Episode 1 - Pembuka

93 52 54
                                    

Rudi terdiam dengan kedua tangan mencengkram rambut-rambut di kepalanya. Terasa denyutan hebat di sana. Di ruang tamu yang lengang ini, Rudi terduduk di sofa.

"Kamu, tuh, kenapa, Mas?" Rudi 'tak menjawab. Ia masih berada di posisi yang sama.

"Udah seminggu ini kamu pulang tengah malam. Mabuk pula! Kamu ada main sama perempuan lain, ya? Iya, Mas?!" tanya Rani yang duduk di sofa terpisah. Dahi wanita itu tampak berkerut tegang. Wajahnya pun memerah.

Rudi tetap diam seperti semula. Ia 'tak tahu harus membela dirinya bagaimana. Rudi tahu dirinya salah. Ia selalu pulang tengah malam dan mabuk-mabukan, tapi untuk berselingkuh... sepertinya tidak.

"Mas!" panggil Rani dengan suara yang semakin meninggi, membuat Rudi tersentak dan spontan menatap ke arah istrinya. "Kamu dengar enggak, sih?"

Rudi mengangguk patah. "Dengar."

Mendengar jawaban singkat itu, Rani menghela napasnya. Ia beranjak mendekat ke tempat suaminya berada. "Mas, kalau memang kamu enggak mau cerita apa pun ke aku, aku enggak masalah. Tapi tolong, jangan seperti ini. Uang yang kamu kasih ke aku itu banyak kamu potong. Aku harus masak apa? Bayar cicilan lain gimana?"

Hening. Hanya jarum jam yang terdengar bersuara. Rudi lagi-lagi mencengkram rambut-rambut di kepalanya. Rasanya semua masalah sedang berenang di sana.

"Kalau kamu enggak kasih penjelasan juga, it's okay. GA-PA-PA," ucap Rani sambil beranjak bangkit. "Aku bakal pulang ke rumah Bunda."

Sontak pernyataan Rani mampu membuat hati Rudi tersentak. Ia bangkit dan menatap istrinya. "Jangan, dek! Kamu mau ngapain ke sana?"

"Aku mau nenangin diri. Aku lelah lihat sikap kamu yang berubah seperti ini." Rani beranjak pergi, namun tangannya ditahan oleh Rudi.

"Jangan, dek. Aku malu sama Bunda nanti." Ucapan Rudi terdengar bergetar. Ia sangat bingung dengan posisi dan kondisinya saat ini.

Rani menghempaskan genggaman Rudi. Dengan tatapan sinis, ia berkata, "Tenang aja. Aku enggak ngadu apa-apa. Aku akan tetap di sana entah sampai kapan. Aku enggak akan balik ke sini kalau kamu enggak bisa merubah sikap burukmu itu." Setelah mengatakan itu, Rani segera meninggalkan Rudi di ruang tamu sendirian.

Rudi menghempaskan tubuhnya ke sofa. Rasanya pusing sekali melihat masalah-masalah rumah tangganya. Rasanya Rudi ingin bunuh diri saja.

"Aku bakal bawa Chandra." Rani keluar dari kamar dan sudah menggandeng anak mereka. "Kami pergi."

Rani dan Chandra beranjak keluar dari rumah mereka. Chandra terlihat bingung dengan situasi ini. Anak kecil itu hanya bisa melihat ayahnya di belakang tanpa bisa berbuat apa-apa.

Tanpa pembelaan, Rudi membiarkan istri dan anaknya pergi. Mungkin ini yang terbaik. Sama-sama menenangkan diri, sama-sama memperbaiki diri terlebih dahulu. Dada Rudi naik turun, terasa nyeri melihat kejadian-kejadian ini. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu waktunya tiba.

Rudi bersender di sofa yang empuk. Ia hirup napasnya dalam-dalam, berharap pikirannya segera jernih. Rudi sedikit tersentak ketika ponsel yang ada di sakunya bergetar, memberitahu bahwa ada sebuah notifikasi masuk. Lelaki itu segera membuka ponselnya. Sebuah pesan tertera di sana.

Amir
Rud, nanti malam nongkrong, yuk!

Rudi tak langsung membalas pesan itu. Ia harus sadar bahwa anak dan istrinya pergi karena kesalahannya. Bukan waktunya untuk nongkrong. Tapi, rasanya Rudi benar-benar frustrasi. Ia terlalu banyak menyimpan masalah di kepalanya. Rudi bingung harus bagaimana. Ia butuh teman curhat.

Seketika Rudi menekan notifikasi itu. Ya, teman curhat. Ia butuh teman curhat. Amir bisa ia jadikan teman untuk bercerita. Mungkin Rudi harus mengiyakan ajakan itu.

Rudi
Ayo, Mir! Atur tempat.

Rudi tersenyum senang.

Rahasia di Balik BerkasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang