Di sebelah dah bab 7. Masih gratis
***
6 Rumah Ben dan Naa
Ananta tidak bisa menahan diri untuk tidak menendang kerikil-kerikil kecil sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Dengan kesal, dia menarik bando yang menghias puncak kepalanya dan menggenggamnya erat. Hampir saja dia membuangnya. Namun, mengingat Baby yang memberikan benda tersebut kepadanya, dia murka.
“Laela … Laela mulu isi kepala lo. Tailaaah.”
Ananta menarik napas panjang, menatap ke arah langit dengan kesal dan memutuskan berjalan lagi. Seharusnya, mood-nya sedang bagus. Mereka berempat bisa kumpul bersama dan makan bareng. Mereka biasanya bakal ngobrol tentang apa saja dan mengatai siapa saja. Namun, untuk pilihan terakhir, hanya berlaku buat Ananta dan Baby. Benjamin tidak bakal peduli dan Bram sudah pasti bakal membenamkan diri pada tumpukan soal-soal ujian masuk fakultas kedokteran yang dia incar sejak lama.
“Kenapa lo mau masuk kedokteran, Bam? Akong lo tauke emas. Duduk diam aja, bakal kaya tujuh turunan. Jadi pengusaha Tur Travel, kek. Gue kepingin jalan-jalan, tahu.”
Ananta ingat pernah bertanya hal tersebut di awal mereka masuk SMA. Saat itu keluarganya masih cemara. Sekarang, cemara mereka telah diterjang tsunami bernama pelakor. Bram menjawab enteng sambil menyeringai dengan senyuman khas miliknya yang bakal membuat gadis-gadis histeris. Bayangkan pria Arab yang ganteng, tapi punya tulang wajah dan struktur mata seperti Tao Ming Tse, buat anak-anak SMA yang baru mekar, maka Bram Wijaya adalah oase yang sangat menyegarkan.
“Ada seseorang yang sering sakit dan terluka. Dia ogah dirawat atau dibawa ke rumah sakit. Alasannya, cuma suami yang boleh lihat badannya. Padahal, belum tentu ada yang mau jadi suaminya.”
Waktu itu, Ananta hanya menertawakan balasan Bram kepadanya. Dia malah terlihat tidak peduli. Lain hal saat Benjamin yang lewat atau berceloteh tentang Laela kepadanya meski berjam-jam dan menjemukan. Ananta bakal selalu duduk dan mendengar apa saja keluh kesah anak bujang pemuja cinta monyet itu.
Ananta yang hendak melanjutkan langkah dengan perasaan campur aduk, kemudian merasakan kalau ponsel yang dia simpan di saku rok bergetar. Jantungnya berdebar. Harapannya cuma satu, Benjamin bakal minta maaf dan mengajaknya kembali makan.
Namun, harapan tinggal harapan. Bukan nama cowok melankolis tersebut yang mengirim pesan, melainkan ayahnya. Si Papi, begitu Ananta memberi nama. Tapi, papi bukanlah orang yang sering berkabar. Hingga detik ini, bapak kandungnya tersebut tidak pernah tahu di mana anak dan istrinya tinggal.
Tidak peduli? Huh, tepatnya, tidak punya hati, begitu Ananta mengatai Aldo dan saat membaca Whatsapp kiriman ayahnya, dia tidak terkejut lagi.
Neng
Papi nggak nyangka kamu kurang ajar sama Tante Nirina. Dia nggak salah apa-apa dan kamu kualat sudah nyumpah-nyumpahin dia. Pernikahan Papi terancam karena dia mau bunuh diri.
Dasar anak nggak tahu diri. Nggak tahu gara-gara siapa kamu jadi sebesar ini? Langsung kurang ajar.
Mulai saat ini berhenti manggil aku papimu. Kita putus hubungan. Jangan cari papi lagi. Simpan WA ini kalau kamu masih mau ngemis-ngemis. Anak kurang ajar macam kamu nggak pantas dikasihani. Kamu bukan anakku lagi. Kalau mau menikah, silakan cari wali sendiri. Aku tidak sudi datang dan jangan pernah menginjakkan kaki ke rumahku kalau aku mati. Haram buatmu datang menemuiku atau ke kuburanku.
Ananta memandang ke arah layar ponsel dengan perasaan marah yang berlipat-lipat dibanding kekesalannya saat melihat Benjamin yang senyum-senyum tadi. Darahnya lebih mendidih karena papi malah menulis pesan seperti ini di saat dia butuh seseorang untuk curhat.