Prolog

10 0 0
                                    

Aku ingin kita tidak lagi bertemu dalam kebetulan mana pun. Tapi mengapa kebetulan itu datang di saat aku sudah berusaha pulih?

~0o0~

"Masih suka cappuccino, Nay?" tanya seseorang yang tiba-tiba duduk di depanku. Aku mendongakkan kepala dan terkejut mengetahui siapa yang menghampiriku. Setelah bertahun-tahun, semesta mempertemukan kami kembali di tempat yang kupikir tidak ada kemungkinan untuk bertemu dengannya.

"Masih," jawabku singkat lalu mengalihkan pandanganku ke arah lain.

"Kamu apa kabar, Nay?" Laki-laki itu bertanya lagi dengan menyeruput minuman yang dibawanya.

"Baik," lirihku.

Hening. Laki-laki itu masih santai menikmati minumannya. Aku menghela napas panjang. Rasanya enggan duduk berhadapan lagi dengan manusia ini. Sudah lama sekali aku menghapus namanya dari daftar manusia yang mengisi hidupku. Lalu, mengapa dia tiba-tiba muncul lagi?

"Kamu benar-benar baik, Nay?"

Aku menoleh, rasanya aneh mendengar pertanyaan itu keuar dari mulutnya. Entah memang dia ingin tahu kabarku atau hanya sekadar basa basi saja. Tapi kupikir lebih masuk akal alasan yang kedua.

"Memangnya aku kenapa?"

Ia terdiam. Kini matanya yang dialihkan menatap ke arah lain.

"Aku minta maaf, Nay." Kalimat itulah yang akhirnya keluar dari mulutnya setelah kulihat beberapa kali ia mengatur napasnya.

"Untuk apa?" tanyaku ketus.

Laki-laki bermata hazel itu diam sejenak lalu mengatur napasnya lagi.

"Untuk.. kejadian tujuh tahun yang lalu," ujarnya ragu.

Aku terkekeh. "Udah basi, Bi. Nggak perlu kita bahas lagi."

Sebenarnya, dadaku bergemuruh. Ada sesuatu yang mebuatku merasa sesak. Padahal sejauh ini aku sudah baik-baik saja. Kuanggap diriku sudah pulih. Tapi kenapa hari ini rasanya sakit lagi?

Seharusnya aku tidak boleh begini, tidak boleh merasa sakit lagi.

"Tapi tetep aja aku harus minta maaf sama kamu. Rasanya pasti nggak adil buat kamu, kan?"

Mendengar pertanyaan itu dadaku semakin sesak. Kejadian tujuh tahun yang lalu kembali memenuhi ingatanku. Rasanya ingin kumaki laki-laki yang ada di depanku saat ini agar dia tahu betapa porak porandanya diriku selama tujuh tahun terakhir.

Dan kini, saat aku sudah berusaha meyakinkan diriku bahwa aku sudah pulih, mengapa dia datang lagi? Aku bahkan sengaja memilih kota ini  supaya tidak ada lagi kemungkinan untuk bertemu dengan manusia ini. Tapi, kenapa kebetulan dia juga berada di tempat ini?

"Aku rasa kita tidak perlu membahas itu lagi. Dan maaf Bi, sudah sore, aku harus pergi." Aku melirik arlojiku, jarum jamnya menunjukkan pukul setengah lima sore.

Kupikir itu alasan yang tepat untuk segera pergi dari tempat ini.

"Aku antar ya, Nay!" Laki-laki itu bergegas berdiri.

Aku tersenyum kecut, "Tidak perlu, Bi. Aku sudah ditunggu."

"Siapa?"

"Seseorang."

"Laki-laki?"

"Iya."

Mimik wajahnya yang semula ceria seketika berubah. Ada raut wajah kecewa yang jelas ia tampakkan. Kemudian ponselku berdering. Nama 'Mas Gibran' tertera di layar. Sekilas kulihat mata Abi meliriknya.

"Maaf Bi, aku permisi," ujarku, namun dengan cepat tangannya menyergahku.

"Sebentar, Nay. Boleh aku minta nomor kamu?" Abi menyodorkan ponselnya.

Mata kami sempat beradu pandang beberapa detik. Sorot matanya terlihat memohon, namun aku tidak ingin terjebak lagi dengan penafsiran tatapan yang keliru.

"Maaf, aku rasa tidak perlu. Aku harus segera mengangkat telepon." Dengan tegas aku menolaknya lalu melepaskan genggamannya. Tangan yang dulu terasa hangat saat kugenggam kini terasa sangat asing. Tanpa menoleh ke belakang, aku keluar kafe meninggalkannya.

Di luar, seseorang melambaikan tangan di depan mobilnya dengan ponsel yang menempel pada telinganya. Aku tersenyum lalu bergegas menghampirinya.

~0o0~

Selamat membaca genre baru di tulisanku ya
Jangan lupa tinggalkan vote dan komen karena itu sangat berpengaruh untuk melanjutkan tulisanku
Terima kasih
:)

Sebelum Pukul TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang