[01] The Hidden Prince

516 51 8
                                    

Di usiaku yang dapat dikatakan sudah memasuki era emas, aku harus menerima kenyataan bahwa perjalanan hidupku masih harus berada di bawah bayang-bayang orangtuaku.

Maksudku, apakah ada yang tidak terkejut bila ternyata kedua orangtuamu ternyata sudah merencanakan banyak keputusan yang tak bisa diganggu gugat lagi? Terlebih itu berkaitan dengan martabat keluarga sehingga mau tidak mau kau harus mengabulkannya?

Munafik sekali jika aku tidak keberatan. Percayalah, kali pertama aku mendengar berita ini, aku tidak bicara dengan Ibu berhari-hari sebelum akhirnya hatiku luluh melihatnya bersedih hati tiap malam.

Ibu hanya memiliki aku, dan aku hanya memiliki Ibu. Mungkin bila pola pikirku berotasi pada materi, aku akan senang-senang saja. Tetapi aku masih merawat hati nuraniku dengan sangat baik untuk mampu mencerna bahwa keluarga kecil kami ini masih mempertaruhkan nama baik yang belum sepenuhnya pulih sampai Ayah pergi meninggalkan kami untuk selamanya.

Aku tidak ingin egois hanya karena bermimpi soal masa depan impianku sendiri. Ibu masihlah prioritasku sehingga di sinilah aku sekarang. Duduk dengan (berusaha) anggun ditemani degup jantung yang berkali-kali membuatku meremas gaunku demi meredakan gugup.

"Pangeran akan datang terlambat karena masih menghadiri rapat di Istana Buckingham. Mohon maafkan keterlambatan kami dalam memberi kabar."

Ucapan sang petugas di kastil ini. Kalau tidak salah ingat, dia bernama Nicholas. Ya, benar, Sir Nicholas. Kudengar sebenarnya dia seorang pendamping pribadi sang pangeran. Hanya saja dia berkenan meluangkan waktu sibuknya untuk menyambutku datang kemari.

"Jadi, apakah saya tetap harus menunggu kepulangannya, atau mungkin membuat rencana di lain hari?"

"Karena kami tidak dapat memastikan kapan tepatnya Pangeran akan kembali, maka keputusan ada pada Anda. Hanya saja, kami akan dengan senang hati melayani Anda bila ingin menyamankan diri di sini lebih lama."

Sepiring roasted meat yang belum kusentuh sama sekali ini bahkan tidak menggugahku untuk berlama-lama di ruang makan ini. Percayalah, rasanya begitu asing dengan segala perhatian yang bukan menjadi kebiasaanku. Bahkan aku tidak menyangka bahwa mereka akan memberi jamuan sespesial ini hanya untuk menyambut orang biasa sepertiku ini.

Kubawa kembali kedua tanganku ke pangkuan sebelum mendongak. Sebisa mungkin aku tunjukkan senyum sopanku sebelum berkata, "Kalau begitu bolehkah saya mengambil waktu untuk melihat isi kastil ini? Saya dengar bahwa taman di belakang sana sangat nyaman untuk bersantai sejenak."

Sir Nicholas turut tersenyum seraya mundur selangkah, membuka tangannya untuk mempersilahkan, "Tentu saja, Tuan Putri."

Aku terkekeh di dalam hati mendengar sebutan itu. Aku memang pernah bermimpi menjadi seorang tuan putri tetapi aku tahu diri untuk cukup menyimpannya di dalam anganku.

Tapi lihatlah sekarang, tiba-tiba saja aku berada di posisi akan menjadi seorang tuan putri.

Kuikuti saja ke mana Sir Nicholas mengantarku. Fokusku lebih banyak pada mengatur gaunku yang sesungguhnya tampak berlebihan. Vintage dress merah marun berlengan panjang namun masih menonjolkan dadaku sampai aku sempat merotasikan mata kala Ibu juga memberikan dalaman untuk menopangnya agar terlihat kencang.

Sebenarnya aku ini datang untuk melakukan pertemuan sederhana atau pesta? Tetapi Ibu mengatakan bahwa aku harus memberi kesan pertama luar biasa sehingga sekarang aku harus menjinjing sedikit gaunku yang panjangnya sudah menyentuh lantai ini.

Untungnya keresahanku soal kostum segera sirna begitu melihat pemandangan indah yang kucari.

Sir Nicholas membebaskanku untuk mencuci mata, bahkan beberapa petugas yang tengah menyiram maupun memotong dedaunan segera undur diri. Memberi aku ruang untuk menelusuri jalanan konblok yang rapi ini demi memasuki taman kastil lebih jauh lagi.

Bunga-bunga bermekaran dengan cantik dan rapi. Mereka pasti dirawat dengan sepenuh hati sehingga tumbuh dengan segar. Tangan-tanganku mendadak gatal ingin menyentuh mereka, membayangkan jika suatu saat aku bisa berlama-lama di sini dan memberi kasih sayang sebagaimana yang sering kulakukan selama ini.

Oh, Ibu juga pernah berkata bahwa ia mendambakan lahan luas semacam ini untuknya bisa berkebun. Ibu begitu mencintai bunga—sama sepertiku—tetapi sayang sekali tanah di belakang rumah sederhana kami begitu tandus dan perlu digempur dengan tanah baru.

Mungkin aku juga akan menambahkan air mancur kecil agar terlihat lebih berwarna seperti taman ini—

"Do you like it?"

"Astaga!"

Entah berapa lama aku tenggelam oleh pikiran sendiri sampai tidak menyadari kedatangan seseorang di belakangku. Oh, sialnya, dia memergokiku yang tengah mengulurkan tangan membiarkan kucuran air mancur itu membasahi tanganku.

Sungguh perbuatan tidak sopan!

"Emm, ya, tempatnya sangat indah. Saya sampai terlena dan tidak menyadari tangan ini sudah lancang menyentuhnya," jawabku gugup bukan main dan tidak dapat mengontrol diri kala sebuah sapu tangan datang ke hadapanku.

"Gaunmu terlalu cantik untuk dijadikan pelampiasanmu. Pakailah ini."

Aku semakin salah tingkah sebab tanganku sudah terlanjur menjadikan gaunku sebagai handuk. Tawa sumbang keluar begitu saja dari mulutku seraya menerima pemberiannya dengan kikuk.

"Terima kasih. Saya akan segera mengembalikannya nanti."

"Tidak perlu. Anggap itu setitik buah perkenalan sebelum membicarakan soal pernikahan kita nanti."

Aku tertegun bersamaan dengan jantungku mencelus hebat. Bagus sekali, sudah berbuat lancang, aku juga sudah bertindak tidak sepantasnya di hadapan pria yang baru kusadari sebagai calon suamiku kelak!

"Ka-kau ... apa?"

Terkutuklah mulutku yang lancang bersuara ini. Sudah berani tidak mengenal sosoknya, sekarang berani sekali aku mengucap kalimat tidak sopan itu di depan seorang pangeran?!

Tapi bukan sepenuhnya kesalahanku juga lantaran hampir tidak pernah melihat rupanya. Karena dia memang seorang pangeran tersembunyi yang tidak pernah diperkenalkan oleh negeri ini.

Dan aku—entah bagaimana caranya takdir menggariskan nasib ini kepadaku—sudah dicetuskan akan menikah dengan pangeran yang bahkan baru kali ini aku melihat rupanya. Merenggut sebagian akalku sampai-sampai aku nyaris lupa untuk bernapas dan lupa untuk bersikap semestinya.

"Yang Mulia Pangeran. Maafkan atas ketidaksopanan saya—"

Baru saja merendahkan tubuh demi memohon ampun, sentuhan halus kurasakan di tanganku. Menyentakku yang sempat menundukkan pandangan untuk bersitatap dengan iris kebiruan yang kelam bagai tersenyum mengikuti lengkungan indah di bibirnya.

"Bukan salahmu karena aku memang tidak memperkenalkan diri terlebih dulu. Maafkan aku."

Suaranya begitu menenangkan. Pun sorot pandangnya yang lugas seperti tengah memberikan pesona yang membuatku berdesir dengan lancangnya. Aku tidak percaya ini.

Dia sungguh pria yang akan menjadi calon suamiku...?

"I am Prince Arthur. For you, just call me Arthur, Princess Bella."

    

    

[The Hidden Prince]

to be continued

Wahahaha haloo untuk siapa saja yang berhasil membaca bab satu ini, salam kenal dari Arthur dan Bella! 🙌

Cerita ini akan aku tulis dengan versi yang lebih rapi lagi supaya alurnya lebih jelas nantinya yaa. Mengingat yang aku tulis pertama kali di sebelah kayak masih berantakan banget dan kayaknya agak lompat-lompat gituu huhuhu semoga yang di sini bisa lebih baik dan lebih enak dibacanyaa ><

Dan semoga bisa update rutin yah hehehe mudah-mudahan tiap akhir pekan aku bakal luangkan waktu buat update Arthur-Bella di sini ((plis doakan aku semoga bisa konsisten hwhwhw))

Terima kasih sudah mampir~ 🥹🫶 tolong dukung mereka di sini yaa 💙🩵

      

Elvabari❣️

August 10, 2024

The Hidden PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang