[5]

7 1 0
                                    


✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧


Andrew sudah lama hidup dalam bayang-bayang kenangan tentang David. Setelah bertahun-tahun berlalu, dia tidak pernah benar-benar bisa melepaskan diri dari cinta dan rasa kehilangan yang dia rasakan. Semakin lama, semakin sulit baginya untuk membedakan antara kenyataan dan imajinasinya sendiri.


Sejak David pergi, Andrew mulai sering melihat bayangan David di tempat-tempat yang mereka kenal bersama. Di tengah keramaian sekolah, dia akan melihat sosok David yang berdiri di sudut, tersenyum padanya. Saat malam tiba dan dia terjaga di tengah kesunyian, Andrew akan melihat David duduk di tepi tempat tidurnya, dengan senyuman manis yang selalu melekat dalam ingatannya. Tetapi setiap kali Andrew mencoba untuk meraih sosok itu, bayangan David menghilang seperti asap, meninggalkan Andrew dalam keputusasaan yang lebih dalam.


Andrew tahu bahwa ini hanyalah halusinasi, hasil dari pikirannya yang terlalu terbebani oleh rasa kehilangan. Tetapi setiap kali dia melihat David, meskipun hanya dalam imajinasinya, hatinya terasa hangat. Ini adalah satu-satunya cara dia bisa tetap merasa dekat dengan orang yang paling dia cintai.


Pada suatu malam, Andrew merasa sangat lelah. Kepalanya berat, pikirannya berkabut, dan dia merasakan keinginan yang kuat untuk melarikan diri dari semua rasa sakit yang dia rasakan. Dia menenggak beberapa pil tidur, berharap bisa terlelap dan melupakan semuanya untuk sementara waktu. Tetapi malam itu berbeda dari malam-malam sebelumnya.


Ketika Andrew terbangun di tengah malam, dia melihat David berdiri di ujung tempat tidurnya lagi. Tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. David tidak hanya tersenyum—dia berbicara. "Andrew," suara itu lembut dan penuh kasih, seolah-olah berasal dari mimpi yang paling dalam. "Gue balik."


Andrew terdiam, tubuhnya membeku di tempat. Ini tidak mungkin nyata, pikirnya. Ini pasti hanya efek samping dari terlalu banyak obat tidur. Namun, suara itu terdengar begitu jelas, begitu nyata. Andrew merasa ragu antara mempercayai apa yang dia lihat dan mendengar, atau menolaknya sebagai ilusi lain yang diciptakan oleh pikirannya yang kacau.


Dia mengusap matanya, berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk yang bisa dia hilangkan begitu saja. Tetapi ketika dia membuka matanya lagi, David masih ada di sana, menatapnya dengan penuh perhatian. "Ini gue, Andrew. Gue beneran di sini."


Andrew duduk tegak, dadanya sesak oleh emosi yang berkecamuk. "Nggak mungkin... lo nggak mungkin di sini," bisiknya, suaranya hampir pecah. "Gue pasti lagi mimpi... atau halusinasi lagi."


Tetapi bayangan David tetap di sana, tidak menghilang seperti biasanya. Andrew merasakan rasa takut yang membuncah—takut bahwa ini hanyalah permainan dari pikirannya yang lelah, tetapi juga takut bahwa jika dia menolak mempercayainya, bayangan ini akan menghilang lagi.


Andrew menatap sosok David dengan intens, mencari tanda-tanda bahwa ini mungkin nyata. Tetapi tidak ada apa pun yang bisa meyakinkannya sepenuhnya. Tetap saja, sesuatu di dalam dirinya ingin percaya. Mungkin ini adalah harapan yang dia pertahankan selama ini—bahwa suatu hari, David akan kembali padanya.


"Lo... lo beneran di sini?" Andrew berbisik, matanya dipenuhi air mata yang tidak bisa dia tahan lagi. "Atau gue udah terlalu gila karena kehilangan lo?" David, atau bayangan yang Andrew lihat sebagai David, hanya tersenyum dengan penuh kelembutan. "Gue di sini, Andrew. Gue nggak pernah benar-benar ninggalin lo."


Andrew merasakan kehangatan menjalar ke seluruh tubuhnya, seolah-olah seluruh dunia akhirnya memberikan sedikit kebahagiaan di tengah kegelapan yang dia rasakan selama ini. "Gue kangen banget sama lo," Andrew mengakui, suaranya pecah oleh isak tangis yang dia tahan selama ini. "Gue nggak tahu harus gimana tanpa lo."


David mendekat, dan untuk pertama kalinya, Andrew merasakan kehangatan dari sosok itu—bukan hanya bayangan, tapi sesuatu yang terasa lebih nyata. "Gue juga kangen sama lo," jawab David, suaranya begitu lembut.


Andrew meraih tangan David, berharap bahwa kali ini, dia tidak akan hilang. Tapi saat jari-jarinya menyentuh kulit David, sosok itu mulai memudar, seperti kabut yang diterpa angin. Andrew merasa jantungnya tenggelam saat ilusi itu perlahan menghilang, meninggalkannya sendirian lagi dalam kegelapan kamarnya.


"David... jangan pergi." Andrew memohon, air mata mengalir deras di pipinya. Tetapi bayangan itu sudah lenyap, hanya meninggalkan keheningan yang menyakitkan. Andrew menundukkan kepalanya, merasakan kehancuran yang lebih dalam daripada sebelumnya. Kali ini, perasaan bahwa dia telah benar-benar kehilangan David begitu kuat, dan dia tidak tahu apakah dia bisa bertahan lebih lama lagi dalam kondisi seperti ini.


"Tuhan.. siapapun, tolong.. Balikan aku ke masa lalu, aku ingin bertemu dengan David sekali saja, siapa pun itu, ku mohon..." Andrew berkata sambil terisak.


Yup, tidak ada respon. Andrew mulai putus asa.


"Fuck this world, lebih baik gue tidur selamanya aja." kata Andrew yang sudah capek dengan kondisinya saat ini.


Andrew memutuskan untuk meminum lebih banyak obat tidur, karena hanya lewat mimpi ia bisa bertemu dengan David, lelaki yang ia cintai itu.




Hari-hari berikutnya, Andrew tidak lagi bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi. Dia hidup dalam ketakutan bahwa bayangan David akan muncul lagi, hanya untuk menghilang dan menghancurkannya lebih dalam. Setiap kali dia mencoba tidur, dia berharap untuk tidak terbangun lagi. Tetapi pagi selalu datang, membawa rasa sakit yang tidak pernah hilang.


Teman-teman dan orang sekitar Andrew mulai menyadari perubahan yang drastis dalam diri Andrew, tetapi tidak ada yang bisa mengerti kedalaman trauma yang dia alami. Andrew terjebak dalam lingkaran kesedihan yang tidak berujung, merasa bahwa hidupnya tidak lagi berarti tanpa David.


Dalam keputusasaan yang tak terelakkan, Andrew mengambil keputusan. Dia tidak bisa terus hidup dalam keadaan seperti ini, terjebak antara kenyataan dan ilusi. Dia tahu bahwa satu-satunya cara untuk menemukan kedamaian adalah dengan mengakhiri penderitaannya sendiri.


Andrew menulis surat terakhir, sama seperti yang dia lakukan sebelumnya, tetapi kali ini untuk orang-orang yang dia tinggalkan. "Maaf, gue nggak bisa lanjut lagi. Gue harap kalian bisa ngerti. Gue nggak kuat tanpa David."


Dengan tangan yang gemetar, dia menelan obat tidur lebih banyak daripada sebelumnya, berharap ini akan menjadi akhir dari semua rasa sakit. Ketika kesadarannya mulai memudar, dia melihat bayangan David lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lembut dan menenangkan. Andrew ingin percaya bahwa itu nyata, bahwa David benar-benar datang untuk membawanya pergi.


Dalam detik-detik terakhirnya, Andrew berbisik, "David, bawa gue pergi. Gue nggak mau sendirian lagi." Dan dengan itu, kegelapan menelan segalanya, membawa Andrew pergi dari dunia yang penuh dengan rasa sakit dan ilusi.



✩₊˚.⋆☾⋆⁺₊✧

Give Me A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang