Waktu terus berjalan di Teras Kopi, dan suasana di antara mereka berdua mulai sedikit tenang. Syena terus memainkan latte di tangannya, sesekali menyesapnya sambil melihat keluar jendela. Jenan, di sisi lain, tetap semangat membicarakan ide-ide musiknya, berharap bisa melibatkan Syena lebih banyak dalam kehidupannya.
"Aku pengen nanti kalau aku sukses, kita bisa sering ke tempat-tempat kayak gini, lebih sering daripada sekarang," kata Jenan sambil tersenyum, berusaha menciptakan gambaran masa depan yang cerah untuk mereka berdua.
Syena mengangguk perlahan, meskipun di dalam hatinya, kalimat itu hanya terasa seperti angin yang lewat. "Iya, itu bakal keren banget," jawabnya datar, berusaha terdengar antusias meskipun pikirannya berkelana ke masa lalu—ke mantannya.
Mata Syena terpaku pada secangkir latte di depannya. Kenangan bersama mantannya begitu kuat saat ia duduk di sini. Meski sudah mencoba untuk melupakan, perasaan itu masih menghantui, dan ia sering merasa bersalah. Di hadapannya, Jenan begitu tulus, begitu penuh harapan. Tapi Syena merasa sulit benar-benar menghadirkan perasaan yang sama.
Jenan melanjutkan, tak sadar dengan konflik batin Syena. "Kadang aku ngerasa kayak aku cuma punya musik buat ngejalanin hidup ini, dan kamu. Kamu selalu ada buat dengerin aku, buat ngedukung aku. Aku tahu mungkin aku nggak sempurna, tapi aku nggak bisa ngebayangin gimana hidup tanpa kamu."
Kata-kata itu membuat Syena tersentak sejenak. Ia tersenyum, tapi senyuman itu terasa berat. "Makasih, Jen. Kamu orang yang hebat."
Namun, di dalam hati, Syena bertanya-tanya: Apakah ini benar-benar apa yang ia inginkan? Apakah Jenan adalah orang yang seharusnya bersamanya, atau apakah hatinya masih tertinggal di masa lalu? Ia sangat pandai memainkan perannya, menutupi rasa bimbang dan luka yang masih tersisa dari hubungannya yang lalu.
Jenan, yang benar-benar tulus dan jujur, memandang Syena dengan penuh harapan. "Aku cuma pengen kita bisa terus bareng-bareng, ngelewatin semua ini. Apa pun yang terjadi, aku selalu ada buat kamu."
Syena menghela napas dalam-dalam, menyadari betapa besar harapan yang Jenan gantungkan padanya. Ia tak ingin menyakiti perasaan Jenan, tapi perasaan itu tak bisa dipaksakan. Ia tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih tulus, meskipun hanya di permukaan.
"Aku juga, Jen. Aku selalu ada buat kamu," jawab Syena, suaranya lembut namun ada keraguan yang bersembunyi di balik kata-katanya.
Mereka melanjutkan obrolan, namun suasana di antara mereka semakin terasa berat. Jenan, meskipun penuh semangat dan antusiasme, tak sepenuhnya menyadari bahwa Syena tak benar-benar bersamanya dalam percakapan ini. Syena memainkan perannya dengan sangat baik, menjaga agar semuanya tetap terlihat sempurna di luar, meskipun di dalam hatinya, ia terus bertanya-tanya.
Sore itu di Teras Kopi, keduanya terjebak dalam perasaan masing-masing—Jenan yang penuh harapan tentang masa depan mereka, dan Syena yang masih terjebak di masa lalunya yang tak kunjung pudar.
Setelah menghabiskan waktu di Teras Kopi, sore semakin larut. Langit mulai berwarna jingga, memberikan suasana hangat di sekitar mereka. Jenan, seperti biasa, menawarkan untuk mengantar Syena pulang.
"Yuk, aku anter pulang," kata Jenan sambil tersenyum, meraih tas gitarnya.
Syena mengangguk tanpa banyak kata, seperti sudah terbiasa. Mereka berjalan beriringan menuju parkiran motor Jenan, tanpa banyak bicara. Sepanjang perjalanan ke rumah Syena, suara deru motor lebih dominan daripada percakapan mereka.
Sesampainya di depan rumah, Jenan menghentikan motornya. Ia melirik ke arah Syena, mencoba memulai obrolan. "Sampai deh. Gimana? Besok ketemu lagi nggak?"
Syena turun dari motor dengan hati-hati, membenarkan letak tas di bahunya. "Kita liat aja ya besok gimana."
Jenan mengangguk, meski ia merasa jawaban itu terasa agak menggantung. Tapi seperti biasa, ia mencoba untuk tidak memikirkannya terlalu dalam. "Oke, kalau ada waktu kita nongkrong lagi. Lagian aku mau cerita lebih banyak soal lagu baru aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Jenan
FanfictionJenan Karsa Atma Kivandra berdiri di tengah panggung, di bawah sorotan lampu yang menerangi mimpinya yang sebentar lagi terwujud. Setelah bertahun-tahun menciptakan musik di dalam kamar kecilnya, ia akhirnya akan membawakan karya-karyanya dalam kons...