Chapter 2

3 1 0
                                    

Gerimis kecil membawa udara dingin yang menusuk, menyapu jalanan Jakarta yang selalu macet. Meskipun begitu, sebuah kafe di sudut kota tetap di datangi pengunjung yang mencoba menghangatkan diri dari cuaca tak bersahabat dengan menyesap kopi hangat. Namun, Zane Campbell tidak datang ke kafe itu hanya untuk kopi.

Zane melangkah dengan tenang, menyusuri trotoar basah. Blazer panjangnya berkibar lembut di belakangnya, membuat penampilannya berbeda dari kebanyakan orang yang berlalu-lalang. Dengan rompi double-breasted dan topi bowler yang miring di kepalanya, Zane seperti membawa sentuhan masa lalu ke kota yang penuh hiruk-pikuk modern.

Sepatu kulit hitamnya yang mengkilap menambah kesan rapih dan elegan, meski tubuhnya yang pendek membuatnya tak terlalu mencolok di keramaian.

Saat dia memasuki kafe kecil itu, lonceng di atas pintu berdenting, seolah menyambut kedatangannya. Aroma kopi yang hangat segera memenuhi udara, membuat suasana kafe terasa nyaman meski tak terlalu ramai. Di sudut bar, seorang pemuda berambut coklat kusut melambai penuh semangat.

Liam Carter Moreau, rekannya di agen detektif swasta, duduk santai dengan secangkir kopi mengepul di depannya. Usianya baru dua puluh empat tahun, tapi sorot mata tajamnya menunjukkan kecerdasan dan ketelitian yang telah terbukti berulang kali.

"Zane! Ayo kemari. Aku butuh teman bicara," seru Liam dengan senyum lebar.

Zane mendekat dan mengambil tempat di sebelah Liam, lalu memesan secangkir latte untuk mengusir dingin yang masih terasa menggigit. Kontras dengan penampilan Zane yang rapi dan berkelas, blazer panjang Liam tampak usang, dengan jahitan di beberapa tempat. Namun, meski penampilannya tampak acak-acakan, Liam memancarkan ketajaman dan ketenangan yang tidak bisa diremehkan.

Zane menyeruput kopinya perlahan, menikmati rasa manis yang memenuhi mulutnya. Wajahnya sedikit berseri, seperti anak kecil yang baru saja menemukan sesuatu yang manis dan menyenangkan. Setelah meneguk beberapa kali, dia membuka percakapan.

"Sudah ada kabar dari Pak Edgar?" tanya Zane, suaranya datar, matanya tetap fokus pada cangkir di tangannya.

"Belum," jawab Liam sambil menatap ke luar jendela, di mana gerimis pagi hari masih terlihat jelas di balik kaca.

"Dia sedang bertemu dengan Andy Saputra, teman lamanya di Badan Investigasi. Tapi..." Liam terdiam sejenak, ekspresi seriusnya berubah seketika, dengan senyuman kecil muncul di wajahnya. "Kamu pernah dengar tentang 'Bunuh Dir Hamlet'?"
Zane langsung menunjukkan ekspresi antusias, mengikuti keanehan Liam yang sering kali berbicara tentang kematian dengan terlalu bersemangat.

Mata Zane berkilat cerah, penuh rasa ingin tahu. "Apa itu tentang kasus bunuh diri politisi?" tanya Zane penasaran.

Liam melambaikan tangan, bibirnya mengerut, tampak geli. "Bukan, bukan. Aku bicara soal Pangeran Hamlet dari Denmark. Tapi tentu saja, politisi sering kali bernasib sama. Dunia yang mereka kendalikan penuh dengan racun, dan akhirnya mereka terjebak dalam ironi bunuh diri."

Zane merenung, dahinya mengerut dalam-dalam, jelas dia mencoba mencerna kata-kata Liam. Dia tak peduli meski Liam tertawa pelan melihat reaksinya, layaknya anak kecil yang baru saja diejek. Tapi teka-teki itu membuatnya tertarik. "Aku masih belum mengerti, mengapa seseorang menginginkan 'Bunuh Diri Hamlet'."

Zane mengaduk kopinya dengan sendok kecil, ekspresinya berubah cemberut, dan tampak tidak senang. Namun di saat yang bersamaan, pemikiran mereka seolah terhubung, hingga keduanya mengucapkan hal yang sama.

"Jalan pikiran orang gila," serempak mereka berdua berkata.

Zane mengerutkan bibirnya dan memalingkan wajah ke arah lain, tetapi Liam tertawa keras. Beberapa pengunjung kafe mulai melirik ke arah mereka, heran dengan tingkah dua pria yang terlihat begitu heboh.

Tabir KegelapanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang