[S2] Anak Kita.

13 3 1
                                    

Hingga kini, Ara masih menutup diri untuk kembali berkomunikasi dengan Soohyun. Ia sebisa mungkin menghindari setiap usaha Soohyun yang datang ke daycare Ha-joon setiap hari, mengikutinya sampai ke sekolah tempatnya mengajar, membuntuti mereka sampai pulang ke rumah dan seperti pagi ini, mobil Soohyun sudah berada di parkiran minimarket tepat di sebrang gedung apartemen tempat Ara tinggal. Bisa sangat ditebak, pria itu pasti menunggu ia dan Ha-joon turun.

Ara menghela napas berat, ia tahu konyol sekali jika terus menghindar dari Soohyun, Ha-joon adalah darah dagingnya. Ia tidak bisa terus menjauhkan Ha-joon dari ayahnya. Namun, kepalanya bersikeras menanam pikiran untuk tidak lemah, belum saatnya Soohyun tahu.

Tapi, sampai kapan?

Pikiran itu silih berganti berkecamuk di dalam otak Ara,

"Eomma, kajja?" panggil Ha-joon pada ibunya yang terlihat termenung di depan jendela.

Ara tersadar dari pikiran kalutnya, tersenyum lalu pada Ha-joon, kemudian menggandeng tangan Ha-joon sembari berjalan keluar dari unitnya.

"Kajja," sahutnya lembut.

Sesampainya Ibu dan anak itu di depan minimarket, benar saja, Soohyun menghampiri mereka dengan sebuket bunga peony segar dan satu tas kertas jinjing di tangan yang satunya.

"Annyeonghaseyo, Ara-ssi, Ha-joonie," sapa Soohyun ramah. Ha-joon membalas sapaan pria itu dengan menyahut kecil khas balita. Sementara, Ara hanya menganggukkan kepalanya pelan tanpa menatap pria itu langsung.

"Ah, ini, saya punya hadiah untuk kalian berdua, sekaligus sebagai permintaan maaf soal beberapa waktu yang lalu-..," belum selesai pria itu berucap, Ara buru-buru memotongnya dan mendorong pelan tangan Soohyun yang bermaksud memberikan buket bunga untuknya,

"Anieyo, gwaenchanayo, saya sudah memaafkan anda dari jauh-jauh hari, anda tidak perlu memberikan apapun pada kami. Ayo, Ha-joon, nanti kamu terlambat ke sekolah,"

Ara buru-buru menggandeng tangan Ha-joon dan hendak berjalan cepat namun tangan Soohyun yang menahan lengannya, menghentikan langkahnya.

"Tolong, terima hadiah yang untuk Ha-joon saja, tidak apa-apa jika anda tidak menerima bunga ini, tapi tolong, terima hadiah untuk Ha-joon," Tatapan Soohyun yang begitu memohon tampak tulus bagi Ara, ia pun mau tak mau menerima tas kertas jinjing itu dari Soohyun.

Ha-joon nampak penasaran dengan isi tas kertas itu ketika pria cilik itu mendengar bahwa itu hadiah untuknya. Melihat antusiasme Ha-joon akan hadiah darinya, Soohyun tersenyum kecil,

"Ha-joonie, ayo, bilang terima kasih pada Paman Soohyun," ucap Ara penuh nada keibuan.

Ha-joon mengangguk kemudian membungkukkan badannya di hadapan Soohyun, mengangkat badannya kemudian menampakkan senyum senang sambil berucap terima kasih pada pria itu. Mata pria cilik itu melengkung ikut tersenyum seperti bulan sabit. Soohyun membungkuk, menyejajarkan pandangannya dengan pandangan Ha-joon dan alangkah terpesonanya pria tampan itu melihat mata dwiwarna milik Ha-joon bersinar cerah, sirat dengan kebahagiaan. Warna mata itu, membuatnya jatuh cinta pada anak laki-laki ini, warna mata itu pula yang dulu mempesona hatinya, menjadikannya pria paling beruntung yang bisa memiliki pemilik warna mata paling cantik itu. Tapi itu dulu. Seolah terpukul oleh kenyataan, mata gelap milik Soohyun terlihat sedikit berair. Ara juga, namun dengan alasan yang berbeda. Betapa Ara selalu memimpikan momen Ha-joon bisa berinteraksi sehangat ini dengan ayah kandungnya. Namun, kenyataan kejam kembali menusuk jantungnya.

PraharaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang