⋆.ೃ࿔*:・
Di malam hari, di saat-saat paling gelap ketika dia terjaga di tempat tidurnya, bayangan David sering kali muncul di sampingnya, tersenyum dengan lembut seolah-olah ingin menghibur Andrew. Setiap kali Andrew berusaha meraih atau berbicara dengan bayangan itu, ia menyadari bahwa itu hanya ilusi, yang membuatnya merasa semakin terasing dan tertekan.
Andrew menjadi semakin tertekan oleh kehadiran ilusi-ilusi itu. Dia mulai merasa bahwa hidupnya hanyalah rangkaian dari penglihatan yang menipu dan menyakitkan. Setiap kali dia mencoba untuk berbicara dengan seseorang tentang pengalamannya, mereka hanya menganggapnya sebagai efek dari stres yang berkepanjangan. Dokter juga hanya memberinya obat tidur untuk mengatasi kecemasan, tetapi itu tidak mengatasi rasa sakit emosional yang mendalam.
"Andrew, Andrew! Bangunlah.."
Andrew langsung terbangun dengan jantung berdebar kencang setelah mendengar suara itu. Dia merasa seolah-olah baru saja terjatuh dari ketinggian, mendarat kembali di dunia yang dia kenal dengan baik, tapi sesuatu terasa aneh. Saat matanya mulai fokus, dia mendapati dirinya berada di sebuah tempat yang tidak asing. koridor SMA tempat dia dan David sering menghabiskan waktu bersama, meskipun lebih sering dalam ketegangan daripada kebahagiaan.
Suatu malam yang sangat gelap dan melelahkan, setelah overdosis obat tidur yang tidak sengaja, Andrew merasakan dirinya ditarik ke dalam kegelapan. Namun, saat dia terbangun, dia menemukan dirinya tidak berada di dunia yang gelap dan penuh kesakitan itu, melainkan di koridor SMA tempat dia dan David sering bertemu.
Kepala Andrew terletak di pangkuan David. David, dengan senyuman lembut di wajahnya, tampak sangat nyata. Andrew merasa kehangatan tangan David yang menyentuh pipinya dan merasakan napas lembut yang menghembus di wajahnya.
"Andrew, lu baik-baik aja? Wajah lu pucat, sini... Mungkin lu masih pusing karena jatuh dari tangga tadi.." ucap David dengan nada lembut yang penuh perhatian.
Andrew terdiam, matanya terbuka lebar. Dia mencoba untuk memahami apa yang terjadi, tetapi kenyataan bahwa David, yang sudah lama hilang dari hidupnya, kini berada di hadapannya, membuatnya bingung dan merasa terombang-ambing. Setiap detik terasa seperti mimpi yang aneh dan sangat nyata pada saat yang bersamaan.
"David... ini... ini nyata?" Andrew berbisik, suaranya bergetar. Dia menyentuh lengan David, merasakan kehangatan dan kepastian yang selama ini hanya bisa dia impikan.
David menatap Andrew dengan kekhawatiran. "Kenapa? Lu kenapa sih, Andrew? Gue di sini, nggak usah takut."
Andrew memejamkan matanya, mengatasi gelombang emosi yang menghantamnya. Dia merasa air mata mulai mengalir di pipinya. Dalam keadaan emosional ini, dia tidak peduli jika ini adalah mimpi, ilusi, atau kenyataan-dia hanya ingin merasakan kehadiran David sekali lagi.
"Gue... Gue nggak tahu... Kalau ini mimpi, gue nggak mau bangun.." ujar Andrew dengan suara pecah.
David, melihat betapa emosionalnya Andrew, mengelus rambutnya dengan lembut. "Ini bukan mimpi, Andrew. Gue di sini. Lu nggak apa-apa."
Andrew merangkul David dengan erat, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang selama ini hilang dari hidupnya. Dia tahu bahwa dia telah diberi kesempatan kedua, dan dia tidak ingin membuangnya. Dia tidak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya; yang dia inginkan hanyalah tinggal di momen ini, bersama David, untuk merasakan kebahagiaan yang pernah dia rindukan.
Andrew telah diberi kesempatan untuk kembali ke masa lalu, ke saat-saat ketika mereka masih remaja dan David masih hidup. Dia merasa bersemangat untuk mengubah segalanya. Andrew tidak tahu ini adalah kesempatan dari Tuhan atau hanya permainan dari iblis. Tetapi dia tidak peduli, apa yang dia pedulikan sekarang adalah untuk mengubah hidupnya dalam kesempatan ini, demi lelaki tercintanya, David Prasetya.
⋆.ೃ࿔*:・
KAMU SEDANG MEMBACA
Give Me A Second Chance
RomanceAndrew Virendra dan David Prasetya adalah dua anak laki-laki yang hidup dalam dunia yang penuh dengan persaingan. Andrew, seorang siswa cerdas yang selalu berada di puncak, dan David, seorang berandalan yang tidak pernah dianggap serius oleh siapa p...