[1]

16 1 0
                                    

𝜗𝜚 ˖°. ⋆.˚⊹


Di sebuah sekolah menengah atas yang dikenal dengan prestasinya yang tinggi, terdapat dua siswa yang dikenal dengan cara mereka sendiri. Andrew Virendra, seorang siswa yang cerdas dan selalu menduduki posisi puncak dalam setiap ujian, memiliki reputasi yang tak tertandingi di sekolah. Namanya selalu muncul di peringkat pertama, membuatnya dijadikan panutan oleh banyak orang.


Di sisi lain, David Prasetya adalah seorang siswa berandalan yang dikenal karena sikapnya yang nakal dan sering kali menjadi pusat perhatian karena masalahnya. Kedua siswa ini, yang tampaknya tidak memiliki kesamaan, sering kali terlibat dalam perseteruan yang tidak kunjung selesai.


David sering kali merasa terganggu oleh kehadiran Andrew yang selalu berada di posisi teratas. Dia merasa bahwa prestasi Andrew menutupi kemampuannya sendiri dan membuatnya merasa tertekan. Dalam pandangan David, Andrew adalah penghalang yang harus dihancurkan. Setiap kali ada kesempatan, David akan memanfaatkan setiap celah untuk menyinggung atau membuat Andrew merasa tidak nyaman.


Di kantin sekolah, David duduk dengan teman-temannya, berbicara dengan nada yang penuh sindiran. "Eh, lihat tuh Andrew, si juara kelas. Pasti lagi bangga banget bisa dapet nilai tertinggi lagi," ucap David dengan nada sinis.


Andrew, yang sedang duduk sendirian dengan buku-bukunya, hanya mengerling sebentar ke arah David sebelum kembali fokus pada pelajarannya. "Gue nggak peduli sama apa yang lo bilang, David. Kalau lo mau nyela, yaudah," jawab Andrew dengan nada yang datar namun tegas.


 ˖

˖

˖


Suatu sore di perpustakaan sekolah, David secara tidak sengaja terjebak dalam situasi di mana dia harus bekerja sama dengan Andrew untuk sebuah proyek. David merasa canggung dan tidak nyaman, tetapi dia tidak bisa menahan diri untuk mengamati Andrew yang bekerja dengan penuh konsentrasi. "Lo serius banget, ya? Kayaknya gue harus belajar dari lo deh," ujar David dengan nada setengah bercanda.


Andrew menoleh ke arah David dengan tatapan skeptis. "Gue cuma mau ngerampungin proyek ini. Lo mau bantu atau cuma mau komentar doang?" jawab Andrew dengan nada yang agak kesal, namun tetap sabar.


Ketegangan antara David dan Andrew semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Meskipun David mencoba mendekatkan diri, Andrew tetap mempertahankan sikapnya yang dingin dan tidak peduli. David sering kali merasa frustasi, tetapi dia terus berusaha untuk membuat Andrew menyadari keberadaannya, bahkan jika itu berarti harus menghadapi kemarahan Andrew.


Suatu hari, mereka terlibat dalam sebuah pertengkaran di kelas. David, yang sudah sangat terganggu oleh perasaannya, tidak bisa menahan kemarahannya lagi. "Gue nggak ngerti kenapa lo selalu ngerasa lo yang paling hebat. Gue juga punya potensi, lo tahu!" teriak David dengan emosi yang meluap-luap.


Andrew menatap David dengan serius. "Gue nggak pernah bilang kalau gue yang paling hebat. Tapi kalau lo mau bersaing, buktikan aja dengan cara yang bener, bukan cuma dengan teriak-teriak," jawab Andrew dengan ketegasan yang membuat suasana semakin tegang.


 ˖

 ˖

 ˖


Setelah mereka berdamaian, perasaan David terhadap Andrew mulai berubah. Dari kebencian, muncul perasaan yang jauh lebih kompleks. Setiap kali David melihat Andrew, dia tidak bisa menahan rasa kagum dan kekaguman yang aneh. Perasaan ini membuatnya merasa bingung dan kesulitan untuk menghadapinya. Meskipun dia berusaha untuk mengabaikannya, perasaan tersebut semakin kuat.


 David akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya kepada Andrew. Dia merasa bahwa dia tidak bisa terus berbohong kepada dirinya sendiri dan harus mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Pada malam yang dingin, David berdiri di luar rumah Andrew, berusaha mengumpulkan keberanian untuk berbicara.


Ketika Andrew keluar untuk mengambil udara segar, David menghampirinya dengan hati yang berdebar-debar. "Andrew, ada yang harus gue bilang. Gue... gue suka sama lo. Dan gue nggak bisa terus-terusan ngumpet di balik kebencian ini," ucap David dengan suara yang bergetar.


Andrew terkejut dan merasa bingung. "David, gue... gue nggak tahu harus bilang apa. Gue straight, dan gue nggak pernah ngerasa kayak gini. Gue rasa kita perlu ngobrol lebih lanjut tentang ini," jawab Andrew dengan nada yang serius dan canggung.


Setelah pengakuan David, hubungan mereka mulai mengalami perubahan. Andrew merasa tertekan dan tidak tahu bagaimana harus bersikap. David, meskipun merasa lega telah mengungkapkan perasaannya, merasa hatinya hancur karena Andrew tidak bisa membalas perasaannya.


Hari-hari berlalu dengan jarak yang semakin jauh antara mereka. David memilih untuk menjaga jarak dan fokus pada kehidupannya sendiri, sementara Andrew merasa kehilangan sesuatu yang tidak bisa dia definisikan. 





Setelah beberapa minggu berlalu, David memutuskan untuk berbicara dengan Andrew sekali lagi. Dia merasa bahwa dia perlu memberikan penutupan pada hubungannya dengan Andrew, bahkan jika itu menyakitkan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dengan harapan yang sia-sia.


David mengatur pertemuan dengan Andrew di tempat yang sama di mana mereka pertama kali berbicara—di luar rumah Andrew. Dia merasa cemas tetapi bertekad untuk mengungkapkan perasaannya dengan jelas. Andrew, meskipun tidak tahu apa yang diharapkan, setuju untuk berbicara.


Di bawah cahaya bulan yang redup, David menghadap Andrew dengan tatapan penuh kesedihan. "Andrew, gue cuma mau bilang terima kasih. Terima kasih udah ngasih gue kesempatan buat jujur. Gue tahu lo nggak bisa balas perasaan gue, dan gue juga ngerti kalau mungkin gue harus pergi. Ini mungkin jadi yang terbaik buat kita," ucap David dengan suara yang bergetar dan penuh emosi.


Andrew menatap David dengan penuh kesedihan. "David, gue nggak pernah ngerasa gue bisa ngasih lo apa yang lo mau. Tapi gue nggak bisa terus-terusan hidup dalam kebohongan. Gue... gue rasa kita emang perlu pisah supaya lo bisa move on." jawab Andrew dengan suara yang penuh penyesalan.



𝜗𝜚 ˖°.  ⋆.˚⊹

Give Me A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang