Chapter 1

18 3 0
                                    

Jenan Karsa Atma Kivandra berdiri di tengah panggung, di bawah sorotan lampu yang menerangi mimpinya yang sebentar lagi terwujud. Setelah bertahun-tahun menciptakan musik di dalam kamar kecilnya, ia akhirnya akan membawakan karya-karyanya dalam konser perdananya. Getaran rasa gugup dan antusiasme bergelombang dalam dirinya, namun satu hal yang membuatnya tetap teguh adalah cinta dan dukungan dari keluarganya.

Di barisan depan, sang Bunda tersenyum hangat, sementara Jeandra, si bungsu, tak sabar ingin mendengar sang kakak memainkan lagu favoritnya. Bang Mahendra, si sulung yang tangguh, memasang wajah bangga. Mas Renja dengan emosi yang selalu membara, terlihat gelisah, namun dalam hatinya penuh rasa kagum. Hisban, si random, tampak asyik dengan pikirannya sendiri, tapi masih setia mendukung. Nandi yang tenang, duduk dengan senyum tipis, sementara Cendra, si anak paling pintar, menyimpan harapan besar untuk sang kakak dalam benaknya.

Jenan merasa semua ini bukan hanya tentang dirinya. Ini tentang keluarganya yang tak pernah berhenti mendukungnya, tentang mimpi-mimpi yang terwujud karena cinta dan kebersamaan. Ketika nada pertama dari gitarnya bergema di udara, ia tahu bahwa malam itu bukan hanya miliknya—melainkan milik mereka semua yang selalu ada di sisinya. 

Saat petikan pertama gitar Jenan bergema di ruang konser, semua suara di sekelilingnya perlahan menghilang, berganti dengan alunan musik yang begitu akrab di telinganya. Setiap nada yang ia mainkan bercerita, membentuk sebuah simfoni tentang perjalanan, mimpi, dan cinta. Sorak-sorai penonton seakan hanyut dalam setiap irama yang ia ciptakan, tetapi bagi Jenan, hanya satu suara yang benar-benar ia dengar—dukungan dari keluarganya yang begitu nyata di hatinya.

Di antara penonton, Bunda menatapnya dengan mata berkaca-kaca, mengenang setiap langkah Jenan menuju panggung ini. Betapa dulu ia mendengarkan bocah kecilnya belajar gitar dengan nada-nada sederhana, dan kini ia berdiri di hadapan ribuan orang, memberikan jiwa dan hatinya dalam setiap lagu. Jeandra, yang selalu ingin menirukan kakaknya bermain gitar, bersorak paling keras, sambil sesekali mengangguk-anggukkan kepalanya mengikuti irama.

Bang Mahendra, yang selalu menjadi sosok pelindung dalam keluarga, diam-diam menitikkan air mata, bangga melihat adiknya menaklukkan panggung. Di sebelahnya, Mas Renja masih menahan gejolak emosi, mengusap wajahnya dengan gelisah, tapi di balik itu terselip kekaguman yang tak mampu ia ungkapkan. Hisban tampak tersenyum tanpa alasan, seperti biasa, mungkin tengah mengolah suasana hati yang bercampur aduk. Nandi, dengan ketenangannya yang khas, mengangguk kecil, meresapi setiap nada yang dimainkan Jenan, seolah menikmati setiap momen dengan penuh kesadaran. Cendra, si anak jenius, memandang penuh harapan dan perhitungan, berusaha membaca ke mana arah karier kakaknya akan melaju setelah malam ini.

Jenan merasakan energi yang luar biasa mengalir dari keluarganya. Meskipun mereka semua berbeda, dukungan mereka adalah bahan bakar dari setiap karya yang ia hasilkan. Musiknya mengalir dengan indah, bukan hanya karena latihan bertahun-tahun, tetapi karena setiap anggota keluarganya telah memberikan bagian dari diri mereka ke dalam setiap nada yang ia ciptakan.

Ketika lagu terakhirnya berakhir dengan harmoni yang sempurna, gemuruh tepuk tangan membanjiri ruangan. Jenan tersenyum lebar, bukan hanya untuk penonton, tetapi untuk keluarganya. Panggung itu mungkin miliknya, tetapi kemenangan malam ini adalah milik mereka semua.

Dan saat ia menatap keluarganya dari atas panggung, satu hal yang jelas di benaknya—perjalanan ini baru saja dimulai.

""

Di sudut ruang tamu, Jenan duduk di lantai dengan gitarnya, mencoba melodi baru sambil dikelilingi oleh keluarganya. Dinding rumah yang sederhana itu selalu penuh dengan kenangan, setiap sudut menyimpan cerita.

"mas, mau main lagu itu lagi?" tanya Jeandra dengan mata berbinar.

"Iya, yang itu! Yang ceria!" seru Mas Renja, melompat-lompat kecil di tempatnya.

Jenan tersenyum, mengangguk. "iya deh, tapi kalian harus ikut nyanyi ya!"

"Ya!" teriak mereka serentak.

Cendra, yang sedang duduk di meja belajar, mendongak dan berkata, "Kalau aa mau terkenal, aa harus latihan lebih keras. Banyak orang luar sana yang lebih hebat."

Jenan mengernyit. "Tapi maspengen main musik doang."

"Dan itu sudah cukup," sahut Bunda, sambil tersenyum lembut. "Yang penting kamu bahagia dengan apa yang kamu lakukan."

"Bunda, ini hanya permainan. Gimana bisa bikin orang senang?" tanya Jenan polos.

"Bukan hanya permainan. Setiap nada yang kamu mainkan itu seperti menyentuh hati orang lain. Mereka bisa merasakan apa yang kamu rasakan," Bunda menjelaskan, memberikan dorongan yang diperlukan.

"Aku ingin main di depan banyak orang, tapi aku malu," Jenan mengakui, menggigit bibirnya.

"Semua orang merasa malu di awal. Tapi ingat, kami selalu ada untuk mendukungmu. Kamu tidak sendiri," kata Nandi dengan tenang, menggelengkan kepalanya seolah menegaskan.

"Kalau masa karsa  mulai, kita akan jadi penonton setia kamu mas!" Hisban berujar dengan semangat, mengangkat kedua tangan ke udara.

"Dan kita akan berteriak lebih keras dari siapapun!" seru Jeandra, membuat semua tertawa.

"Baiklah, mari kita mulai lagi!" Jenan berkata, menyiapkan gitarnya, merasa semangat baru mengalir dalam dirinya. "Satu, dua, tiga...!"

Mereka bernyanyi bersama, suara ceria mereka membaur dengan melodi Jenan, menciptakan harmoni yang tak terlupakan. Dalam momen itu, Jenan merasakan bahwa meskipun ia belum terkenal, dukungan dari keluarganya adalah hal terpenting dalam hidupnya.

Setiap lirik, setiap nada, menjadi kenangan yang akan selalu hidup di dalam hati mereka. Momen-momen sederhana ini adalah fondasi yang akan membawanya jauh di kemudian hari.

Di ruang tamu itu, suasana terasa hangat. Jenan melanjutkan bermain gitar dengan irama yang lembut, sementara saudara-saudaranya mulai berdiskusi, seperti biasa, dengan cara mereka yang unik.

"Mas Karsa, main yang cepat dong!" rengek Jeandra sambil melompat-lompat di sofa. Sebutan "Mas Karsa" dipakainya karena Jenan adalah anak keempat, dan Jeandra yang paling bungsu selalu memanggilnya begitu.

Jenan tertawa kecil. "Sabar, Jea. Nanti kita main lagu cepat, sekarang lagi santai dulu."

"Ah, kamu ini, Jea, selalu nggak sabar," celetuk Mahendra, si sulung yang sering dipanggil Bang Mahendra oleh adik-adiknya. Ia duduk dengan tenang di kursi, sambil sesekali mengangguk mengikuti irama.

Renja, anak kedua yang sering dipanggil "Mas Renja", menimpali dengan nada setengah kesal, "Kalau aku, Mas Karsa, udah dari tadi pengen lagu yang lebih emosional. Lagu kamu yang terakhir itu kurang nendang!"

"Mas Renja, kamu tuh selalu ribet," sahut Nandi, anak kelima yang tenang, sambil duduk di samping Renja. "Biar Mas Karsa main sesuai mood aja."

Jenan tersenyum, menikmati percakapan antara adik-adiknya. "Santai aja, Mas Renja. Nanti kita bisa coba yang lebih emosional."

Cendra, si anak keenam yang paling pintar, ikut menyela dengan suara tenang namun penuh perhitungan, "Mas Karsa, kalau kamu pengen lagu kamu didengar banyak orang, coba tambahin teknik harmonisasi yang lebih kompleks. Supaya beda dari yang lain."

"Cendra, kamu ini terlalu banyak teori," sahut Hisban, si anak keempat yang random, tiba-tiba muncul dari dapur dengan tangan penuh keripik. "Yang penting kan asik aja main musiknya, nggak usah mikirin yang ribet-ribet."

"Bener tuh, Hisban!" Jeandra, si bungsu, menyetujui sambil mengambil beberapa keripik dari tangan Hisban.

Bunda, yang sedang duduk di kursi goyang, menatap mereka semua dengan senyum lembut. "Yang penting kalian semua selalu mendukung satu sama lain. Mas Karsa, mau main cepat atau lambat, kita semua akan selalu di sini buat kamu."

Jenan menatap Bunda dengan rasa syukur yang dalam. "Terima kasih, Bunda. Kalian semua memang sumber inspirasiku."

Ia memetik gitarnya lagi, kali ini dengan melodi yang lebih cepat, menuruti keinginan Jeandra dan Renja. Suara tawa dan canda mereka memenuhi ruangan, mengiringi setiap nada yang dimainkan Jenan. Di momen itu, meskipun ia belum terkenal, ia merasa sudah memiliki segalanya—keluarga yang selalu mendukung, tak peduli seberapa jauh mimpinya.

Dan di dalam hati kecilnya, Jenan tahu bahwa inilah awal dari perjalanan panjang yang akan membawa mimpinya menjadi nyata.

Untuk JenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang