Chapter Four

108 54 46
                                    

Setelah berminggu-minggu tidak update, akhirnya aing muncul kembali HEHE :>

~Pak Mamat beli kaca~
Selamat membaca🌨️

•••••

Silvy menatap pantulan wajahnya pada cermin kecil di genggamannya. Wajah lelah kurang tidur, bawah mata yang sedikit menghitam, bibirnya yang sedikit pucat, benar-benar seperti tidak punya gairah hidup sama sekali. Padahal di Minggu pagi ini cuaca sedang cerah-cerahnya, bahkan awan putih pun seperti enggan menutupi langit biru, tapi tidak dengan suasana hati gadis berkaos merah muda itu. Jiwanya benar-benar mendung dan mood yang benar-benar buruk.

"Lesu banget sih, Ivy."

Silvy menoleh ke arah Shilla yang berjalan mendekatinya membawa nampan berisi secangkir teh hangat yang asapnya masih mengepul. Mamanya itu memang punya aura yang berbeda jauh dengannya. Mama yang selalu ceria, terkesan humble, dan mudah bergaul. Sikapnya itu yang membuat Mama punya banyak teman, berbanding terbalik dengan Silvy yang sayap pergaulannya sempit. Ia tidak mudah bergaul, punya sahabat dekat pun hanya tiga orang saja, dengan teman sekelas ia juga tidak terlalu akrab. Untuk Papa juga begitu, laki-laki yang saat ini sedang sibuk di luar kota juga sama persis sifatnya seperti Mama. Gen mudah bergaul milik orangtuanya ternyata tidak ada yang menurun padanya.

"Diminum dulu teh nya,"ucap Shilla meletakkan teh pada meja tepat di hadapan Silvy.

Gadis itu menyeruput perlahan teh buatan Mamanya, hangat pun menguap di rongga dadanya ketika minuman itu berhasil ia teguk.

"Kemarin begadang ya?"

Silvy menggeleng. "Kemarin Ivy gak bisa tidur Ma,"Ivy, adalah panggilan Silvy sejak kecil.

Dahi Shilla mengernyit. "Gak biasanya, kamu ada masalah?"

Lagi-lagi gadis berkaos merah muda itu menggeleng. Tidak mungkin juga, kan, Silvy harus jujur kalau kemarin ia mengalami hal yang di luar nalar? Bisa-bisa Mama juga memarahinya kalau tahu tentang itu.

"Enggak kok Ma, emang gak bisa tidur aja."

Shilla mengangguk mengerti. Tidak sepenuhnya percaya, ia adalah orang yang paling tahu tentang Silvy, menjadi Ibu selama 17 tahun ini membuatnya hafal bagaimana putrinya. Meskipun Silvy tidak mau bercerita yang sesungguhnya ia tahu kalau gadis itu tengah punya masalah. Tapi Shilla juga tidak memaksa, putrinya sudah remaja dan ia juga pasti punya privasi. Ia yakin kalau Silvy ingin bercerita, gadis itu akan datang padanya.

"Ma, kalau Ivy pindah sekolah aja gimana?"

"Pindah sekolah? Kamu gak ngalamin hal-hal yang gak baik di sekolah, kan?"

"Enggak Ma, aku cuma mau pindah aja, males kalau harus ketemu cowok nyebelin itu lagi!"Yang Silvy maksud sudah pasti Dellio, siapa lagi?

Shilla tersenyum kecil. "Selagi Ivy gak di jahatin, ajak temenan aja."

Silvy menggeleng. "Ah! Enggak mau, asal Mama tahu tuh cowok rese banget, Ivy benci sama dia!"

"Hmmm... hati-hati ngomongnya, yang benci bisa jadi suka,"Shilla tertawa kecil.

"Tuh kan! Mama mah,"Silvy cemberut.

"Udah, daripada badmood begini mending kamu mandi dulu terus ikut Mama biar ga sumpek di rumah mulu."

"Ikut kemana?"

"Ke suatu tempat, sekalian mau ketemu sama temen lama Mama,"Shilla membereskan cangkir teh yang tadi lalu bangkit.

Truth or DareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang