[2]

7 1 0
                                    

⋆ ˚。⋆୨୧⋆ ˚。⋆

after that day.


Hari-hari setelah pengakuan David menjadi semakin berat. David mencoba untuk mengalihkan perhatiannya dari perasaan yang menyakitkan dengan fokus pada pelajaran dan kegiatan lain, tetapi rasa sakitnya tidak bisa dihindari. Setiap kali dia melihat Andrew, baik di koridor sekolah maupun di kelas, hatinya terasa tertekan. Andrew sendiri tampaknya berusaha untuk kembali ke rutinitasnya yang normal, tetapi ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya.


David menghabiskan waktu malamnya di kamarnya, menulis di jurnal pribadinya tentang perasaannya yang hancur. Setiap kata yang ditulisnya mencerminkan betapa dalamnya rasa sakit yang dirasakannya. "Aku mencoba untuk tidak memikirkanmu, tapi setiap kali aku menutup mata, wajahmu ada di sana. Aku merasa terjebak dalam perasaan ini, dan aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menghilangkannya," tulis David dengan air mata yang membasahi halaman-halaman jurnalnya.





Andrew, di sisi lain, berjuang dengan perasaannya sendiri. Meskipun dia tidak membalas perasaan David, dia merasa bersalah dan bingung. Dia sering kali terbangun di malam hari, merenungkan bagaimana dia bisa menghadapi situasi ini dengan lebih baik. "Kenapa perasaan ini begitu rumit? Kenapa aku merasa seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga meskipun aku tidak tahu apa itu?" pikir Andrew dalam keheningan malam.


Setelah beberapa minggu berlalu, David memutuskan untuk berbicara dengan Andrew sekali lagi. Dia merasa bahwa dia perlu memberikan penutupan pada hubungannya dengan Andrew, bahkan jika itu menyakitkan. Dia tahu bahwa dia tidak bisa terus hidup dengan harapan yang sia-sia.


David mengatur pertemuan dengan Andrew di tempat yang sama di mana mereka pertama kali berbicara, di taman. Dia merasa cemas tetapi bertekad untuk mengungkapkan perasaannya dengan jelas. Andrew, meskipun tidak tahu apa yang diharapkan, setuju untuk berbicara.


Di bawah cahaya bulan yang redup, David menghadap Andrew dengan tatapan penuh kesedihan. "Andrew, terima kasih. Gue tahu lo nggak bisa balas perasaan gue, dan gue juga ngerti kalau mungkin gue harus pergi. Ini mungkin yang terbaik buat kita," ucap David dengan suara yang bergetar dan penuh emosi.


Andrew menatap David dengan penuh kesedihan. "David.. Gue nggak pernah bisa ngasih lo apa yang lo mau. Maaf, gue nggak bisa balas perasaan lo ke gue."





Sore itu, David berdiri di depan gerbang sekolah, menatap sekali lagi ke arah bangunan yang telah menjadi bagian dari hidupnya. Setiap sudut bangunan ini mengingatkannya pada Andrew, pada perasaannya yang tak terbalas, dan pada mimpi-mimpinya yang hancur. Air mata mengalir di pipinya saat dia menyadari bahwa dia harus meninggalkan semuanya di belakang.


Andrew, yang mengetahui bahwa David akan pergi, merasa hati yang berat. Dia berdiri di sisi lain gerbang sekolah, mengamati David dari jauh. Meskipun mereka tidak berbicara lagi, dia merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya, sebuah kekosongan yang tidak bisa diisi dengan apa pun. Saat David menaiki bus yang akan membawanya pergi, Andrew menatap dengan mata yang penuh kesedihan, merasakan beratnya kehilangan.


Andrew masih sering teringat pada masa-masa mereka bersama. Meskipun dia melanjutkan hidupnya dengan rutinitas sehari-hari, ada sesuatu yang selalu mengganggu pikirannya. Dia mulai menyadari betapa berarti David dalam hidupnya dan betapa banyak hal yang telah dia tinggalkan tanpa menyadarinya.


David berusaha keras untuk mencari kebahagiaan dan kedamaian di tempat barunya, tetapi kenangan tentang Andrew terus menghantui setiap langkah yang dia ambil.


Pada suatu malam yang tenang, David duduk di balkon apartemennya, menatap bintang-bintang di langit. Dia menulis surat terakhir yang ditujukan kepada Andrew, meskipun dia tahu bahwa surat itu tidak akan pernah sampai. "Andrew, aku ingin kau tahu bahwa meskipun kita terpisah, kau selalu memiliki tempat di hatiku. Aku berdoa agar kau menemukan kebahagiaan yang pantas kau dapatkan. Selamat tinggal," tulis David dengan hati yang penuh rasa sakit.


Surat tersebut dibiarkan tanpa alamat dan diletakkan di dalam kotak penyimpanan kecil di sudut kamar. David merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk mengucapkan selamat tinggal, meskipun itu tidak memberikan penutupan yang dia cari.


Di sisi lain, Andrew, saat menatap langit malam dari tempat yang jauh, merasakan kekosongan yang tidak bisa diisi oleh apa pun. Dia menyadari bahwa kehilangan David mungkin adalah pelajaran yang paling berat yang pernah dia hadapi—sebuah pengingat bahwa terkadang kita baru menyadari nilai seseorang ketika mereka sudah pergi.



⋆ ˚。⋆୨୧⋆ ˚。⋆

Give Me A Second ChanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang