Bad News

12 1 0
                                    

Tiga orang duduk melingkari tumpukan kecil kartu remi. Salah satunya mengalihkan pandangan pada layar TV, satu tangannya menjepit tiga kartu dalam posisi antar muka. Sementara temannya yang satu lagi meniupkan asap dari cerutu yang baru dia hisap. Dua orang pria lain yang masing-masing memegang string mop dan dua ember, menghentikan langkah mereka ketika hendak mengatasi kebocoran. Sementara di sudut lain, di sekitar meja billiard, enam orang pria lain mematung dan menjeda permainan mereka, perhatian mereka terarah pada satu titik yang sama yaitu televisi.

Benda itu menampilkan potret seorang perempuan yang menghadap kamera rambutnya yang berwarna coklat ditata poni samping mirip perempuan Jepang. Sepasang garis senyum yang khas tersungging pada bentuk wajahnya yang agak oval. Terdapat kalung dengan bandul yang persis seperti milik Eriko pada leher jenjang perempuan itu.

"Siapa dia?" tanya Owen, dia berjalan mendekati kursi Eriko. Tangannya membawa secangkir kopi panas. "Kalung itu ...."

"Nagi, salah satu kakak angkatku. Awalnya dia punya dua kalung yang bentuknya sama. Salah satunya diberikan padaku, jauh sebelum kami bermusuhan." kata Eriko. Tangannya memungut kunai yang sebelumnya diletakan di atas meja, lalu mulai menggores-gores permukaan meja, entah karena merasa bosan atau sebagai bentuk dari amarah.

Owen manggut-manggut. Dia meneguk kopinya secara perlahan. ""Lantas, kenapa kamu melempar kalung pemberiannya pada jenazah target?"

Perhatian Eriko teralihkan sepenuhnya pada Owen, awalnya dia ingin berkata "tolol" tapi dia urungkan. "Aku ingin hubungan dia dan suaminya rusak."

Alih-alih menjawab, Owen malah melirik kikuk pada Danu. Dia seperti membatin. Lelaki gempal ini sedikit berjengit, tatkala salah seorang menaikan volume suara TV. Dua lubang hidungnya melebar. Tayangan televisi dengan cepat merongrong mental Owen dan yang lainnya.

" .... Saudara, polisi telah mengamankan satu unit truk kontainer yang diduga kuat adalah armada para pelaku. Selain itu, berdasarkan hasil visum, dugaan sementara motif serangan ini lebih kepada konflik antar individu atau kelompok bukan pemberontakan pada pemerintah.

Wajah Eriko mendadak serius. Di sela-selanya dia mendapati, Owen meliriknya, canggung. Perhatian lelaki itu lalu tertuju kembali pada TV.

Hal ini erat kaitannya dengan peluru tunggal yang ada pada tubuh salah satu korban–yang diduga dia adalah target utama–di mana pada selongsong peluru terdapat sebuah nama dalam aksara Jepang bertuliskan Nagi. Selain itu pihak kepolisian juga sempat merilis rekaman CCTV tentang keterlibatan seorang perempuan di barisan para penyerang. Diduga perempuan itu adalah pemilik peluru tersebut.

Sementara itu polisi baru saja mengungkap, jika pelaku dan target utamanya memiliki hubungan ipar. Namun pihak kepolisian masih mengkaji apa motif serangan ini."

Ocehan news anchor  itu berhenti disusul dengan berubahnya layar yang menampilkan set studio berita.

"Kita sedikit beralih ke pembahasan lain. Saudara, publik dihebohkan dengan laporan munculnya kembali Danu dalam aksi penyerangan tadi siang di antara barisan kelompok penyerang tersebut. Pertanyaannya apakah kabar keberhasilan tentara wanita beberapa bulan lalu hanyalah fiktif? Untuk menemukan jawabannya, kami sudah terhubung dengan rekan kami di area pelabuhan."

Tampilan layar berganti kembali. Seorang tentara lengkap denga baret ungu dikepung oleh awak media dari tiap sudut. Kehadiran mereka seperti telah mempersempit ruang geraknya.

Lalu salah seorang wartawan melempar pertanyaan. "Menurut Bapak adakah keterlibatan pihak internasional dalam penyerangan ini?"

"Kami belum bisa mengkonfirmasi untuk masalah itu."

Lalu wartawan lain yang ada di sebelahnya bertanya, "Untuk Danu CS bagaimana menurut Bapak, bukankah dia telah tewas di tangan tentara perempuan?"

"Hal itu juga masih kami dalami. Mengingat sebagian hasil forensik setelah jenazahnya diotopsi banyak keanehan. Selain itu, kami melihat kejanggalan lain pada dua rekannya yang hari itu ikut diterjunkan. Luka yang mereka alami seperti ditembak dari jarak nol."

"Pak, apakah ada kemungkinan jika dalang dari ini semua tak lain adalah tentara perempuan itu sendiri, secara hanya dia kombatan yang selamat ketika diterjunkan dalam misi penyergapan Danu, dan selapas misinya dia mengundurkan diri dari angkatan?" tudingnya lagi.

Sekonyong-konyong, Eriko melempar kunainya. Senjata itu melayang di atas pucuk kepala semua punggawa dan tepat menancap pada layar TV. Bunyi benturan keras dan ledakan rendah telah cukup membuat semua yang duduk di depan TV terkejut. 

Dalam keraguan dan ketakutan, beberapa orang menoleh pada Eriko. Mereka lalu menggeser bokong, ketika Eriko bergegas menghampiri TV. Perempuan berambut panjang itu menoleh dan menatap tajam Danu. Dia menghampirinya dalam lagak akan menjagal. Orang-orang Eriko yang sudah paham apa tindakan bos mereka selanjutnya, lekas meninggalkan perhatian mereka dan mengekori langkah Eriko. Mereka berdiri, menciptakan ruang berupa lingkaran untuk mempersempit ruang gerak Danu.

"Acara malam ini berakhir, dan mereka sudah bisa menebak siapa penjahatnya," kata Eriko, tanpa ekspresi. "Kalau saja kamu sedikit bisa diatur, mungkin tidak akan ada sesi wartawan bermain teka-teki dengan narasumbernya."

Danu mengangkat muka. Dia mendorong tubuhnya ke belakang dibantu kedua tangannya, lalu berhenti ketika punggungnya bertemu dengan dinding, dia terpojok.

Eriko menoleh dan memberi isyarat anggukan pada anggota di sebelahnya.

Dua orang berhambur mendekati Danu dan menarik kasar tangannya, memaksanya untuk berdiri. Kemudian sebuah tinju mendarat pada tulang pipinya yang kurus hingga membuatnya terhuyung. Disusul pukulan lain yang satu di antaranya mengenai pada tulang dahi. Tubuh Danu ambruk di atas lantai. Dalam sekejap, semua anak buah Eriko menggulung Danu. Tangan mereka secara liar berebut mengeksekusi mantan bos milisi anti pemerintah itu.

Suara lenguhan dan erangan terdengar di antara umpatan kasar mereka

Kamu pantas menerimanya, batin Eriko. Dia hanya berdiri sambil bersedekap, pongah. Baginya, wujud kemarahannya sudah diwakili oleh mereka. Wanita ini melirik ke belakang, menyadari Owen mendekat, dia jadi tahu makna lirikannya pada Danu tadi. Pria gempal berbentuk kepala bulat itu berdiri di samping Eriko dalam wajah yang polos.

"Berdirikan dia!" titah Eriko.

Dua orang anak buah Eriko memegangi tangan Danu. Mereka memposisikannya jadi setengah berdiri. Danu mengerang, nafasnya tersengal-sengal. Sementara itu Eriko berjalan lebih dekat.

"Ada kata-kata terakhir?"

Danu terbatuk-batuk. Darah segar keluar dan menetes dari mulutnya yang lebam. Dia tidak lekas menjawab, tertunduk dalam selama beberapa detik, lalu mengangkat muka dan beradu pandang dengan Eriko. Seutas senyum hampa tersungging. "Andai aku menyembunyikan identitasku, kamu bakal berhasil membunuh musuh utamamu?" Lelaki ini tertawa lepas seperti orang yang kesetanan.

Eriko mengangguk dalam lagak mencela. "Oh ya, omong-omong kamu pasti menanyakan nasib kembaranmu. Aku terpaksa membunuh dia sepulang aku membuat kesepakatan denganmu. Tim forensik yang bekerja untukku, perlu bukti untuk memperkuat laporanku. Meski ujung-ujungnya misi kita bisa dibilang gagal karena kegoblokan-mu".

Danu terhenyak, matanya berkaca-kaca. "BANGSAT!" Dia meronta, ingin menghajar Eriko. Namun tenaganya kalah kuat dibanding orang-orang yang menahannya.

Eriko berjalan setengah memutari Danu. Tangan kiriya menjambak rambut Danu, hingga kepalanya menjorok ke atas. Dalam satu gesekan lues, dia menyayat kulit leher Danu dengan kunai. Setelahnya tubuh Danu dibiarkan tumbang begitu saja.

Beberapa detik kemudian, kecipak suara sepatu muncul dari luar dan menembus celah-celah dinding bangunan. Pandangan semua orang tertuju pada satu titik. Mereka telah datang, pikir Eriko, melihat dua orang berseragam tempur hutan berdiri ketika pintu terbuka. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 25 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Operation Code: ErikoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang