Chapter 18 : Kangen Bunda

550 67 8
                                    

Tiga hari berlalu, Zee mulai terbiasa mengunjungi dan menjaga Arlan setiap pulang sekolah. Arlan tidur, meskipun sesekali laki-laki itu mengigau mungkin karena mimpi buruk. Sebisa mungkin Zee menenangkan, hingga Arlan kembali terlelap. Ia mengambil tasnya kemudian mengeluarkan sebuah sketchbook juga pensil. Dua hal yang sangat disukai gadis itu adalah menggambar dan berpuisi. Kalau sedang bosan, objek sekecil apa pun bisa menambah koleksi gambarnya.

Entah mengapa, sosok Arlan yang tengah tidur begitu damai menjadi satu objek yang menarik perhatiannya. Pemuda itu berkali-kali lipat lebih tampan ketika sedang tidur, hingga tanpa sadar tangannya yang sedari tadi bergerak lincah, nyaris menyelesaikan sketsa wajah Arlan.

"Eh!" Zee menggeleng cepat dan buru-buru menutup sketchbook-nya. Untuk apa ia menggambar sosok Arlan?

Mendengar suara lengguhan, Zee tersadar sepenuhnya. Dengan cepat ia memasukan kembali sketchbook juga pensil yang dipegangnya.

"Kenapa bangun, Kak?" Zee bertanya.

Arlan tak menjawab, tetapi kernyitan dalam di dahi laki-laki itu secara tidak langsung memberitahu bahwa Arlan tengah manahan sakit.

"Apa yang sakit, Kak?"

Arlan tetap diam. Tidak tahu harus bagaimana mengungkap rasa sakit yang menyerang nyaris semua bagian tubuhnya. Arlan membuka masker oksigen yang ia gunakan, berusaha bangun mencari posisi yang membuatnya sedikit nyaman.

Zee terpaku melihat tubuh ringkih Arlan. Laki-laki kurus itu nampak sekuat tenaga menahan sakit, napas Arlan pendek-pendek juga sedikit memburu. Gurat-gurat kepanikan tak bisa ia sembunyikan. "Aku panggil dokter dulu, ya, Kak."

"Jangan!"

"Kenapa?"

"Aku enggak apa-apa."

Terdengar helaan napas berat dari gadis itu.

"Kalau Kakak enggak mau aku panggil dokter, Kakak kasih tahu aku apa yang sakit?" paksa Zee.

"Kepala aku sakit."

"Kakak rebahan lagi aja."

Arlan mengangguk. Ia kembali membaringkan tubuhnya. Tiba-tiba ia merasakan tangan halus menyentuh dahinya. Sentuhan itu membuat Arlan mengalihkan pandangannya. "Aku pijat, ya, Kak. Semoga sakitnya cepat hilang.

***

Arkan sudah beraktivitas seperti biasa. Kemarin ia memaksa minta pulang karena merasa kondisinya sudah lebih baik. Dokter Cakra mengizinkan, dengan catatan Arkan harus rutin kontrol. Hari ini lelaki itu memutuskan untuk mencari kembarannya. Ia tidak mungkin diam saja menyadari saudara kembarnya sudah menghilang berhari-hari.

Setelah berpamitan pada bunda juga neneknya, Arkan segera pergi. Baru saja laki-laki itu menyalakan mesin mobil, tiba-tiba seseorang menggedor kaca mobilnya. Seorang gadis berpipi gembul muncul dengan cengiran khasnya.

"Kenapa?" tanya Arkan.

"Ikut!"

Arkan menggeleng.

"Arkan, please."

Laki-laki itu menyerah. Tidak tega juga melihat wajah melas Elena. "Ya udah masuk, tapi jangan menyusahkan. Gue benar-benar mau cari Arlan."

Elena mengangguk cepat, dan langsung duduk di jok sebelah kemudi.

***

Arlan mengamati interaksi ibu dan anak itu dalam diam. Zee sedang mengerjakan tugas sambil disuapi oleh sang ibu. Apa wajar kalau Arlan merasa iri? Ibu itu bukan siapa-siapanya, rasanya tidak pantas kalau Ia cemburu. Atau rasa ini hadir karena Arlan nyaris tidak pernah mendapat perlakuan serupa dari bundanya dulu? Aku kangen, Bunda.

Oh, My Twins!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang