Chapter 1 : Keputusan besar

747 63 6
                                    

Arkan mengunci pintu kamarnya. Ia tidak mau keluar atau melakukan apa pun. Lelaki itu melayangkan aksi ngambek pada kedua orang tuanya, menuntut agar semua berangkat ke Bandung menjemput Arlan. Sudah terlalu lama mereka berpisah, dan ini waktu yang tepat untuk kembali hidup berdampingan seperti saat dalam kandungan dulu.

"Aa kok nakal, sih? Ayo keluar! Kita harus ambil rapor di sekolah!" seru Inka dengan sedikit berteriak.

"Enggak peduli!"

Devan menggeram kesal. "Jangan begitu, A!" tegurnya.

"Pokoknya aku enggak mau keluar kalau kita enggak ke Bandung sekarang juga. Kasihan adek, Yah. Nenek terus yang ambil rapornya."

Dua orang dewasa itu saling pandang, seolah tengah berdiskusi dalam diamnya. Benar juga, selama ini mereka hanya memikirkan Arkan, dan tanpa sadar membuat Arlan yang jauh semakin merasa terabaikan.

"Mas, bagaimana kalau hari ini kita ke Bandung? Mengambil rapor, sekaligus mengurus kepindahan Arlan ke Jakarta."

Pria bermata cokelat itu mengangguk. "Baiklah, kita selesaikan masalah kepindahan Arlan. Apa kamu yakin sanggup merawat keduanya secara bersamaan?"

"Insya Allah sanggup, Mas."

Tanpa mereka ketahui, sedari tadi Arkan menguping di balik pintu. Samar-samar ia mendengar percakapan orang tuanyayang menyatakan akan menjemput Arlan. Sebuah senyum tercetak. Arkan senang akan kembali tinggal bersama saudara kembarnya. "Setuju! Pokoknya jemput Adek sekarang!" Anak itu berteriak kegirangan sesaat setelah membuka pintu.

"Aa!" Inka yang gemas langsung menghadiahkan sebuah jeweran pada putranya. "Cepat mandi! Setelah itu kita berangkat," lanjutnya.

***

Hari ini adalah hari yang sangat penting untuk siswa/siswi kelas X dan XI SMA Pelita Harapan Bandung. Di mana mereka akan menerima laporan pendidikan dan putusan naik atau tidaknya ke tingkat selanjutnya. Arlan sendiri sudah tampak siap dalam balutan seragam lengkap. Pemuda itu menyampirkan tas, menenteng sepatu, lalu berjalan tergesa mencari keberadaan sang nenek.

"Duh, kasep pisan cucu nenek," kata Salma sembari menghampiri cucu kesayangannya.

"Nenek bisa aja," sahut Arlan.

"Sudah kasep, pintar, baik, pasti diperebutkan gadis-gadis."

Remaja itu menoleh. "Aku mau belajar dulu, Nek. Enggak mau memikirkan perempuan."

"Anak pintar."

"Hari ini Nenek datang, kan, ambil rapor aku?" tanya Arlan. Jujur ia tidak lagi berharap orang tuanya akan datang.

"Iya, nenek pasti datang, tapi Adek enggak malu, 'kan?"

Anak itu menggeleng cepat, lantas menjawab, "Aku enggak malu. Justru senang karena ada yang bersedia datang."

Salma tersenyum miris. Arlan sudah melewatkan banyak hal pahit sejak tinggal bersamanya. Ketika duduk di bangku sekolah dasar, Arlan berjuluk anak buangan karena jarang dikunjungi orang tuanya. Arkan mengadakan pesta besar-besaran di Jakarta tatkala usianya bertambah, tetapi pada hari yang sama Arlan justru tengah terluka karena hanya bisa merayakan ulang tahun bersama nenek dan Gilang sahabatnya.

"Nenek kok melamun?"

"Eh, enggak apa-apa, Dek."

"Doakan aku, ya, Nek. Semoga hari ini dapat peringkat satu lagi."

"Aamiin. Tanpa diminta pun nenek selalu mendoakan," tuturnya. "Cepat berangkat. Sudah siang."

Arlan mencium pungguh tangan sang nenek, kemudian berangkat ke sekolah.

Oh, My Twins!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang