Di sebelah udah bab 6. Masih gratis
KBM dan Karyakarsa eriskahelmi
***
5 Rumah Ben dan Naa
Mengurus Mami, membersihkan ruko, sekaligus mencari sedikit rupiah demi bertahan hidup di tahun terakhir Ananta Dahlia sebagai anak SMA, membuatnya sadar kalau dia mesti punya keahlian yang bisa membuatnya kaya. Jelas sekali, Ananta tidak berpikir bakal melanjutkan pendidikan di bangku kuliah. Butuh waktu minimal empat tahun serta uang bayaran yang jelas tidak sedikit, sementara dia juga mesti membayar tagihan dan biaya makan untuk dirinya dan mami.
Ananta bisa saja hidup dengan nasi dan telur, dia juga tidak menolak makan mi instan. Tapi, ibunya harus makan menu sehat. Hidupnya sudah tidak sempurna, jangan sampai Irmala Dewi juga makan menu melarat seperti putrinya.
Mami seorang chef pastry. Walau kebanyakan memasak roti dan pastri, seenggaknya, Mami selalu makan makanan sehat dan bermutu.
Bermutu. Itulah yang selalu diingat oleh Ananta setiap dia membelikan barang buat ibunya dan Irmala selalu riang ketika dia melihat bungkus mentega kemasan serta krim masak yang dulu akrab dengannya. Makannya pun lebih lahap, meski untuk itu, Ananta harus selalu memutar otak. Dia harus bisa masak bahan seadanya tapi bisa dimakan oleh sang bunda.
Waktu itu, seperti biasa, sudah jam pulang sekolah. Supaya tidak tertangkap basah lagi, Ananta sengaja menjadi anak baik-baik. Rambutnya yang pendek disisir rapi dan dia pasangkan bando supaya Bu Lia tidak bakal mengoceh. Kaus kakinya juga sudah kembali panjang. Segala aksesoris aneh dia sembunyikan, termasuk tindikan di hidung yang dia sumpal dengan alas bedak.
Bentar lagi tamat. Bentar lagi tamat. Lo mesti jadi anak baik dan dapat ijazah, bisik Ananta kepada dirinya.
Tapi, dia tahu, perjuangannya tidak bakal berhenti sampai di situ. Baby Wijaya yang selalu bersamanya, tidak pernah berhenti mendorong Anata agar lanjut kuliah. Waktu Ananta bilang, dia tidak punya dana, Baby bilang, keluarganya siap membantu.
“Gue nggak mau berhutang budi sama manusia. Suatu hari, mungkin pertemanan kita bakal selesai, bakal ada masalah dan gue nggak mau lo ungkit-ungkit terus sebarin ke seluruh dunia, gue teman nggak tahu diri.” Ananta menolak. Mulutnya terasa asam, tapi, dia tidak berani merokok. Selain itu, cuma Teddy dan teman-teman sesama anak broken saja yang tahu betapa rusaknya dia.
“Haiya. Lo selalu bilang gitu, Naa. Akong gue kaya.” Baby dengan percaya diri menepuk dadanya. Akong alias kakek Baby dan Bram adalah pengusaha perhiasan dari emas dan berjualan di ITC yang cabangnya ada beberapa. Tapi, itu bukan alasan buat Ananta menerima kebaikan keluarga sahabatnya.
“Akong lo, bukan akong gue, Xiao Yue.” Ananta memanggil Baby dengan nama Mandarinnya dan seketika, biji mata wanita keturunan Tionghoa itu membulat.
“Lah, lo juga kesayangan Akong, kan? Sampai punya nama Mandarin juga.” Baby nyengir. Tapi, Ananta memilih mengabaikan kata-kata sahabatnya itu. Keluarga Wijaya memang baik padanya. Dulu, sebelum kena gangguan jiwa, ibu Baby selalu menjadi pelanggan tetap toko kue milik Irmala dan sejak itu, mereka jadi sahabat.
“Gue nggak cocok …” Ananta ingin melanjutkan kalau kulit, suara, mata, dan segala miliknya tidak pantas disandingkan dengan Baby yang begitu lembut dan cantik bagai porselen dari Tiongkok. Tapi, dia memilih diam, sampai kedatangan Bram dan Benjamin ke tempat nongkrong mereka bertiga membuat Ananta berdeham.
“Eh, pakai bando.” Bram yang pertama kali mengenali penampilan Ananta siang itu. Dia tersenyum amat lebar ketika Ananta menoleh ke arahnya.
Bram adalah Baby versi laki-laki. Namun, daripada keturunan Tionghoa, orang-orang, terutama anak perempuan, bakal berpikir kalau dia adalah pemuda dari Korea. Tubuhnya tinggi jangkung. Rambutnya hitam, lebat, dan berkilau. Hidungnya juga kelewat mancung dan Ananta berpikir hal itu wajar karena ibu mereka merupakan wanita keturunan Arab.
“Cakep, kan?” Baby yang lebih dulu menyambar, sedangkan Benjamin yang datang paling akhir duduk hanya memilih membuka-buka aplikasi di dalam ponsel. Dia tampak tidak terganggu dengan keributan kecil di hadapannya, tentang Bram yang tulus memuji penampilan Ananta yang jadi lebih feminin dibanding biasanya.
“Lo pesen apa, Ben?” panggil Baby kepada Benjamin. Mereka biasanya makan beberapa cemilan sebelum pulang, yang sebenarnya adalah sebelum Bram dan Baby dijemput oleh sopir mereka.
“Eh? Iya? Gue makan apa aja.” balas Ben hampir linglung, namun setelah tersenyum ke arah Baby dan Ananta yang menatapnya, dia kembali memusatkan pandangan pada ponsel miliknya dan tenggelam dalam dunianya sendiri, membuat Ananta dan Baby saling lirik.
“Mau soto mi, Naa?” tawar Bram kepada Ananta, membuat wanita tujuh belas tahun itu kemudian melirik ke arahnya, “Gue nggak ada duit.”
“Gue yang bayar.” Bram menjawab santai, tidak peduli pada sahabat di seberangnya yang tersenyum-senyum sendiri, mengabaikan fakta kalau pelipisnya masih biru bekas pukulan beberapa anak berandal dari SMA Gasing beberapa waktu lalu. Hingga pesanan tiba, Benjamin tetap fokus kepada dirinya sendiri dan abai pada tiga temannya yang lain.
“Cengar-cengir mulu. Itu mulut kena lalat nggak ketahuan.” Ananta menusik kesenangan Benjamin dengan memanggilnya beberapa kali. Bocah delapan belas tahun itu mengangkat kepala dan memukul bibirnya sendiri. Ponselnya sampai terjatuh ke atas meja dan semua orang melihat kalau sejak tadi Benjamin berkirim pesan kepada Laela.
“Masih aja ngejar dia.” Ananta memberi komentar. Entah mengapa, dia merasa tenggorokannya panas. Mungkin karena kuah soto mi yang diseruputnya tadi berisi banyak saus sambal. Yang pasti, setelah mengucapkan kalimat itu, dia batuk beberapa kali.“Rasain. Demen banget godain gue.” Benjamin tertawa. Tapi, setelahnya dia menjulurkan air minum miliknya yang sejak tadi memang belum sempat dia sentuh.
“Dia mau gue ajak nonton konser, asyik banget. Akhirnya, setelah berbulan-bulan.” lanjut Benjamin semangat, ketika tidak ada yang mendengar. Padahal, buatnya, berita seperti ini patut dirayakan.
“Konser-konser, pipi lo tuh, bocor.” Ananta menyembur lagi. Dia mengabaikan dua saudara Wijaya yang lebih suka makan dibandingkan menyaksikan perseteruan dua orang di dekat mereka saat ini.
“Dalam cinta mesti ada pengorbanan. Segini, sih, nggak apa-apa.” Benjamin menyentuh pelipisnya. Jika kemarin lukanya terasa menyakitkan, satu pesan dari Laela langsung menyembuhkan semuanya.
“Mau muntah.” Ananta tanpa ragu menjulurkan lidah. Jika harus jujur, dia muak melihat gombalan cinta Benjamin kepada Laela. Mereka masih sangat muda untuk bicara tentang pengorbanan.
“Gue sudah kelas. Mau langsung balik.” Ananta langsung bangkit dari bangku, padahal mulutnya masih penuh dengan soto mi. Tapi, tidak hanya itu, sebelum menjauh, Ananta sempat meneguk air pemberian Benjamin.
“Tumben.” Bram menoleh ke arah Ananta hingga Baby merasa kepala kakaknya bisa putus saking pemuda itu tampak khawatir karena perubahan di raut wajah Ananta.
“Mau ngurus emak.” balas Ananta pendek. Dia hanya menepuk bahu Baby sebagai tanda perpisahan dan melambai pada Bram, donatur baik budi yang membantu membelikan makanan hingga perutnya yang keroncongan sejak pagi bisa terisi.
Dia melewati saja Benjamin yang sekarang menelepon Laela dan tampak tidak peduli pada dunia sekitar. Benjamin baru sadar kalau Ananta sudah tidak bersama mereka sekitar lima belas menit kemudian. Itu juga saat Bram dan Baby hendak pulang. Sopir mereka sudah tiba dan sedang menunggu di depan warung soto.
“Lah? Pada mau ke mana?” tanya Benjamin bingung. Ponselnya terasa hangat bekas menelepon tadi.
“Baliklah. Ngapain lama-lama di sini? Nontonin lo pacaran.” Baby menjawab sinis. Dia sudah memakai tas sekolahnya, sedangkan Bram mencari sang penjual buat membayar transaksi mereka siang itu.
“Cepat banget. Kenapa cuma tinggal kalian? Naa mana?” tanya Benjamin lagi, kebingungan. Jika Bram dan Baby hendak pulang, tidak masalah. Tapi, yang dia kira masih ada Ananta di dekatnya, malah sebaliknya.
“Sudah duluan balik. Capek hati dia ngeliatin lo yang kasmaran.” balas Baby lagi. Dia tidak tertarik untuk melanjutkan sejak ditinggal oleh Ananta tadi dan tanpa permisi, Baby Wijaya berjalan meninggalkan Benjamin untuk menuju mobil yang telah menjemputnya.
“Kalian semua kenapa, sih?” Benjamin menggaruk pelipis. Tatapannya sempat beradu dengan Bram, tapi sejurus kemudian, calon dokter tampan itu hanya melambai kepadanya dan menyusul Baby menuju mobil.
***