3. New Steps And Unexpected Encounters

470 85 14
                                    

Matahari pagi menerangi kota dengan sinar yang hangat, namun di dalam hati Jihan, ada campuran antara kesedihan dan harapan. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja di Cafe Mentari. Setelah semua waktu yang dihabiskan di sana, kafe itu telah menjadi rumah kedua baginya, dan Jeanne sudah seperti kakak yang selalu memberi dukungan tanpa syarat.

Jihan berdiri di depan cermin kecil di ruang ganti kafe, mengenakan seragam kerjanya untuk terakhir kali. Dia merapikan apron cokelat yang sudah familiar di tubuhnya. Pikirannya melayang-layang, mengingat setiap tawa, setiap percakapan hangat, dan setiap pelukan yang dia terima dari Jeanne.

Ketika dia melangkah keluar dari ruang ganti, Jeanne sudah menunggunya di dapur dengan senyuman yang sendu. Ada rasa berat di antara mereka, seolah-olah keduanya tahu bahwa ini adalah perpisahan yang sulit.

"Jihan, aku bakal kangen kamu banget... Kamu tau itu, kan?"

Jihan menatap Jeanne dengan mata yang berkaca-kaca, berusaha menahan air matanya.

Jihan tersenyum tipis, “Aku juga bakal kangen banget sama kakak. Terima kasih buat semuanya. Aku nggak tau gimana hidupku tanpa dukungan kalian.”

Jeanne mendekat dan menarik Jihan ke dalam pelukan hangat. Dia membelai rambut Jihan dengan penuh kasih sayang, seolah-olah memeluk adiknya sendiri yang akan pergi jauh.

Jeanne berbisik di telinga Jihan, "Kamu selalu punya tempat di sini, Jihan. Kapan pun kamu butuh, ingatlah bahwa kami ada untukmu."

Jihan mengangguk pelan di dalam pelukan Jeanne, merasakan hangatnya kasih sayang yang begitu tulus. Setelah beberapa saat, dia melepaskan diri dan mengusap air mata yang hampir tumpah.

Jihan tersenyum, meski matanya masih berkaca-kaca, "Aku akan selalu ingat kebaikanmu, kak Jeanne. Aku janji."

Setelah mengucapkan salam perpisahan kepada rekan-rekan kerjanya yang lain, Jihan meninggalkan kafe dengan perasaan campur aduk. Ada kelegaan karena dia berhasil mendapatkan beasiswa dan kesempatan magang, tetapi ada juga rasa kehilangan yang mendalam karena meninggalkan tempat yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama ini.

Di gedung perkantoran yang menjulang tinggi, Jihan tiba dengan mengenakan setelan hitam putih yang sederhana, namun elegan. Dengan wajah yang segar dan cantik alami, dia tampak memukau meskipun tanpa usaha berlebih. Rambutnya yang panjang dan lurus tertata rapi, dan senyum lembutnya membuat orang-orang di sekitarnya merasa nyaman.

Jihan menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki lobi gedung. Perasaan gugup mulai menghinggapi hatinya, namun dia mencoba menenangkan diri. Ini adalah langkah baru dalam hidupnya, dan dia harus siap menghadapi tantangan apa pun.

Setelah mengikuti prosedur penerimaan, Jihan diarahkan ke divisi tempat dia akan magang. Ketika dia tiba di kantor tersebut, beberapa rekan kerjanya sudah menunggunya. Mereka menyambutnya dengan senyuman ramah dan perkenalan yang hangat.

Salah seorang rekan tersenyum sambil menjabat tangan Jihan, "Hai, aku Mia. Selamat datang di tim! Aku dengar kamu akan magang di sini selama beberapa bulan."

Jihan tersenyum kembali, merasa lega melihat sambutan yang hangat, "Hai, Kak Mia. Iya, senang bertemu denganmu. Aku Jihan."

Rekan yang lain juga mengangguk ramah, "Aku Rina. Jangan sungkan untuk bertanya kalau ada yang membingungkan. Kami semua di sini akan dengan senang hati membantumu. Jarang-jarang loh anak kuliah bisa magang disini, kamu beruntung."

Jihan merasa bersyukur mendapatkan rekan kerja yang suportif. Meskipun suasana kantor baru baginya, keramahan mereka membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Dia mulai beradaptasi dengan lingkungan barunya dan mencoba memahami tugas-tugas yang harus dia kerjakan.

Di tempat lain, Stevan duduk di kantornya, memandangi tumpukan dokumen di mejanya dengan tatapan kosong. Pikirannya melayang-layang, teringat pada percakapan yang terjadi beberapa hari lalu dengan orang tua Yulia. Setelah membatalkan pertunangan mereka, Steven merasa perlu untuk menjelaskan alasan di balik keputusannya, meskipun itu berarti membuka luka lama.

Orangtua Yulia dengan nada memohon, "Steven, kamu yakin tidak bisa memaafkan Yulia, Nak? Kami yakin dia sangat menyesali perbuatannya."

Steven menatap mereka dengan tatapan tenang namun tegas.
"Saya menghargai kalian, dan saya menghargai Yulia. Tapi apa yang dia lakukan tidak bisa dihapus begitu saja. Saya sudah mencoba, tapi saya tidak bisa melanjutkan hubungan ini."

Yulia, yang berada di ruangan yang sama, menundukkan kepala dengan air mata yang tak terbendung. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kesalahannya menghancurkan segalanya.

Yulia dengan suara yang hampir putus asa, "Steven, aku mohon. Beri aku kesempatan lagi. Aku benar-benar menyesal. Aku nggak bisa hidup tanpamu."

Steven menghela napas panjang. Di dalam hatinya, dia masih merasakan sakit dari pengkhianatan Yulia, tapi dia juga tahu bahwa hubungan ini sudah tidak bisa diselamatkan.
"Yulia, ini sudah berakhir. Aku harap kamu bisa menerima kenyataan ini dan melanjutkan hidupmu."

Setelah pertemuan itu, Steven merasa lega. Dia telah mengambil keputusan yang sulit, tetapi dia tahu itu adalah keputusan yang benar. Kini, dia lebih fokus pada pekerjaannya dan pada tanggung jawab yang dia ambil untuk membantu Jihan tanpa sepengetahuan gadis itu.

Di sudut hatinya, masih ada perasaan bersalah yang belum sepenuhnya hilang. Namun, melihat Jihan yang perlahan mulai menemukan jalannya di perusahaan yang dia pimpin, memberi Steven sedikit ketenangan. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk memastikan Jihan mendapatkan semua yang dia butuhkan untuk sukses, tanpa pernah mengetahui bahwa Steven adalah orang yang berada di balik bantuan tersebut.

Jihan berbisik dalam hati saat dia memasuki ruang kerjanya yang baru, "Aku bisa melakukan ini. Untuk ayah, untuk masa depanku."

Sementara itu, di luar ruangan, Steven berjalan melewati kantor dengan pandangan tajam dan langkah yang mantap. Namun, ketika dia lewat di depan ruangan Jihan, langkahnya melambat sejenak. Dia melihat Jihan yang sedang sibuk dengan tugasnya, terlihat fokus dan penuh determinasi.

You will be alright, Jihan. I promise.”

Dengan senyum tipis yang hampir tidak terlihat, Steven melanjutkan langkahnya, meninggalkan ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Dia tahu bahwa takdir mereka sekarang terhubung dengan cara yang tidak pernah dia bayangkan, dan dia hanya bisa berharap bahwa pada akhirnya, semua akan berakhir dengan baik untuk Jihan—dan mungkin juga untuk dirinya sendiri.

🍀

10082024

wkwk besok ketemu lagi mereka

Bergala Bunga Matahari | Soohyun JiwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang