chapter 5

1 0 0
                                    

Malam terus beranjak, namun suasana di rumah keluarga Kivandra semakin hangat. Jenan, yang tadinya murung, kini merasa sedikit lebih lega setelah percakapan dengan Renja, Hisban, dan Cendra. Mereka benar, pikirnya, hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan memikirkan hal-hal yang tidak bisa diubah. Dia punya musik, keluarga, dan mimpi-mimpi besar yang menunggu untuk diwujudkan.

Jenan mulai memetik gitarnya lagi, kali ini nada-nada yang berbeda. Melodi yang lebih cerah, lebih bersemangat. Cendra menatap kakaknya dengan penuh rasa bangga. "Nah, gitu dong, Bang! Udah saatnya move on," ujarnya sambil tersenyum lebar.

Hisban yang duduk di lantai bersandar pada sofa, ikut menggoyangkan kepalanya mengikuti irama. "Keren nih, bro. Kayaknya bakal jadi lagu hits berikutnya!"

Renja menggeleng sambil tertawa kecil. "Jangan langsung dipuji Hisban dulu, dia selalu suka sama semua lagu."

Jenan tersenyum mendengar ejekan itu. Dia memang sering membuat lagu, tapi kali ini, rasanya berbeda. Kali ini, lagu yang ia ciptakan bukan hanya untuk mengungkapkan kesedihan, melainkan untuk dirinya sendiri. Sebuah pelarian sekaligus pengingat bahwa hidupnya lebih besar dari luka yang pernah ada.

Di tengah mereka bercanda, pintu depan berderit terbuka. Nandi dan Cendra yang baru pulang dari latihan basket memasuki ruangan dengan penuh semangat. "Wah, ada acara apa nih? Kenapa tiba-tiba kayak ada konser mini di rumah?" tanya Nandi dengan senyum usil.

Cendra menyambut mereka dengan anggukan. "Bang Jen lagi bikin lagu baru. Kayaknya gara-gara Syena," jawabnya polos.

Mendengar nama Syena disebut, Nandi langsung melihat Jenan dengan tatapan penuh arti. "Oh, jadi lo lagi dalam fase itu ya? Bikin lagu karena patah hati?"

Jenan mengangguk sambil tertawa kecil. "Kayaknya sih begitu. Tapi tenang, sekarang gue udah mulai move on," jawabnya santai.

"Good," Nandi menepuk bahu kakaknya, "kita semua tahu lo bakal lebih kuat. Lagian, lo punya semua dukungan di sini."

Renja melirik Nandi dengan sinis bercanda, "Dukung apaan? Lo datang-datang cuma ngomong sok bijak."

Hisban tertawa terbahak-bahak. "Ini makanya, nggak ada di rumah, tiba-tiba datang sok jadi mentor cinta."

Nandi cuma mengangkat bahu, "Eh, gue cuma ngasih poin bagus aja. Udah waktunya Bang Jen mikirin hidupnya sendiri, bukan Syena terus."

Suasana rumah itu semakin hangat dengan tawa dan canda yang tak henti-hentinya. Mereka saling mengejek, tapi di balik itu semua, mereka tahu bahwa satu sama lain adalah tempat terbaik untuk bersandar saat hidup terasa berat.

Jenan berhenti memetik gitar sejenak, pandangannya menyapu ke seluruh keluarganya yang riuh dengan kegembiraan. Ia menyadari, betapa beruntungnya ia memiliki mereka. Mungkin Syena tidak lagi berada di hidupnya, tetapi ia tidak pernah benar-benar sendirian. Di sini, di tengah keluarganya yang penuh cinta, ia selalu punya tempat untuk kembali.

"Jadi, gimana kelanjutan lagu itu, Bang?" tanya Cendra, yang sudah mulai tak sabar mendengar lebih lanjut.

Jenan tersenyum lebar. "Lagu ini... nggak akan berhenti di sini. Ini baru awalnya." Ia memetik gitar sekali lagi, kali ini dengan semangat yang baru, lebih kuat. Nada-nada yang keluar dari gitarnya terasa seperti melodi kemenangan—sebuah simbol kebangkitan dari patah hati.

Dan meskipun tidak ada penonton selain keluarga kecilnya, malam itu terasa seperti konser terbesar dalam hidupnya. Bukan karena musiknya, melainkan karena kehadiran orang-orang yang selalu ada untuknya, apa pun yang terjadi. Dalam setiap nada yang ia mainkan, ada harapan baru. Dalam setiap lirik yang ia tulis, ada kekuatan yang mulai tumbuh kembali.

Hidup Jenan masih panjang, dan musik adalah caranya untuk terus berjalan.

Setelah suasana di ruang tamu mulai tenang dari canda tawa, Jenan kembali duduk dan memetik gitar lagi. Kali ini, dia berhenti sejenak dan melihat ke arah Jeandra yang duduk santai di dekat jendela, asyik dengan tablet-nya.

"Jean, ambilin cemilan dong di dapur. Kayaknya kita butuh snack buat nemenin ngobrol," ujar Jenan sambil tersenyum kecil.

Jeandra mengangkat kepalanya dari layar, memutar matanya, dan menghela napas panjang. "Serius, Bang? Baru juga duduk enak di sini."

"Yaelah, bentar doang, gue lagi di sini nyiapin lagu buat masa depan, lu cuma disuruh ambil cemilan," kata Jenan sambil nyengir, mencoba membuat adiknya merasa bersalah.

Hisban, yang dari tadi menyaksikan, langsung melihat celah untuk usil. "Ayo dong, Jean. Lo kan yang paling rajin di rumah ini. Masa nyuruh-nyuruh adik rajin kayak lo nggak pantas, sih?"

Jeandra mendengus, tapi akhirnya bangkit juga dari tempat duduknya. "Ya ya, gue ambilin. Tapi kalian utang satu!"

Sambil jalan ke dapur, Jeandra masih terdengar menggerutu kecil, dan begitu dia masuk ke dapur, Hisban langsung bergerak mendekati pintu. Mata Hisban berbinar penuh rencana nakal. "Eh, gue ada ide. Gimana kalau kita kerjain si Jeandra?"

Jenan tertawa kecil. "Mau ngapain, Ban?"

Hisban berbisik sambil mendekat ke Jenan, "Pas Jeandra balik bawa cemilan, lo pura-pura serius banget terus lo bilang dia ngambil yang salah. Padahal semuanya yang dia bawa pasti bener."

Jenan mengangkat alisnya, lalu tersenyum nakal. "Deal. Kita bikin dia bingung."

Tak lama kemudian, Jeandra kembali membawa semangkuk besar keripik dan beberapa cokelat batang. "Tuh, cemilannya udah gue bawa," katanya sambil menaruh makanan di atas meja.

Jenan memandang mangkuk keripik itu dengan ekspresi penuh pertimbangan. "Hmm... Jean, serius lo? Ini yang gue minta?"

Jeandra langsung menatap kakaknya dengan bingung. "Iya, kan? Gue udah bawa keripik sama cokelat, kayak yang biasanya kita makan. Salahnya di mana?"

Hisban menahan tawanya sambil pura-pura meriksa mangkuk itu. "Wah, beneran, Jean? Keripik ini kayaknya bukan yang biasa deh. Rasanya kayak kurang gurih."

Jeandra, yang mulai curiga, mendekati Hisban dengan tatapan menyelidik. "Lo ngapain, Ban? Ngomong apaan, keripik ini sama aja kayak yang biasa kita makan."

Hisban mengangkat bahu sambil tetap pura-pura serius. "Nggak tau ya, Jean, tapi kayaknya ada yang beda. Coba lo icipin deh."

Jeandra, yang mulai jengkel, mengambil satu keripik dan mencicipinya dengan ekspresi datar. "Ini keripik sama persis, Hisban!"

Jenan yang nggak tahan akhirnya ketawa, "Hahaha, kita kerjain lo, Jean! Nggak ada yang salah sama cemilannya. Lo bawa yang bener kok, santai aja."

Jeandra langsung mendengus, lalu melemparkan satu bantal sofa ke arah Hisban. "Lo semua emang iseng banget!" Tapi senyumnya yang akhirnya muncul menunjukkan kalau dia juga menikmati candaan itu.

Hisban tertawa lebar, "Yah, lo kan tau, Jean, hidup ini harus dinikmati, termasuk ngemilin sambil ngerjain adik sendiri!"

Jenan menggeleng sambil tertawa. "Thanks ya, Jean. Cemilannya pas banget buat malam yang panjang ini."

Jeandra, sambil masih cemberut sedikit, duduk kembali di sofa dan berkata, "Lo berdua emang nggak bisa dipercaya. Tapi, yasudahlah, yang penting lo nggak minta gue ambil cemilan lagi."

Malam itu, dengan tawa dan canda ringan, suasana di rumah Kivandra menjadi semakin hangat. Mereka saling mengejek dan mengerjai satu sama lain, tapi di balik semua itu, persaudaraan mereka terasa erat, tidak bisa digantikan oleh apa pun.

Untuk JenanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang