Jogjakarta, 2015
Di hadapan cermin tua, gadis berseragam SMA itu sedang termenung memandangi bayangan dirinya. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja tanpa asesoris. Beberapa hari yang lalu usianya genap tujuh belas tahun. Namun tujuh belas tahunnya tidak semeriah kebanyakan remaja di luar sana. Gadis itu justru teringat akan perkataan ibunya semalam yang membuat ia enggan berangkat sekolah hari ini.
Ia menghembuskan napas dalam, lalu mengambil botol parfum beraroma vanila dan menyemprotkan ke seragamnya. Aroma vanila itu menguar memenuhi ruang kamarnya yang tidak begitu luas. Gadis itu memeriksa kembali isi tas sekolahnya, memastikan tidak ada barang yang tertinggal.
Merasa semuanya sudah beres, ia melangkah keluar kamar. Diliriknya arloji yang melingkar di tangan kiri, jarum jamnya menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit.
"Sudah mau berangkat, Nduk?" tanya seorang perempuan setengah baya yang tengah menuangkan teh panas ke dalam cangkir.
"Sudah, Bu," jawabnya.
"Yo wes, hati-hati di jalan, ya! Yang bener sekolahnya, belajar yang serius," ujar Bu Ratih sambil mengeluarkan selembar uang sepuluh ribuan.
"Maturnuwun, Kanaya berangkat dulu," pamitnya.
Gadis itu menerimanya, memasukkan ke dalam saku, lalu mencium punggung tangan ibunya. Di halaman rumah, ayahnya sedang mengelap sepeda onthel tua yang sudah mulai berkarat. Kanaya menghampiri ayahnya untuk berpamitan. Dengan langkah gontai, remaja berusia tujuh belas tahun itu berangkat menuju sekolahnya.
Jalanan Jogja di pagi hari memang selalu ramai. Meski tidak berdomisili di tengah kota, namun keramaian orang-orang yang berkendara di pagi hari cukup membuat jalan yang Kanaya lewati menjadi sedikit macet, apalagi jika lampu merah sedang menyala di persimpangan.
Kurang lebih lima belas menit, Kanaya tiba di sekolah dengan menaiki angkutan umum. Gadis itu berjalan menyusuri koridor sekolah, kelasnya berada di paling ujung lantai satu.
"Nay, wis garap PR fisika?" tanya Edo yang langsung menghampiri bangku Kanaya begitu gadis itu duduk.
"Sudah," jawabnya singkat.
"Boleh aku pinjam dulu? Aku masih kurang satu soal. Nomor lima susah bnget, meh tak kerjain semalam di rumah tapi nggak bisa e."
Kanaya mengangguk, lalu mengeluarkan buku tugas fisika dari dalam tasnya dan memberikan kepada Edo. Ternyata tidak hanya Edo yang sedang sibuk menyalin PR, teman-teman yang lain pun sama, dan mayoritas laki-laki.
Pemandangan seperti ini sudah tidak asing lagi di mata Kanaya. Sejak duduk di bangku SMP dulu, teman-temannya juga sering sekali mengerjakan PR di sekolah dengan alasan lupa, atau soalnya terlalu susah. Namun hal itu tidak pernah terjadi pada Kanya. Karena jika sudah menyangkut tugas, Kanaya selalu mengerjakannya tepat waktu.
Sebagai murid yang pandai dan rajin, Kanaya juga tidak pernah pelit memberikan contekan tugas untuk teman-temannya, kecuali saat ulangan. Karena bagi Kanaya, ulangan harian adalah bukti kesungguhan dalam belajar.
"Geser dikit, Do!" Naufal tiba-tiba duduk di seblah Edo untuk meminta contekan yang sama.
"Tumben, Fal. Biasanya rajin." Edo menggeser sedikit posisi duduknya.
"Semalam ketiduran sampai lupa ada PR. Bagun-bangun udah subuh," jelas Naufal tanpa menatap Edo. Mata dan tangannya gesit menyalin tugas milik Kanaya.
Pukul tujuh tepat saat bel masuk berbunyi, buku tugas milik Kanaya baru saja dikembalikan. Pelajaran pertama hari ini adalah fisika yang diampu oleh Bu Eko. Meski Kanaya cukup pandai dalam bidang akademik, namun dia tidak begitu menyukai mata pelajaran satu ini.
"Bisa nggak sih mata pelajaran fisika diskip aja, otakku rasanya jadi keriting setiap ada pelajaran fisika," keluh Kanaya kepada Hasya, teman sebangkunya.
"Kalau sekolah ini nggak ada sanksi buat siswa yang bolos, pasti setiap pelajaran fisika udah tak ajak kabur kamu, Nay. Otakku juga rasanya selalu mendidih setiap kali pelajaran fisika," jawab Hasya sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya.
"Kenapa ya, Sya? Kurikulum di negera ini tuh enggak dibuat merdeka aja gitu? Jadi setiap siswa SMA bisa langsung fokus belajar sesuai dengan passionnya."
"Maksudnya, Nay?"
"Ya misal anak-anak yang hobinya di bidang olahraga, literasi, atau seni, udah nggak perlu lagi belajar ilmu fisika atau kimia yang njlimet kaya gini."
"Hahahaa... nunggu kamu yang jadi menteri pendidikan aja, Nay. Atau tunggu kamu jadi guru, jadi bisa menyuarakan unek-unekmu ini."
"Huft.." Kanaya menghela napas panjang. Setelahnya, Bu Eko masuk ke kelas mereka.
Bu Eko merupakan salah satu guru di sekolah ini yang paling tertib jika sudah menyangkut kegiatan belajar mengajar. Tidak ada lima menit setelah bel berbunyi, Bu Eko pasti sudah berada di dalam kelas.
Dan meskipun terpaksa, Kanaya dan Hasya tetap menyimak materi pelajaran yang dijelaskan oleh Bu Eko dengan baik.
~0o0~
Lagi kangen masasekolah, jadi iseng nulis cerita anak SMA
Sengaja dibikin pendek dulu partnya karena masih iseng nulisnya, hehehe
Semoga bisa menghibur ya
:)