TWO

316 38 0
                                    

Malam di mansion besar Kaiser selalu sunyi, menyembunyikan kegetiran yang merayap dalam setiap sudut ruang.

(Name) duduk di tepi tempat tidur, merasakan kain sutra gaunnya yang dingin menyentuh kulit. Mata cokelat indahnya menatap keluar jendela, melihat bulan yang menggantung di langit malam, seolah menyaksikan semua penderitaan yang dia alami.

Setiap tarikan napasnya mengandung rasa sakit, setiap detak jantungnya berdetak dalam kebencian yang membara terhadap suaminya, Michael.

Michael Kaiser. Nama itu terlintas di pikirannya seperti pisau yang menyayat. Di siang hari, dia adalah pria yang sempurna, penuh perhatian, ramah, dan murah senyum. Semua orang melihatnya sebagai suami ideal, seseorang yang memperlakukan istrinya dengan baik.

Namun, hanya (Name) yang tahu bahwa kebaikan itu hanyalah topeng. Michael yang sesungguhnya adalah sosok yang kejam, dingin, dan tak berperasaan, menyembunyikan kegelapan di balik senyumnya yang manis.

(Name) merasa seperti terjebak dalam perangkap yang tak berujung. Dia membenci dirinya sendiri karena tak bisa melawan, karena setiap kali Michael menyentuhnya dengan cara yang halus namun menyakitkan, dia hanya bisa memejamkan mata dan menahan rasa sakit itu sendirian.

Rasa benci itu semakin menumpuk di dalam hatinya, hingga (Name) merasa tak bisa lagi bernapas dengan lega.

Malam itu, rasa benci dalam hatinya tak lagi bisa ditahan. (Name) tahu bahwa dia harus keluar dari mansion ini, meski hanya untuk sesaat, untuk melarikan diri dari bayang-bayang suaminya.

Tanpa berpikir panjang, dia mengganti gaunnya dengan pakaian yang lebih sederhana—mantel panjang dan sepatu boots.

(Name) tidak ingin ada yang tahu bahwa dia keluar, terutama Michael. Menyelinap keluar dari kamar, dia berjalan dengan langkah-langkah ringan menyusuri lorong panjang, memastikan tak ada yang mendengar langkahnya.

Langkahnya berhenti sejenak di depan pintu kamar Michael, yang sedikit terbuka. (Name) bisa mendengar desahan napas suaminya yang tidur nyenyak di dalam. Jantungnya berdetak kencang, perasaan takut dan benci berbaur menjadi satu.

Namun, (Name) menyingkirkan keraguan itu dan melanjutkan perjalanannya menuju pintu depan. Pintu besar itu berderit pelan saat dia membukanya, dan dalam hitungan detik, (Name) menghilang ke dalam gelapnya malam.

(Name) berjalan tanpa tujuan, melewati jalan-jalan sepi yang dipenuhi bayang-bayang. Setiap langkahnya terasa seperti melawan beban yang menekan hatinya.

Udara malam yang dingin menggigit kulitnya, tetapi (Name) tidak peduli. Dia hanya ingin merasakan kebebasan, meski hanya untuk sementara.

Namun, kebebasan itu datang bersama bayang-bayang rasa takut—takut jika Michael mengetahui pelariannya ini.

(Name) tiba di sebuah taman kecil yang terletak di pinggir kota, tempat yang sepi dan jauh dari keramaian. Taman itu dikelilingi oleh pepohonan tinggi yang melindunginya dari pandangan orang lain.

Dia duduk di bangku kayu yang usang, membiarkan dirinya tenggelam dalam kegelapan dan kesunyian malam.

Namun, di tengah ketenangan itu, (Name) merasa ada sesuatu yang salah. Dia merasa ada yang mengawasinya, namun saat dia menoleh, tidak ada siapa pun di sana.

Rasa takut itu semakin tumbuh di dalam dirinya, membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Tiba-tiba, langkah kaki yang berat terdengar mendekat.

(Name) merasa seluruh tubuhnya membeku ketika melihat sosok yang sangat dikenalnya muncul dari balik pepohonan.

Michael berdiri di sana, matanya yang tajam memandang (Name) dengan intensitas yang mengancam. Dia berjalan mendekat dengan langkah pasti, tanpa melepaskan pandangannya dari (Name).

(Name) merasakan ketegangan dalam setiap gerakannya, dan sebelum dia bisa berpikir untuk melarikan diri, Michael sudah berdiri di hadapannya.

"Apa yang kau lakukan di sini, (Name)?" suaranya tenang, tetapi ada nada dingin tersembunyi di baliknya.

(Name) tidak bisa berkata-kata, bibirnya terkunci oleh rasa takut yang menjeratnya. Dia tahu bahwa Michael sudah tahu segalanya, dan tidak ada gunanya berbohong.

Michael mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari (Name). "Kau pikir kau bisa melarikan diri dariku?" bisiknya dengan suara rendah yang membuat (Name) merinding.

(Name) merasa seluruh tubuhnya bergetar, tetapi dia tidak bisa bergerak, seolah terhipnotis oleh netra biru suaminya.

Tanpa peringatan, Michael menarik (Name) berdiri dan memaksanya berjalan kembali ke mansion. Tangan Michael yang kuat mencengkeram lengan (Name) dengan keras, membuatnya tak bisa melawan. Dalam diam, mereka berjalan kembali ke rumah, kegelapan malam semakin menambah ketegangan yang melingkupi mereka.

Saat mereka tiba di mansion, Michael tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya menarik (Name) masuk ke dalam kamar mereka dan menutup pintu dengan keras.

(Name) bisa merasakan kemarahan yang membara di dalam diri Michael, dan itu membuatnya ketakutan.

Michael melepaskan cengkeramannya dan menatap (Name) dengan tajam. "Kau pikir aku akan membiarkanmu pergi begitu saja?" tanyanya, suaranya penuh dengan kemarahan yang tertahan.

(Name) tidak menjawab, dia hanya menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan rasa takutnya.

Tanpa peringatan, Michael mendorong (Name) ke tempat tidur, tubuhnya menindih tubuh (Name) dengan kasar. (Name) mencoba melawan, tetapi kekuatannya jauh di bawah Michael.

Dengan sekali gerakan, Michael merobek pakaiannya, meninggalkannya dalam keadaan tak berdaya di bawah tubuhnya yang penuh amarah. (Name) menahan napas, matanya terpejam rapat, mencoba memblokir rasa sakit yang akan segera datang.

Michael menidurinya dengan cara yang kasar, tak peduli dengan rasa sakit yang ditimbulkan. (Name) menggigit bibirnya sendiri untuk menahan erangan, air mata mengalir tanpa suara di pipinya.

Setiap sentuhan Michael terasa seperti luka yang mengiris hatinya, setiap gerakan Michael adalah pengingat akan kebencian yang terus tumbuh di dalam dirinya.

Saat Michael selesai, dia bangkit dari tempat tidur tanpa sepatah kata pun. (Name) tetap terbaring di sana, tubuhnya gemetar, tangisannya tertahan di tenggorokan.

Rasa sakit fisik itu seolah tak sebanding dengan rasa sakit emosional yang dirasakannya. Di dalam gelap, (Name) menyadari bahwa kebenciannya pada Michael semakin mendalam.

Namun, dia juga sadar bahwa dia tidak bisa melarikan diri dari kenyataan ini. Dia terjebak dalam lingkaran yang tak berujung, dipenuhi dengan rasa sakit dan kebencian.

Michael menatap (Name) sebentar sebelum meninggalkan kamar, pintu tertutup dengan suara yang menggema dalam keheningan. (Name) merasakan kehancuran di dalam dirinya, seolah-olah dia telah kehilangan sebagian dari dirinya sendiri.

Di balik semua itu, ada tekad yang tumbuh. Dia tahu bahwa suatu hari, dia harus menemukan cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman Michael.

Untuk malam ini, (Name) hanya bisa menangis dalam diam, membiarkan bayang-bayang rasa sakit dan kebencian meresap dalam setiap serat jiwanya.

Malam semakin larut, dan hanya ada keheningan yang menemani (Name) dalam penderitaannya. Dia tahu bahwa hidupnya akan terus dipenuhi dengan kegelapan, tetapi di balik kegelapan itu, dia menyimpan harapan kecil untuk kebebasan.

Sebuah harapan yang dia tahu harus dia perjuangkan, meski harus melewati jalan yang penuh dengan rasa sakit dan penderitaan.


───── ❝ 𝑇𝑜 𝐵𝑒 𝐶𝑜𝑛𝑡𝑖𝑛𝑢𝑒𝑑❞ ─────

SLUT || Michael KaiserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang