22. Pagi Yang Berbeda

4.1K 998 266
                                    

Rokha melihat semuanya, setidaknya semua yang berlangsung di hadapannya, dari tempatnya berada. Rokha berada di gudang senjata saat melihat ketuanya menyusul Leeyra yang tampak berlari meninggalkan markas. Dan setelah menunggu cukup lama, pria itu kembali dengan menggendong tubuh lemah Leeyra.

Wanita itu selalu bertingkah. Selalu merepotkan. Selalu membuat sang Ketua tak bisa fokus pada tujuan besarnya. Wanita itu adalah pengalih perhatian yang sangat berbahaya.

Mata tajam Rokha terus mengamati saat sang ketua masuk ke dalam rumahnya dan pintu tertutup dengan suara keras. 

Rokha menghela napas. Dia tak perlu menjadi orang pintar untuk tahu apa yang akan terjadi di rumah itu. Segala usahanya untuk membuat Voya lebih berani bertindak ternyata sia-sia. Wanita itu, tak pernah mampu membuat ketua hanya menatapnya.

Harusnya Rokha tak berharap banyak karena setiap malam dia pun tahu sang Ketua selalu mendatangi rumah utama. Bermalam di sana. Sang Ketua tak akan pernah bisa berhenti peduli pada Leeyra.

Dan itu membuat Rokha memutuskan satu hal.

Rokha kembali ke tempatnya berada. Kembali menghitung jumlah senjata dan jenisnya. Lalu mencatatnya. Dia harus memastikan semuanya. Karena setelah malam ini, Sang Ketua tampaknya akan kembali disibukkan oleh wanita lemah itu.

*****

Leeyra terbangun saat matahari telah tinggi. Hal itu diketahuinya dari jendela yang terbuka. Meski tak bisa melihat langit karena pohon-pohon yang terlalu tinggi, tapi segalanya tak lagi gelap gulita. Meski tetap saja masih ada kabut tipis yang tampak di luar sana.

Ia menghela napas panjang. Entah dinamakan apa perasaan Leeyra sekarang. Menyadari bahwa dirinya terbagun dengan tubuh hanya tertutup selimut. Ranjang di sebelahnya kosong, pria itu telah pergi. Rasa kehilangan yang aneh membuat Leeyra resah. Wanita itu terbiasa jujur pada dirinya sendiri. Jadi tak menyangkal bahwa kini, pria yang selalu dianggapnya jahat itu, memiliki kedudukan yang sangat penting baginya.

Leeyra tersenyum kecil, mengingat semua yang terjadi di penghujung malam. Mengingat bagaimana pria itu mengakui hal-hal yang tak pernah diduga Leeyra. Iya, setidaknya kini, Leeyra meyakini bahwa perasaanya tak bertepuk sebelah tangan. Meski di antara mereka masih ada Voya.

Leeyra menutup wajahnya, membayangkan wajah terluka Voya. Adiknya pasti akan sangat marah atau mungkin membenci Leeyra. Namun, apa yang bisa  dilakukan wanita itu? Sang ketua ingin memilikinya dan Leeyra ... ingin memiliki pria itu. Pengakuan yang membuat wajah Leeyra terasa memanas.

"Kau baik-baik saja?"

Pertanyaan dari ambang pintu itu, membuat Leeyra menurunkan tangannya. Wanita itu langsung bangkit dan duduk bersandar di ranjang saat pria itu masuk ke kamar. Leeyra selalu merasa kamar yang ditempatinya cukup luas, tapi begitu sang ketua masuk, ruangan itu seolah menyempit.

Pria itu duduk di pinggir ranjang, meletakkan nampan yang dibawanya. Sementara Leeyra sudah duduk dengan memeluk lututnya.

"Aku pernah melihat dan menyentuh semuanya, terlambat bagimu untuk pura-pura malu."

Wajah Leeyra makin memanas. Ia yakin wajahnya semerah sup di hadapannya. Namun, ada perasaan girang berbalut malu-malu yang dirasakannya. Pria itu tak akan pernah bisa berbicara dengan manis, tapi nada suaranya tak lagi mengandung cemooh yang membuat Leeyra sering marah seperti dahulu.

"Sup tomat?" tanya Leeyra pelan, mirip bisikan.

"Iya."

"Itu bukan sup ular kan?"

Sudut bibir pria itu berkedut. "Sayangnya tidak. Mereka berhasil mendapatkan rusa saat berburu."

"Ru-rusa."

Ring Of The TearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang