Chapter 17 : Tidak ada pilihan lain, Devanio Arlan

455 62 4
                                    

Sebagai perawat senior, tugas Melisa tentu tidak sedikit. Sejak datang saja ia sudah disibukkan dengan berbagai hal. Baru saja duduk santai di ruangannya, tiba-tiba Ameera yang juga perawat masuk dengan wajah panik.

"Suster Meli, anak laki-laki bule itu pingsan di depan bangsal Mawar, dan sekarang sedang ditangani," ujarnya dengan sedikit terengah.

"Pingsan? Kita ke sana sekarang!"

Keduanya melangkah tergesa menuju Instalasi Gawat Darurat.

"Sus, bukankah anak itu yang kemarin melarikan diri? Orang tuanya benar-benar panik mencari. Ayah dari anak itu sudah lapor polisi, dan menyebar anak buahnya untuk mencari. Kenapa dia bisa bersama Suster?"

"Anak itu tidak mau kembali ke rumah sakit. Karena sedang sakit, akhirnya saya ikuti permintaannya dengan membawa dia ke rumah untuk saya rawat sendiri."

"Orang tua laki-laki itu menawarkan uang dua ratus juta bagi siapa pun yang menemukan anaknya. Apa suster menginginkan itu?" tanya Suster Ameera hati-hati.

"Tidak. Saya ikhlas menolongnya."

Suster Ameera mengangguk paham. Dalam hati ia berandai-andai, kenapa tidak dirinya saja yang menemukan pasien hilang itu? Dua ratus juta bukanlah jumlah yang sedikit.

Begitu sampai, ia melihat Arlan terbaring di brankar, lengkap dengan sebuah masker oksigen yang menutup bagian hidung juga mulutnya. Benar-benar memprihatinkan. "Arlan, bangun, Nak," ujar Melisa sembari mengusap lembut rambut Arlan.

"Kembalikan pasien ini ke ruang rawatnya!" Suara berat itu membuat Melisa menoleh.

Dokter Cakra. Dokter yang menangani si kembar.

"Jangan, Dok!"

"Kenapa? Dia butuh perawatan."

"Tolong masukan ke ruangan mana pun selain ruangan itu. Berikan perawatan yang sama. Saya akan menanggung semua biayanya!" tegasnya.

"Orang tua anak ini mencarinya! Kita sama saja melakukan tindak kriminal kalau tidak memberitahu orang tuanya."

"Arlan sedang ada masalah dengan keluarganya. Berikan saya kesempatan untuk mecari solusinya, sampai dia membaik. Kasihani anak ini, Dok. Dia tertekan berada di tengah-tengah keluarganya. Biarkan saya membantu menyelesaikannya dulu."

Dokter Cakra diam untuk beberapa saat. Tekanan dan rasa sakit itu memang terlihat jelas ketika ia berbicara dengan Arlan. Sorot matanya redup tertutup kabut-kabut kepahitan. Dokter Cakra sempat berbincang singkat dengan Salma mengenai kondisi Arlan sesungguhnya. Tentu saja Salma jujur padanya karena tidak ingin Dokter Cakra sampai salah melakukan penanganan. Sadar bahwa kondisi pasiennya tidak boleh dalam tekanan, akhirnya ia menyetujui permintaan Melisa.

***

"Bun, kapan Adek pulang?"

Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas kuat hatinya. Entah mengapa di sana terasa begitu sakit saat Arkan menanyakan Arlan. Pertanyaan yang sama pun menari-nari di otaknya.

"Di luar hujan. Adek kehujanan, enggak, ya, Bun? Adek makan belum?" tanya Arkan lagi. Tangan kiri pemuda itu terangkat mengusap kaca jendela kamar rawatnya, seolah ia mampu menyentuh jejak air hujan di luar sana.

"Adek pasti pulang, A. Kita sedang berusaha mencari Adek," terang Inka. Ia sengaja tidak memberitahu Arkan ihwal surat yang ditinggalkan Arlan karena takut proses penyembuhan Arlan malah terhambat karena banyak pikiran.

"Bun, kenapa dulu aku enggak mati aja? Biar Adek enggak menderita."

"Sayang, jangan bicara seperti itu. Adek pasti baik-baik aja. Kita berdoa buat Adek, ya. Semoga secepatnya Adek ditemukan."

Oh, My Twins!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang