bab dua: 3B, Berisik, Bego, dan Betah di Kamar

1.8K 432 76
                                    

Ramein komen

Udah baca bab 1?

***

2 RBN

3B Berisik, Bego, dan Betah di Kamar.

***

Nama Ben itu Irsyad Benjamin Riyadi

Maapken eke mah pelupa. Selalu salah kalau soal nginget nama orang🤣😅

***

Bakso.

Jika orang-orang berpikir Benjamin mengajak Ananta makan bakso karena memang berniat mentraktir wanita muda itu, maka mereka semua salah. Tujuannya cuma satu dan hal itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu, sejak mereka kelas dua SMP. Bram dan Baby sampai hapal kelakuan mereka berdua, bahkan hingga detik ini, saat mereka berempat duduk satu meja dengan dua kakak beradik Wijaya yang memandang ke arah Benjamin dengan tatapan campuran ingin tertawa dan juga simpati di saat bersamaan.

“Benjol, bengep, dan amburadul kayak korban tawuran. Orang mana aja nggak bakal tahu kalau ini lo, Irsyad Benjamin Riyadi, anak kepala sekolah.” Baby mengomeli Benjamin. Mulut wanita tujuh belas tahun itu penuh dengan bihun dan dia melirik ke arah Ananta yang duduk tepat di seberang Bram. Artinya saat ini, Ananta duduk bersebelahan dengan Benjamin dan tujuan bocah itu tidak lain cuma untuk memberi saus, kecap, sambal, serta perasan jeruk ke kuah bakso tetangga sebelah bangkunya itu.

Itulah kenapa, Ananta malas sekali bertemu Benjamin. Dia sudah kena sial satu kali dan sekarang, sialnya bertambah. Bukannya pulang, dia malah disuruh nongkrong.

Tapi, dia juga sebenarnya bukan tidak suka. Mood-nya berubah sejak harta bendanya disita Bu Lia. Bibirnya bahkan masih maju dan dia menolak bakso walau Benjamin bilang akan mentraktirnya. 

“Lo tindik lagi?” Bram menyipit dan melihat ke arah telinga Ananta. Dia juga agak terkejut sewaktu tahu rambut perempuan itu lebih pendek dibanding kemarin.

“Lagi diskon kemarin, cuma empat puluh ribu.” Ananta menjawab santai. Dia merasa bibirnya asam, tapi dengan adanya tiga mandor di hadapannya, dia merasa tidak bisa berkutik. Cukup Bu Lia yang menangkap basah keberandalannya, jangan sampai tiga orang ini tahu.

“Tindik di mana?” tanya Bram lagi, dia berdiri dan memajukan tubuh demi memeriksa bekas luka tindikan baru di telinga teman adiknya tersebut.

“Di tempat tato Teddy.” balas Ananta lagi, sama santainya dengan tadi. Akibatnya, baik Bram, Baby, dan Benjamin, semua menoleh ke arahnya. Dasar 3B yang menyebalkan, pikir Ananta, Berisik, Bego, dan juga Betah di kamar. Julukan yang pertama dan terakhir buat Bram dan Baby, sedang yang kedua sudah pasti buat Benjamin. Dia yang memberi nama kelompok itu dan selalu tertawa melihat betapa briliannya dia.

“Idih, lo masih suka main ke sana. Itu tukang tato gembel. Jangan sembarangan nongkrong di situ, banyak anak narkoboy, pakai jarum bekas buat nindik kuping. Lo gila, Naa. Ntar kena AIDS.” Baby bergidik. Seperti Bram, dia juga meneliti bekas luka tindikan di telinga Ananta, bahkan memfotonya supaya bisa dia tanya kepada sang ayah yang merupakan salah satu dokter penyakit dalam terkenal di Jakarta.

“Naa, lo nggak mikir kena AIDS?” Benjamin juga tidak mau kalah. Dengan wajah bengkak dan luka-luka, dia menasihati Ananta.

“Lo, tuh, kagak mikir ke mana separuh otak pergi? Mau aja dibegoin Mpok Lela.” sembur Ananta lagi. Sekarang, bertambah lagi orang-orang sok khawatir kepadanya. Padahal, dia sendiri tidak apa-apa. Toh, dia sudah meminta agar Teddy menggunakan jarum tindik baru dan mesti disteril sebelum menggunakannya. Dia bukan orang bodoh seperti Benjamin.

“Dia bukan Mpok-mpok.” Benjamin mengoreksi. Menurut Ananta, pria muda itu amat sensitif setiap Ananta memberi panggilan buat Laela. 

“Terserah. Gue kagak peduli.” Ananta menghela napas. Dasar sinting. Sudah dibuat bonyok, masih saja dia menaruh hati kepadanya. 

“Lo mau ke mana, Naa?” panggil Baby saat dia melihat Ananta berdiri dan meloncati bangku panjang tempat dia duduk tadi lalu berjalan keluar depot bakso.

“Balik. Mak gue nunggu.” Ananta melambai. Dia tidak bicara lagi dan tiga orang anak SMA yang bersamanya tersebut juga tidak protes. Benjamin sudah makan bakso dengan adonan kuah kesukaannya, Bram dan Baby sudah memastikan kalau telinga Ananta baik-baik saja, jadi tidak mengapa kalau dia langsung pulang.

Walau sebenarnya dia masih nongkrong kembali di Toko tato milik Teddy, ahli tato yang belajar ilmu merajah tubuh dari India. Dia suka dengan selera pria berusia dua puluh delapan tahun tersebut dan Teddy juga mengajarinya melukis sejak dua tahun lalu, waktu yang sama ketika dia butuh tempat menghabiskan waktu kala penat.

Dia tidak sama dengan Bram, Baby, dan Benjamin. Toh, inisial nama mereka saja sudah beda. Tapi, sialnya, nasib Ananta tidak sebagus mereka walau tetap saja 3B itu menerima keadaan Ananta apa adanya.

“Lo datang lagi?” Teddy mengangkat kepala sewaktu Ananta memainkan bel pintu yang berupa lonceng angin. Dentingnya berbunyi tiap kali ada yang membuka pintu.

“Mau udud.” balas Ananta santai. Dia memilih tempat duduk paling pojok dan membuka seragam sekolahnya hingga tampak kaus hitam bergambar tengkorak yang tadi semotif dengan cincin kesayangannya yang kena sita Bu Lia.

“Ini tempat usaha orang, bukang warung rokok.” Teddy merepet tepat saat Ananta memasukkan seragam ke tas. Dia kemudian melirik Teddy dan menengadahkan tangan, “Minta udud.”

“Astaga.” keluh tukang tato tersebut. Sudah tokonya didatangi tanpa izin oleh bocah perempuan di bawah umur, sekarang dia dipalak rokok pula. Dunia sudah terbalik.

“Dua bulan lagi gue kelulusan dan nggak perlu lagi sembunyi-sembunyi kayak gini.” Ananta mengembalikan kotak rokok dan korek api yang tadi dilempar Teddy. Pria itu melanjutkan pekerjaannya dan Ananta duduk bersandar pada jok kursi khusus membuat tato lalu menikmati momen menyesap asap hingga memenuhi rongga paru-parunya. Sungguh, setelah kesialan yang telah dia alami, momen seperti ini seperti sebuah penyembuhan.

“Kalau kawan-kawan lo tahu, mereka bakal sedih.” Teddy bicara lagi dan Ananta langsung memotong, “Tailah. Hidup mereka terjamin, nggak kayak gue. Babam mau jadi dokter, Ben masuk teknik, Baby mau sekolah bisnis di Singapore. Gue? Gue busuk di ruko, ngurus mak gue yang gila. Duit aja kagak ada. Makanya, tiap mereka nanya gue lanjut kuliah atau nggak, gue senyumin aja.”

Babam adalah panggilan Bram. Dia dan Baby hanya beda setahun, tapi berada di kelas yang sama. Mereka berempat adalah siswa kelas dua belas SMA Negeri 1 Jakarta Raya atau SMANSA Juara.

“Sebelum Papa kabur sama pelakor itu, hidup kami sempurna.” Ananta memandang langit-langit usai dia menghembuskan asap. Teddy tak pernah protes tokonya jadi bau, padahal ruangan itu dipasangi AC. Entah kenapa, kepada Ananta dia selalu lemah, seperti hari ini.

“Gue mau bikin tato, dong, di sini.” Ananta menunjuk belikat belakang, “Kecil aja. Gue stres lihat Ben bodoh yang selalu ngomongin Lela.”

“Udah empat kali lo nyakitin badan tiap dia ngurusin pacarnya.” Teddy bicara lagi, tanpa menoleh karena harus konsentrasi, “Gue nggak mau lo kena ciduk pas razia.”

“Ntar gue bayar. Habis ini gue mesti masuk neraka lagi, susah hati …” 

Ananta berhenti bicara dan memilih menghisap rokok di tangannya dalam-dalam. Dimainkannya asap dalam paru-parunya selama beberapa detik, baru dia menghembuskannya lagi.

Orang-orang yang memergoki bakal bilang dia adalah cewek nakal, anak badung, anak broken home.Terserah dia tidak peduli. Stresnya reda di tempat ini dan dia bisa tersenyum lebar saat bertemu anak-anak dengan latar belakang hancur seperti dirinya, mereka saling menertawakan diri, tidak perlu bohong dan mereka juga yang memintanya bertahan untuk tetap sekolah hingga kelulusan.

Jika saja dia bisa kabur dan ikut berpetualang seperti mereka, keliling kota satu sama lain, hidup bebas nomaden, tanpa perlu memikirkan uang, keluarga, dan segalanya, dia pasti amat bahagia. Sayang, kakinya terikat dengan tali bernama nasib dan pengabdian, harus mengurus keluarganya yang hancur berantakan.

Cih, padahal bukan salahnya sama sekali dan dia benci harus hidup dalam drama yang tidak dia sukai.

***

Rumah Naa dan BenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang