Bakal diposting kalo rame.Masih gratis di sini dan di sana
***
Prolog RBN
Orang bilang, ketika berada di sebelah wanita yang disukai, seorang pria bakal jadi berisik dan sering menggoda. Tapi, tidak dengan Irsyad Benjamin Riyadi. Dia tetap tampil cool dan menyenangkan, membuat semua orang tidak menyangka kalau yang ditaksirnya adalah Laela Miswari, cewek paling cantik di sekolah. Laela pun tampak sama cool dan tidak terpengaruh dengan desas-desus kalau anak pemilik sekolah naksir dia. Toh, sebenarnya Laela sudah naksir Bram Wijaya, mantan ketua OSIS yang sudah turun jabatan sebulan lalu.
Sayangnya, Bram lebih suka berteman dengan Ananta Dahlia, si tomboy yang sebenarnya bestie Baby Wijaya, adik cowok memukau tersebut. Kan, Ananta tidak banyak ulah, lebih pendiam, dan kalem.
Meski orientasinya selalu dipertanyakan saking dia amat akrab dengan Baby“Si Femme dan Buci lagi siap-siap kelonan.”
Ananta tidak peduli dengan julukan itu, sama halnya dengan Baby yang peduli setan orang mau mengejeknya apa. Mereka berdua sudah sehidup semati sejak dulu hingga nanti.
***
April 2015
Sudah lewat waktu pulang sekolah saat Ananta sedang menyusuri jalan setapak sepi di belakang sekolah. Bila lewat situ, dia akan menghemat sekitar lima belas menit lebih cepat dibandingkan bila lewat jalan utama. Dia sendiri tidak sengaja pulang lebih lambat dari yang lain, sekitar dia puluh menit dia habiskan. Tapi, itu juga bukan kebetulan. Pembina OSIS memergokinya saat turun tangga menuju lantai satu dan dia serta merta dibawa menuju ruang guru. Alasannya jelas, dia mesti diceramahi, diberi siraman rohani agar jiwanya bersih.
“Perempuan, mau jadi apa kalau rambutmu dibabat habis? Ini sudah bukan rambut anak cewek lagi. Lihat, Pak Angga, si Ananta ini anak perwalianmu, kan? Sudah hampir cepak. Kalau saja badannya nggak mungil, orang pasti mikir dia anak punk kekurangan gizi.”
Yang mengoceh adalah Ibu Lia, nama lengkapnya Lia Sri Rezeki. Penampilannya mirip ukhti-ukhti idaman pria soleh berjanggut rapi yang lebih sering membuka Al Quran daripada berghibah. Tapi, seperti sifatnya yang lembut, Ibu Lia menolak pemberontakan feminisme dan Ananta adalah contoh nyata ketimpangan itu.
“Perempuan, lho, Nak. Itu juga, kenapa pakai gelang metal kayak gitu?” Bu Lia menunjuk ke arah gelang kulit berwarna hitam dengan aksen biji stenlis di setiap bagiannya. Ananta refleks menyembunyikan gelang tersebut dengan tangan kiri.
“Sini. Kasih Ibu. Sama cincinnya juga. Kenapa, sih, kamu pakai cincin gambar tengkorak?”
Ibu Lia mengucap istighfar dan meminta Ananta melepas aksesori di tangannya tanpa ragu, sedang Ananta sendiri langsung memohon agar barang-barangnya tidak disita.
“Tolong, Bu. Sekali ini aja. Aku nggak bakal pakai lagi. Aku simpan di tas, ya?” pinta Ananta dengan kedua tangan terkatup di depan dada.
Ibu Lia mana mau percaya. Hampir semua siswa yang dipanggilnya memberi janji yang sama, besok tidak akan mengulangi lagi. Namun, lusa penyakitnya kumat dan mereka kemudian menjadi pasien yang paling sering dipanggil untuk dimintai pertanggungjawaban. Perbuatan tidak sesuai dengan Buku Janji Siswa itu akan berakhir ketika barang sengketa itu masuk laci pembina OSIS dan tidak bakal bisa diambil walau dunia kiamat atau langit runtuh sekali pun.
“Nggak ada. Ibu sita perhiasanmu supaya jadi pelajaran bahwa aturan sekolah mesti ditegakkan. Banyak yang ingin masuk sekolah ini, tapi mereka gagal. Kamu sudah beruntung …”
Ibu Lia terus mengoceh hingga Ananta merasa telinganya berdenging dan setelah bermenit-menit lewat, dia tahu telah kalah. Aksesoris favoritnya telah disita dan rambutnya yang memang nyaris mirip calon tentara membuatnya hampir saja mendapat surat panggilan jika saja dia tidak cepat mencari alasan.