𝐈 - 𝐕𝐈𝐈𝐈

53 7 1
                                    

Libur natal telah selesai tiga bulan yang lalu. Tepatnya pada tanggal 5 Januari, semua murid yang sebelumnya pulang ke rumah pun kembali berdatangan ke Hogwarts. Mereka mulai disibukkan menyiapkan diri untuk ujian akhir semester pertama yang akan dilaksanakan dua hari lagi. Ujian akan berlangsung dari tanggal 10 April - 15 April.

Psyche bersama kedua sahabatnya sedang belajar di kamarnya. Sesekali dia mengajarkan beberapa materi yang tidak mereka pahami.

"Arrghh... Aku tidak suka pelajaran potions, materinya sangat banyak. Kepalaku mulai pusing." Keluh Dionne, dia menjatuhkan wajahnya ke bantal yang berada di pangkuannya.

"Aku lebih suka menghitung galleon daripada belajar." Suara Dione terdengar sedikit tidak jelas karena teredam bantal.
Giselle merotasikan bola matanya saat melihat tingkah Dionne. "Kalau pilihannya hanya ada menghitung galleon atau belajar, semua orang yang malas belajar juga pasti akan sama sepertimu. Memilih menghitung galleon. Dasar bodoh."

"Ishh... Giselle! Aku ini tidak bodoh, hanya saja-"

"Hanya saja apa huh?"

"Hanya saja aku kurang pintar, hehe."

"Itu sama saja bodoh namanya." Karena terlanjur emosi, Giselle memukul Dionne dengan bantal. Dionne yang tidak terima pun membalasnya sehingga perang bantal pun tidak terelakkan.

Psyche menghembuskan nafasnya, merasa lelah dengan tingkah ajaib sahabatnya.
"Stop it, please." Ujar Psyche. Sayangnya, kedua sahabatnya sama sekali tidak mendengarnya.

Bantal yang sudah sobek itu mulai mengeluarkan bulu-bulu di dalamnya, membuat kamar Psyche terlihat sangat kacau.

Psyche segera mengambil wand miliknya, mendekatkannya ke arah leher. "Sonorus."

"Stop it, please."

Karena mantra yang dia ucapkan sebelumnya, suara Psyche terdengar sangat keras di dalam kamarnya yang kecil. Seketika dua sahabat idiotnya berhenti berulah, mereka memamerkan cengirannya ke arah Psyche.

"Reparo."

Perlahan bulu-bulu yang telah berjatuhan kembali terangkat dan masuk ke dalam bantal. Bantal yang tadinya sobek pun sudah kembali seperti semula, bahkan terlihat seperti baru.

"Maaf, Syche." Ujar Dionne dan Giselle dengan kepala yang menunduk.

"Lebih baik kalian pergi ke great hall, sebentar lagi jam makan malam. Aku akan melewatkan makan malam."

"Tapi Syche... Kau juga harus makan malam, kau akan sakit kalau melewatkan makan malam dan memilih untuk terus belajar." Ujar Giselle mengingatkan.

"Ya, Giselle benar. Begini saja, kau mau makan apa? Kami akan membawakannya ke sini." Tawar Dionne.

Psyche menatap tajam kedua sahabatnya. "Kalaupun aku lapar, aku akan mengambil sendiri. Kalian pergilah, cepat pergi sebelum aku hilang kendali karena emosiku belum stabil."

"Maaf, Syche." Ujar Dionne dan Giselle bersamaan sebelum keluar dari kamar Psyche.

⚜⚜⚜

Psyche menghentikan belajarnya, tiba-tiba perutnya terasa sangat sakit. Dia menutup buku yang sedang dibaca, melirik ke arah nakas. Jam beker di atas nakas sudah menunjukkan pukul 23:35, hampir tengah malam. Pantas saja perutnya sakit, Psyche melewatkan makan malamnya.

Diambilnya outter yang tergeletak di sofa. Memakaikan outter itu ke tubuhnya yang kini memakai gaun tidur sedikit terbuka. Psyche membuka pintu kamarnya, berjalan menuruni tangga. Dia hendak keluar dari asrama, lebih tepatnya pergi ke dapur. Psyche butuh sesuatu untuk mengganjal perutnya.

"Mau melanggar jam malam huh?" Celetuk seseorang begitu Psyche melewati common room.

"Bagaimana jika aku mengadukanmu ke Profesor Galvanize?" Ancam orang itu membawa-bawa nama kepala asrama mereka.

Gadis yang sudah berusia sebelas tahun itu menghela nafasnya kala terciduk seseorang. Terlebih diciduk oleh seseorang yang dia anggap sebagai musuh, Eros Sylvester.
Psyche berjalan mendekat ke arah Eros yang duduk angkuh di sofa dekat berapian. Tanpa mengatakan apapun dia meraih tangan laki-laki itu, menarik tubuh lawan jenisnya agar mengikuti langkahnya.

"Mau kemana kalian? Ini hampir tengah malam." Ujar lukisan Lucan yang terpasang di pintu asrama.

"Ck. Diamlah." Ujar Psyche seraya menatap Lucan dengan sinis.

Sambil terus menarik Eros, Psyche berjalan ke lorong sebelah kiri. Di sepanjang lorong, berjejer patung-patung dan juga obor yang terpasang sebagai penerang.

"Ternyata anak teladan sepertimu bisa nakal juga ya." Sindir Eros yang sayangnya diabaikan Psyche.

Psyche terus berjalan sampai ke patung barisan ke-delapan. Patung itu mungkin sama seperti patung-patung yang lainnya, tapi sebenarnya patung ke delapan bukanlah patung biasa.

"Dissendium."

Seketika patung itu bergeser, menampilkan sebuah jalan rahasia di baliknya. Diam-diam Eros berdecak kagum. Bagaimana bisa gadis yang sedaritadi menarik tangannya ini mengetahui lorong rahasia ini? Dari mana dia tau?

Oh, ayolah. Mereka bahkan baru kelas satu, masih terhitung sebagai murid baru. Eros bahkan hanya tau tempat-tempat rahasia yang sudah banyak diketahui orang.

"Kemana kita akan pergi, halfblood?" Tanya Eros saat mereka mulai berjalan memasuki lorong.

"Diamlah, cukup ikut saja jika kau ingin tau."

Dengan kesal Eros menutup mulutnya rapat-rapat. Dia menjadi sedikit menyesal telah mengajak berbicara gadis menyebalkan di depannya ini. Mereka terus berjalan hingga sampai di ujung lorong yang tampaknya adalah jalan buntu.

Seketika Eros tersenyum smirk. "Cih, jadi kau hanya membawaku ke lorong yang ternyata jalan buntu? Membuang-buang waktu saja." Ejeknya.

Tanpa meladeni ucapan laki-laki lemes di belakangnya, Psyche menekan salah satu batu yang terlihat menonjol dari yang lainnya. Setelah ditekan, satu persatu batu itu terbelah, menampilkan sebuah ruangan yang Eros kenali. Dapur. Ternyata lorong tadi adalah salah satu jalan rahasia menuju dapur.

Psyche menatap Eros dengan sinis, membuat laki-laki itu merasa sedikit kikuk. "O-Okey, aku tarik ucapanku tadi." Ujar Eros seraya mengalihkan pandangannya, berusaha agar matanya tidak bertemu dengan mata Psyche.

Meninggalkan Eros yang masih terdiam di tempatnya, Psyche melangkah mendekat ke arah lemari pendingin. Mengambil beberapa potong cake dari dalam sana.

"Oh, rupanya kau kelaparan huh?" Ujar Eros seraya mendudukkan tubuhnya ke atas kursi dekat pantry.

Psyche mendudukkan dirinya di kursi yang berseberangan dengan Eros. Dia dengan tenang memakan cakenya tanpa sedikitpun berniat menawarkannya kepada laki-laki itu. Tidak peduli dengan itu, Eros mengambil apel hijau di meja pantry lalu memakannya seraya menatap wajah cantik di depannya.

"Apa yang baru saja kau lakukan sampai kelaparan di tengah malam seperti ini?" Tanya Eros tiba-tiba, mengalihkan atensi Psyche dari cakenya.

"Tentu saja belajar, besok kita ujian akhir semester."

"Kau terlalu bekerja keras sampai-sampai lupa mengisi perutmu, halfblood."

"Aku hanya tidak ingin mensia-siakan masa sekolahku."

"Setidaknya jangan terlalu keras dengan dirimu sendiri." Mendengar nasihat itu, Psyche hanya menganggukkan kepalanya.
"Bagaimana denganmu? Kenapa belum tidur juga?" Kini Psyche balik bertanya kepada Eros.

"Insomnia." Bohongnya. Padahal aslinya, Eros hanya tidak ingin kembali memimpikan kejadian bunuh diri sepasang kekasih Slytherin itu. Sejak masuk ke Hogwarts, dia jadi sering memimpikannya. Tidak setiap hari memang, hanya beberapa kali seminggu dan itu tidak menentu. Sementara itu, Psyche malah kebalikan dari Eros. Sejak di sini, dia tidak pernah lagi memimpikan Draco dan Queen.

━━━━━━━━━━━━

Sampai sini udah bisa nebak kan?👀

Siapa yang udah baca Draco sama Queen? Ayo angkat tangan☝🏻

𝐒𝐄𝐌𝐏𝐈𝐓𝐄𝐑𝐍𝐀𝐋Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang