Prolog

13 0 0
                                    

Pria berperut agak buncit berdiri dekat Jeep merah. Kacamata hitamnya yang memantulkan setengah keadaan sekitar menunjukan bahwa dia sedang memperhatikan rumah bergaya Jepang modern di hadapannya. Dia berdiri salah satu kakinya sedikit berpijak pada aspal, sementara kakinya yang lain bertumpu pada bagian mobil. Posisi tubuhnya agak bersandar, seperti ingin menunjukkan bahwa dia adalah sosok yang dominan.

Seorang pria lebih muda menengok keluar dari dalam mobil. Lelaki itu memakai kacamata berframe hitam dan rambutnya disisir rapi, nampak sekali dia seperti memiliki wibawa. Matanya mencari objek yang menjadi perhatian si buncit itu. Rupanya lelaki itu sedang memperhatikan perempuan muda yang sedang mengeluarkan ransel dari dalam mobil jauh dari posisi mereka.

"Apa ada masalah?" tanya si lelaki muda.

'Ya. Perempuan itu." kata si pria buncit menunjuk pada objek yang dimaksud dengan dua jarinya yang mencapit sebatang cerutu." Dia ancaman bagimu."

Pria muda menurunkan sebelah alis. "Maksud Om?"

"Dia anak dari pengemis wanita yang Om bunuh lima belas tahun lalu. Bapaknya lebih dulu mati lebih awal." Si pria buncit berdecak. "Seharusnya dia sudah mati menyusul ibunya

Pria muda yang bernama Mahesa  melirik omnya selama beberapa detik. Lalu  tatapannya kembali tertuju pada si perempuan. "Ancaman apa yang Om Djarot maksud?"

"Kamu harus sadar. Dia bisa jadi bom waktu buat kita kapan saja, Mahesa, Bahkan di detik ini juga."

Tatapan Mahesa semakin intens terhadap perempuan yang saat ini masih lengah. Lalu Djarot kembali melanjutkan ucapannya. "Ingat! Namamu pasti bakal tercoreng, kamu akan gagal menikah dengan perempuan Jepang itu. Jika anak pengemis itu sampai bertemu dengan Om dan mengingat semuanya."

Ekspresi Mahesa semakin mengetat. Jakunnya yang menonjol naik turun. "Aku tahu apa yang harus lakukan." Dia memegang handle dan hendak keluar. Namun cepat-cepat Djarot menghentikan.

"Jangan bodoh. Itu sama saja bunuh diri," bentak Djarot tajam. "Di mana dia bekerja?"

"Divisi infanteri Angkatan Darat. Dia sudah menjabat sebagai kapten."

Mendadak wajah Djarot ikut memucat. Dari tadi perhatiannya tertuju pada postur dan gaya berpakaian si perempuan yang sedikit tidak feminim.

"Apa kita akan membiarkan tikus itu terus bergerak menyebar penyakit? Kita bisa kerahkan semua anak buah Om saat ini juga—"

Djarot menghentikan gerak mulut ponakannya. "Itu bahkan terlihat lebih bodoh, dari tindakan yang ingin kamu lakukan. Kita harus bermain bersih. Dengan dia berlatar bekang seorang opsir  saja harusnya bisa bikin kamu mikir dulu ribuan kali," cerocosnya. Dia lalu menghela napas. "Om punya ide." Dalam isyarat tangan, Djarot memberikan instruksi, dia ingin membisikan sesuatu.

Beberapa saat kemudian Djarot menarik wajahnya, dia selesai berbisik.

Sekilas Mahesa tampak bingung.

"Fokus pada tujuanmu, Mahesa. Ingat Om sendiri yang membesarkanmu dan adikmu. Jangan sampai kamu gagal."

Mahesa tertegun. Dia masih mencerna ucapan paman sekaligus ayahnya itu.

"Lebih baik Om pulang. Daripada semuanya gagal."

Mahesa turun dari mobil. Sementara Djarot masuk, dia lalu meninggalkan Mahesa. 

Operation Code: ErikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang