Chapter 11 : Memaafkan

420 55 8
                                    

Arlan duduk di lobi gedung poliklinik spesialis Edelweiss yang berdiri kukuh. Anak itu menenggelamkan kepala, menghalau pening luar biasa. Sementara sang nenek tak tampak mendampingi karena sedang berdesakkan dalam antrean panjang. Jujur, ia tidak tega melihat neneknya terjepit di sana, tetapi Arlan benar-benar tidak kuat berdiri.

Salma sesekali melirik cucunya, takut-takut Arlan pingsan. Anak itu demam sejak empat hari yang lalu, dan tak juga membaik setelah pemberian antipiretik. Bahkan, terakhir sang cucu pingsan di sekolah setelah mengalami mimisan di tengah berlangsungnya upacara bendera. Dokter yang menanganinya pun langsung memberi saran agar melakukan pemeriksaan lanjutan karena curiga apa yang dialami Arlan merujuk pada penyakit tertentu. Hari itu juga pihak rumah sakit langsung mengambil sampel darah Arlan untuk pemeriksaan.

Derit pintu membuat Arlan terseret kembali dari lamunannya. Sosok sang nenek muncul di ambang pintu. Arlan sempat kaget melihat neneknya ada di rumah ini karena pada awalnya sang nenek menegaskan untuk tidak ikut ke Jakarta.

"Masih demam ternyata. Adek demam dari kapan?" tanya Salma setelah memeriksa kondisi cucunya. Arlan pulang dengan wajah pucat, bermandikan keringat dingin, serta suhu tubuh yang bisa dibilang di atas normal.

"Semalam, Nek," sahut Arlan.

Salma menarik Arlan ke dalam pelukannya. "Maafkan nenek, ya, Dek. Nenek pikir di sini kamu akan bahagia, jadi Nenek mendorong kamu pergi. Ternyata ...."

"Argh," Arlan mengerang tertahan ketika sang nenek tanpa sengaja menyentuh bakas sabetan ikat pinggang ayahnya di bagian punggung. Tubuhnya pun sedikit berontak menghindari sentuhan lagi. Luka itu masih terasa perih juga ngilu sampai sekarang.

Karena curiga, Salma buru-buru melepas pelukannya, kemudian menyuruh Arlan berbalik. Anak itu sempat menolak, tetapi dengan gerakan cepat Salma berhasil membuat kaos Arlan bagian belakang terangkat hingga area punggung Arlan dengan goresan memanjang merah kebiruan langsung menyapa kedua matanya. Ini pasti ulah Devan!

"Nek, jangan marah sama ayah. Aku yang nakal."

"Nakal apa? Hanya karena sebuah kesalahpahaman kamu dianggap nakal? Kenapa kamu hanya diam, Dek? Harusnya kamu lawan apa yang ayah kamu lakukan! Dia benar-benar keterlaluan."

Arlan menggeleng. "Ayah sama Bunda orang tua aku, Nek. Dosa kalau aku melawan."

Perempuan itu menangis. "Kenapa mereka tega berbuat begitu sama anak sebaik kamu?"

Arlan meraup udara sebanyak-banyaknya ketika dadanya seakan terhimpit. Sesak sekali. "Apa sebaiknya aku balik ke Bandung aja, ya, Nek? Di sini juga enggak ada yang mengharapkan kehadiran aku. Mending aku sama Nenek lagi di sana. Aku cukup bahagia kok."

Meski tersenyum, tetapi jelas terlihat kepedihan di mata Arlan. Senyum yang sedikit dipaksakan itu membuat hatinya sakit berkali-kali lipat. Ia tahu kalau sebenarnya Arlan masih sangat merindukan Devan dan Inka. "Kamu teh bukan orang yang pintar bohong, Dek. Nenek tahu kamu masih merindukan dan mengharapkan mereka mau menyayangi kamu. Tapi hati kamu sakit. Benar?"

"Gara-gara aku, ayah, bunda, sama aa marahan. Aku buat banyak keributan di sini, Nek. Aku harus ...."

"Adek!" Salma menjerit memotong ucapan Arlan ketika melihat cairan merah mengucur dari rongga hidung cucu kesayangannya itu. Ia lekas mengambil tissue. "Kenapa mimisan lagi? Kamu pusing?"

"Nenek bilang, pertimbangkan permintaan Nenek. Pikir ulang kesepakatan kita, Dek. Kamu harus segera ditangani."

"Aku enggak mau nantinya Aa merasakan apa yang aku rasakan sekarang, Nek."

Sebenarnya Salma tahu, Arlan dan Arkan sama terlukanya. Namun, hanya masing-masing yang bisa merasakan sakit dengan jenis berbeda itu.

***

Oh, My Twins!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang