Chapter 14 : Arlan marah?

497 57 9
                                    

Elena menunduk tertunduk takut, tak berani menatap wajah kakak iparnya. Hari ini ia pulang dalam kondisi basah kuyup dengan jaket Arlan yang membungkus tubuhnya. Padahal, sang kakak sudah mewanti-wanti untuk menunda pulang jika hujan.

"El, kakak enggak marah sama kamu. Kakak cuma takut kamu sakit."

"Aku minta maaf, Kak." Elena benar-benar menyesali perbuatannya.

"Iya enggak apa-apa. Jangan diulang lagi, ya? Kakak nanti yang kena marah sama kakak kamu."

"Aunty jangan nakal lagi," ujar Audi.

Aura hanya tersenyum melihat interaksi putri dan adik iparnya. Jujur, ada sesuatu yang membuat suasana hatinya mendadak muram. Hujan dan kenangan dalam setiap rintiknya. Apalagi melihat Elena pulang berbalut jaket milik Arlan. Dulu, Gibran juga pernah semanis itu.

***

Pemuda yang saat ini tergolek lemah di ranjang rumah sakit, tampak bergerak tak nyaman dalam tidurnya. Mengerjap, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang menelusup masuk. Ia menoleh ke kiri dan kanan, berharap ada seseorang yang bisa dimintai tolong untuk mengambilkan minum, membantu membasahi tenggorokannya.

"Ha--us," ujarnya terbata dengan suara serak.

Hingga pintu ruangannya berderit nyaring, disusul oleh derap langkah pria berjas putih yang sekarang tampak mendekat ke arahnya. "Kamu sudah bangun?"

Laki-laki yang kini terbaring lemah di ranjang rumah sakit adalah Arlan. Setengah jam yang lalu, Arlan dilarikan ke rumah sakit. Devan yang membawanya ke sini, tetapi tak tampak menemani karena sibuk dengan kecemasannya pada Arkan.

"Apa kamu tahu kondisimu sekarang?" tanya sang dokter.

"Haus." Kata yang sama diucapkannya lagi, sebelum menjawab pertanyaan dokternya.

Pria berjas putih itu menyerahkan segelas air putih pada Arlan.

Arlan berusaha mengakkan tubuhnya, lalu menandaskan nyaris setengah gelas. Tentu Arlan paham dengan yang dimaksud 'kondisi' di sini. "Iya."

"Orang tuamu tahu?"

"Cuma nenek."

"Kenapa orang tua kamu tidak tahu?"

"Enggak apa-apa. Tolong jangan sampai mereka tahu," pesan Arlan.

"Tap--"

"Nenek saya juga udah setuju, Dok. Tolong hargai keputusan yang saya buat. Bukankah dokter di rumah sakit ini wajib menjaga kerahasiaan pasiennya?" potong Arlan.

"Betul, tapi bukan berarti kami harus merahasiakan ini semua dari wali pasien juga."

"Biar mereka tahu dengan sendirinya tanpa repot-repot saya beritahu."

Mendengar ketegasan Arlan, sang dokter tak lagi membantah. "Sekarang apa yang kamu rasakan?"

Arlan menggeleng.

"Pasien juga berkewajiban untuk jujur pada dokternya."

Pria dengan iris cokelat itu mendelik sebal. "Pusing, mual, sakit," tuturnya kemudian.

Dokter Cakra mengeluarkan stetoskopnya, dan langsung memeriksa Arlan.

"Dok, apa dokter tahu nenek saya di mana?" tanya Arlan. Ia tetap membiarkan dokter Cakra menempelkan benda dingin itu pada perut juga dadanya.

"Yang di ruangan sebelah itu adik kamu bukan?"

"Kembaran saya. Apa nenek di sana?"

Dokter Cakra mengangguk. "Kembaran kamu terus merintih kesakitan membuat semua orang mencemaskan keadaannya, jadi beberapa menit yang lalu nenek kamu memutuskan untuk melihatnya."

Oh, My Twins!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang