Prolog

1.6K 108 15
                                    

Devanio Arkan Emeraldi Utama dan Devanio Arlan Emeraldi Utama adalah putra kembar non identik yang dilahirkan Inka beberapa bulan pasca Gibran meninggal. Sayang, keduanya terpaksa harus hidup terpisah karena keadaan. Arkan sang kakak yang sejak kecil sering sakit, jelas menghadirkan kekhawatiran di benak orang tuanya. Berkaca dari kehilangan Gibran, mereka bertekad untuk tak lalai menjaga putranya. Kecemasan itu pula yang membuat Devan dan Inka mengambil keputusan besar dengan menitipkan Arlanyang dianggap lebih sehatpada ibunda Inka di Bandung.

"Adek jangan nakal, ya. Bunda marah jalau Adek nakal. Nanti Ayah sama bunda ke Bandung satu bulan sekali."

"Kenapa Adek enggak boleh sama Aa, Bunda? Adek juga mau tinggal sama kalian di Jakarta."

"Aa sering sakit, repot kalau bunda harus membagi perhatian. Bunda enggak mau Adek merasa selalu jadi yang kedua karena bunda fokus sama Aa. Nanti kalau Adek sudah besar, baru boleh ke Jakarta."

Arlan yang waktu itu baru berusia tujuh tahun, hanya bisa mengangguk. Dengan kepala tertunduk, bocah laki-laki itu menghampiri sang kakak, lantas menggenggam tangannya. "Aa cepat sembuh, ya. Jangan sakit-sakit lagi. Adek pasti berdoa dari sini," katanya dengan nada lirih.

Arkan membawa sang adik ke dalam pelukannya. "Adek jaga diri. Harus sayang sama Nenek."

Semula Arlan patuh. Ia diam saja menyaksikan kepergian ayah, bunda, juga kembarnnya. Namun, detik berikutnya bocah kecil itu berlari. Arlan menarik ujung kemeja ayahnya sembari berkata, "Ayah, adek mau ikut. Jangan tinggalin adek, Yah. Adek enggak mau jauh sama Aa."

Devan melepas tangan-tangan mungil Arlan yang semula tertahan di kemejanya. "Untuk sekali ini saja ayah mohon Adek jangan nakal! Jangan pernah merengek ingin ke Jakart kalau ayah dan Bunda tidak menjemput ke sini! Mengerti?"

"Tapi, Yah ...."

Pria itu menatap putranya dengan tatapan tak ingin dibantah. Hingga pada akhirnya, Arlan benar-benar membiarkan mereka meninggalkannya.

Arlan mengepalkan tangan, berusaha mengalihkan rasa sakit yang tercetak dalam di hatinya. Satu bulan sekali yang dijanjikan bundanya tak jua ditepati. Dari ia kecil dan belum matang pikirnya, hingga bermetamorfosa menjadi remaja dengan beragam prestasi, hanya pada hari raya Idul Fitri saja mereka berkunjung. Setiap dihubungi, selalu ada alasan untuk tidak datang. Entah Arkan sakit, ayahnya sibuk, atau alasan-alasan lain yang sanggup memupus keceriaan Arlan.

"Adek."

Panggilan itu membuat Arlan menoleh, dan mendapati sang nenek yang sudah berdiri di belakangnya. "Kenapa Nenek malah ke luar? Di sini dingin," sambutnya sembari mengusap punggung tangan neneknya.
Salma tersenyum. Wajah cantiknya dulu mulai menua. Ia menatap cucunya penuh sayang, lantas bertanya, "Adek teh kangen, ya, sama keluarga di Jakarta?"

Tegas ia menggeleng. Arlan bersikeras menyibak kerinduan pada orang tua juga kembarannya. Mereka jahat, dan Arlan tidak suka.

"Adek jangan bohong sama Nenek. Nenek tahu apa yang Adek rasakan sekarang."

Arlan tersenyum getir. "Aku enggak peduli lagi sama mereka, Nek. Mereka enggak sayang sama aku. Jadi, untuk apa aku berharap?"

"Hush, enggak boleh begitu!"

"Aku sudah cukup senang punya Nenek."

"Nanti biar Nenek telepon bundamu, ya?"

"Enggak usah, Nek. Aku pamit dulu, ya. Mau ke rumah Gilang."

"Mau apa? Sudah mau magrib, Dek."

"Sebentar," sahutnya. Setelah mencium punggung tangan Salma, Arlan langsung berlari meninggalkan kediaman neneknya.

Oh, My Twins!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang