1. Penjaga Laila

160 51 265
                                    

Pagi hari yang cerah menjadi awal keberanian gadis pemalu seperti Laila. Hari ini adalah hari pertamanya menjadi seorang mahasiswi di Universitas Solehuddin. Universitas tersebut merupakan Perguruan tinggi berbasis islam ternama di Indonesia.

"Ayah jangan lupa jemput Laila," pinta gadis berkerudung panjang warna hitam usai turun dari boncengan motor ayahnya.

"Iya, nanti telefon ayah kalau udah pulang."

"Bener ya, jangan telat jemput Laila," kata Laila, matanya menyipit.

Ayah Laila menghembuskan napas, lalu tersenyum. "Laila takut sendirian lagi, ya?" Laila bergeming sebentar, ia mengangguk pelan.

"Ayah nggak minta Laila jadi pemberani, tapi Laila harus percaya diri, ya. Laila harus percaya kalau Laila nggak bakal sendirian." Nasihat ayahnya pagi ini menjadikan Laila sadar akan perkataan ayahnya.

"Laila pasti punya banyak teman di sini. Nanti setelah masuk gerbang, pasti ada teman baik yang deket sama Laila," sambungnya.

"Iya, Yah." Laila mengangguk.

Ayah Laila tersenyum kecil. Lelaki paruh baya itu mencium kepala putrinya yang dibalut oleh kerudung.

"Yaudah kalau gitu ayah pulang dulu." Ayahnya pamit, dan Laila melangkah menuju Universitas yang ia dambakan sejak dulu.

Laila Nafisatun Husna, gadis cantik nan solehah berumur 20 tahun. Seorang gadis penyendiri, takut keramaian, dan sulit berkenalan dengan orang baru. Dia memang gadis penyendiri, tapi dia takut sendirian.

Mungkin hal itu kurang dimengerti karena Laila hanya takut ditinggal sendirian oleh ayahnya. Laila hanya tinggal bersama ayahnya, ibunya sudah tiada belum lama ini. Dia tidak ingin ayahnya meninggalkannya juga.

Ayahnya adalah satu-satunya laki-laki yang sangat ia cintai. Bahkan sampai sekarang, Laila enggan menerima lelaki lain untuk singgah di hatinya selain sang ayah.

Laila melangkah dengan kakinya yang ditutupi oleh rok panjang berwarna hitam. Tidak seperti yang lain ada yang berlari dan saling bergandeng tangan bersama temannya.

Laila berjalan sambil menundukkan kepala menuju lapangan, dimana seluruh peserta MABA-nya dipinta menuju lapangan dan duduk bersama kelompok.

Brukkk!

"Astaghfirullah!"

"Aduh."

Keduanya terkejut karena tak sengaja bertabrakan.

"Afwan.., " ucapnya. Lelaki berbadan tinggi tegap, baju koko putih, celana panjang hitam. "Bentar, kamu Laila?"

Laila menundukkan kepala dengan wajah terbenam ke bawah, ia terkejut sekaligus bingung. Memperlihatkan wajahnya saja tidak, bagaimana laki-laki ini mengenal dirinya? Apakah mereka pernah bertemu?

Laila malah diam saja di tengah pertanyaan lelaki di hadapannya. Ia malah terus menundukkan kepalanya, enggan berhadapan.

Lelaki itu tertawa kecil. "Ah iya, saya Abi mahasiswa baru di sini juga."

Tak ada jawaban dari Laila, kepala perempuan itu tertunduk ke bawah. Dia tidak menanggapi lelaki di hadapannya.

"Oh, mungkin saya salah orang."

Lelaki yang diketahui bernama Abi itu menggaruk kepala belakangnya yang tak gatal.

"Saya disuruh temen saya buat jagain sepupunya. Katanya kuliah di sini juga, makanya saya celingak celinguk deket gerbang liatin MABA yang masuk, siapa tau saya nemu orangnya." Abi menjelaskan.

Garis untuk LailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang