Hujan dan Payung Biru

5 1 0
                                    

Pukul setengah lima sore, Kanaya masih berdiri di balkon lantai dua menunggu hujan reda. Sejak bel pulang sekolah berbunyi, satu per satu siswa SMA Pangudi Luhur mulai meninggalkan sekolah. Namun tidak dengan Kanaya,  hari ini dia lupa meninggalkan payungnya di rumah.

Sejak teman-temannya beranjak keluar kelas, Kanaya memilih menunggu hujan reda sambil membaca novel terbaru karya penulis favoritnya. Namun sudah hampir satu jam dia menunggu, hujan di luar belum juga reda, malah justru semakin deras.

Kanaya memutuskan untuk turun ke lantai bawah, barangkali ada sesuatu yang bisa melindungi tubuhnya dari hujan untuk sampai ke halte di depan sekolah. Namun saat gadis itu sampai di lantai satu, keadaan sekolahnya sudah sepi. Hanya ada penjaga sekolah yang mulai mengunci pintu-pintu kelas. Guru-guru juga suda banyak yang meninggalkan sekolah.

Gadis berambut panjang itu berjalan sampai ke ujung lorong lantai satu supaya lebih dekat dengan pintu gerbang. Matanya melihat ke atas. Langit terlihat semakin gelap. Suasana di lorong itu terasa semakin mencekam. Ia harus segera pulang.

Namun meski hanya berjarak 10 meter untuk sampai ke halte di depan sekolah, jika rintik hujan yang turun masih sederas ini, bajunya pasti akan basah. Seragam osis yang ia pakai pasti akan langsung tembus pandang jika terkena air.

"Pak Atmo, boleh saya pinjam payung?" tanya Kanaya Pak Atmo, penjaga sekolah yang sedang mengunci pintu ruang kelas di dekatnya.

"Waduh, maaf mbak, bukannya saya tidak mau meminjami, tapi tadi payung saya sudah dipinjam sama Mbak Devi lebih dulu e," jawab Pak Atmo.

"Oalah, ya sudah, Pak. Tidak apa-apa, maturnuwun."

"Nggih, Mbak. Mohon maaf, ya."

Kanaya tersenyu sambil mengangguk. Gadis itu melepas sepatunya lalu mengeluarkan kantong plastik dari dalam tas untuk menyimpan sepatunya. Jika sepatunya basah, dia tidak punya sepatu lain untuk dipakai esok hari. Kanaya bertekad untuk menerjang hujan dengan bertelanjang kaki.

Gadis itu sudah tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Karena semakin lama menunggu bisa-bisa dia akan ketinggalan angkutan terakhir yang menuju ke rumahnya.

Kanaya sudah siap dengan tas punggung yang ia letakkan di atas kepala sebagai pelindungnya dari air hujan. Namun saat kaki gadis itu hendak melangkah, tiba-tiba sebuah tangan berhasil menarik lengannya hingga menepi kembali.

Seorang laki-laki berseragam osis berdiri tepat di hadapannya.

"Mau nerjang hujan deres kaya gini?" tanya laki-laki itu dengan nada tinggi.

Kanaya menatapnya tak bergeming. Dari name tag yang terpasang di bajunya, dia bisa membaca bahwa laki-laki yang saat ini berdiri di hadapannya bernama Abimanyu.

"Kamu punya aset berharga, jangan gampang dijual murah dengan membiarkan itu semua terekspos karena seragam kamu basah."

Glek!

Kanaya menelan salivanya lalu berangsung mundur, menjauhkan dirinya dari laki-laki itu.  Takut kalau-kalau laki-laki ini memiliki niat jahat kepada Kanaya.

"Mau pilih jaket atau payung?" Laki-laki bernama Abimanyu bertanya. Kali ini nada bicaranya lebih rendah.

"Hah? Maksudnya gimana?" Kanaya bingung.

"Mending payung aja, deh. Sama aja kalau aku pinjemin jaket juga nanti tetep basah." Laki-laki di hadapannya itu segera membuka ransel, lalu mengeluarkan sebuah payung lipat berwarna biru. "Jangan sampai hilang, ya," lanjutnya.

"Ini maksudnya gimana, kamu pinjemin aku?" Kanaya masih tidak mengerti dengan sikap laki-laki itu.

"Iya! Sekarang kamu bisa pulang dengan payung itu, jangan sampai basah kuyup, ya!" Abimanyu membalikkan badannya lalu berjalan meninggalkan Kanaya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sebelum Pukul TujuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang