2. The Weight Of Choices

417 93 50
                                    

PLAK

Sebuah tamparan mendarat di pipi Stevan, itu dari sang ayah. “Kamu bunuh orang, ya Tuhan....” ayahnya tampak begitu frustasi.

“Terus gimana kamu sama Yulia, putus, kan?”

Stevan mengangguk, tak berani menatap sang ayah. “Jangan berani-beraninya kamu nyentuh minuman lagi, ada saksi mata disana? Atau cctv?”

Stevan menggeleng, “Nggak tau, Pi. Stevan panik banget, gak sempat liat apa-apa.”

“Terus anak dari orang itu, minta pertanggungjawaban apa-apa, nggak? Kita harus selesaikan ini tanpa kepolisian dan kekeluargaan.” imbuh papinya.

Stevan menunduk, “Dia gak bilang apa-apa, Pi. Dia malah ngasih air ke Stevan pas di rumah sakit.”

“Kita harus supply apapun yang dia butuhkan. Papi bakal urus soal itu kalau sampai kebocoran.”

“Stevan harusnya mendekam di jeruji besi sekarang.”

Papinya memegang kuat lengan sang putra yang masih shock. “Kamu pewaris tunggal keluarga kita, Stevan. Bukan cuma kamu yang hancur, mami papi pasti lebur kalau kamu mendekam di sel. Sudah gila ya kamu? Kakek saya susah-susah membangun perusahaan kita, mau kamu hancurin gara-gara kesalahan fatal kamu, iya?!”

“Udah Pi, nanti kita ke rumah Jihan buat permintaan maaf, kita biayai semua yang dia butuhkan. Jangan marahin Stevan terus, dia juga shock.” bela sang ibunda.

“Belain terus aja anak kamu itu. Semua pilihannya kamu iyain, lihat itu Yulia mengkhianati dia, dari awal saya sudah gak suka. Malah mau dinikahi, entah dari mana cewek itu. Papi kuliahin kamu sampai Melbourne biar kamu bisa lihat dunia. Sekarang tau kan, kenapa papi gak suka Yulia? Kalau gak ada saya, gimana masa depan anak itu? Jangan memanjakan dia, dia sudah 29 tahun per tahun ini.”

Pintu ditutup, Stevan masih bergetar ketakutan. Ibunya memeluk putra semata wayangnya. “Kamu pasti shock banget. Kalau sudah tenang, tolong antar mami ke rumah Jihan.”

Jihan duduk di sudut ruangan kamarnya yang sempit, dikelilingi buku-buku kuliah dan catatan-catatan yang mulai berdebu. Lampu meja yang redup menerangi wajahnya yang letih, seolah mencerminkan beban yang selama ini ditanggungnya. Pikirannya berputar-putar, menimbang antara mimpi-mimpi yang dulu begitu cerah dan realita yang kini menghimpit.

Jihan berbisik pelan, hampir tidak terdengar, “Apa yang harus aku lakukan? Apa kuliah ini masih harus dikejar?”

Suara itu, walaupun pelan, bergema di dalam hatinya. Bayangan ayahnya yang tersenyum bangga saat dia diterima di universitas itu masih segar di ingatannya. Tapi, kenyataan bahwa dia kini harus menjalani hidup tanpa sosok yang selalu menjadi tumpuan membuat semua impiannya terasa begitu jauh.

Jihan ingat sekali bahwa sang ayah ingin melihatnya mengenakan toga. Namun ayahnya lebih memilih untuk melihat surga.

Ponsel Jihan berbunyi, menandakan ada pesan baru. Dengan gerakan lambat, dia meraih ponsel itu dan melihat sebuah pesan dari Jeanne, pemilik kafe tempatnya bekerja.

Jihan, aku dapet kabar dari Joshua kalau ayah kamu meninggal? Aku turut berduka cita, bisa ketemu di kafe besok pagi? Ada yang pengen aku bicarakan.”

Jihan menghela napas panjang, merasa bahwa ini mungkin adalah percakapan yang akan menentukan masa depannya. Dalam hati, dia sudah memutuskan. Jika Jeanne setuju, dia akan berhenti kuliah dan bekerja full-time di kafe. Setidaknya itu bisa membantunya bertahan hidup.

Keesokan harinya, Jihan tiba di kafe lebih awal dari biasanya. Langit pagi masih berwarna biru pucat, dengan sinar matahari yang belum sepenuhnya menembus tirai kafe. Jeanne sudah menunggunya di salah satu meja di pojok ruangan.

Bergala Bunga Matahari | Soohyun JiwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang