalam teror terakhir mereka.
Darah mengalir dari mulut dan hidung mereka, menciptakan kontras dengan ketenangan Gabriel yang melangkah dengan santai melewati mereka.

Dia memasuki rumah yang kini sunyi senyap. Suara sepatu botnya terus menggema, bagai musik gelap yang mengisi kehampaan di sekitarnya. Di lantai dua, di balik pintu tertutup, Victor Salim, targetnya, bersembunyi dalam ketakutan.

Gabriel mendekati pintu itu dan membukanya perlahan. Di dalam, Victor berdiri dengan punggung menghadap balkon. Tangannya gemetar memegang pistol yang tampak terlalu berat untuk diangkat. Saat melihat Gabriel berdiri di ambang pintu, dengan tatapan dingin dan senyum tipis yang menghiasi wajahnya, mata Victor melebar.

"Gabriel Rorschach? Bagaimana kamu bisa masuk ke rumahku? Apa yang terjadi pada polisi dan bawahanku?" Suara Victor terdengar bergetar, ketakutannya tak lagi bisa ia sembunyikan. Wajahnya semakin pucat saat mendengar jawaban Gabriel.
"Mereka semua mati," jawab Gabriel datar, seolah menyampaikan hal yang sepele.

Victor menelan ludah dengan susah payah, tangannya yang memegang pistol gemetar hebat. "Tidak mungkin..." Matanya bergerak liar, menyoroti seluruh ruangan seperti orang yang tersesat dalam ketakutan. Namun, dalam hitungan detik, Victor berhasil mengendalikan ketakutannya, cukup untuk membuat Gabriel terkesan. Ada kekuatan dalam dirinya yang berusaha melawan rasa takut itu, seolah Victor menolak tunduk begitu saja.

"Kamu tidak akan bisa membunuhku! Sebelum kamu sempat melakukannya, aku akan menembak kepalamu lebih dulu!" teriak Victor dengan suara yang dipenuhi keputusasaan.

Senyum Gabriel semakin lebar, matanya bersinar dengan kecerahaan yang aneh, tanpa sedikit pun rasa gentar. Dia berdiri tak bersenjata, hanya ada pemantik api yang tampak tidak berbahaya dan tersimpan di dalam saku. "Silahkan," jawabnya tenang.

Raut wajah Victor berubah bingung, satu alisnya terangkat meksi ketakutan masih jelas terpampang. Namun, lebih dari itu, rasa tidak nyaman mulai menyelinap. Tiba-tiba, darah mengalir dari hidungnya, diikuti oleh semburan muntahan darah yang deras. Wajah Victor perlahan berubah pucat saat kepanikan mulai menggigit kesadarannya. Tubuhnya melemah, tangannya tak lagi mampu menggenggam pistol yang akhirnya terjatuh ke lantai. Victor terjatuh, tubuhnya terkulai di lantai. Dia berusaha menghentikan aliran darah yang terus keluar dari hidung dan mulutnya.

"Bagaimana... kamu... melakukannya?" Suara Victor terdengar tersendat-sendat, tubuhnya semkain lemah.

Gabriel mendekat, matanya penuh ketenangan saat dia mengambil pistol yang tergeletak di lantai, mengarahkannya ke kepala Victor. "Aku tak butuh senjata untuk membunuhmu," ucap Gabriel sembari melirik ke arah secangkir kopi kosong di meja, tidak jauh dari mereka berdua.

Mata Victor mengikuti arah pandangan Gabriel, dan saat kesadarannya meresap sepenuhnya, kengerian menguasai seluruh tubuhnya. Memicu mekanisme detak jantung yang semakin cepat.

"Kamu... bagaimana bisa kamu melakukannya?" bisiknya dengan napas yang semakin berat.

"Dia... mengatakan padaku... bahwa seseorang akan... menghancurkan bisnisku. Kamu bekerja... untuk siapa?"
Gabriel tetap diam, hanya senyum yang semakin lebar. Tanpa kata-kata, dia menarik pelatuk pistol. Suara tembakan menggema memenuhi ruangan yang sunyi, diikuti oleh tubuh Victor yang tak bernyawa. Genangan darah dan tubuh tergeletak di lantai, menjadi saksi bisu kematian seorang CEO BioAdvance Technologies.

Langkah kaki Gabriel sangat tenang, dia berjalan menuju lukisan abstrak di dinding. Sebuah lukisan yang menggambarkan bunga mawar merah, dengan latar belakang noda darah.

Bukan lukisannya yang menarik perharian Gabriel, melainkan brankas yang tersembunyi di baliknya. Gabriel dengan mudah menekan kombinasi angka tanpa ragu dalam satu kali percobaan, brankas itu terbuka, menampakkan tumpukan uang, bungkusan putih, dan beberapa dokumen. Tanpa banyak pikir, Gabriel mengambil salah satu bungkusan putih, lalu meletakkannya di lantai di dekat mayat Victor.

Dia berjongkok, mengeluarkan kuas dari saku blazernya, lalu mencelupkannya ke dalam darah Victor. Dengan gerakan pelan dan pasti, Gabriel menuliskan sebuah kutipan di lantai di sebelah tubuh Victor: "To be, or not to be."

Gabriel mengamati mahakaryanya dengan rasa puas dan menaruh kuas itu di samping tubuh Victor. Sebelum pergi, Gabriel memandang tubuh tak bernyawa di hadapannya untuk terakhir kali. "Aku nantikan pertunjukan selanjutnya," bisiknya pelan, sebelum akhirnya melangkah keluar, menghilang dalam kegelapan malam yang dingin.

Tabir KegelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang