Anak Abah

Prolog

Iza menatap langit senja yang berwarna keemasan dari halaman rumahnya. Angin sore yang sejuk membelai rambutnya, membawa serta aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh. Di sebelahnya, Abah duduk di kursi kayu tua, mengenakan sarung dan kemeja putih polos yang sudah mulai kusam warnanya. Tatapan Abah jauh ke depan, seolah-olah sedang merenungi sesuatu yang sangat dalam.

"Iza, kamu tahu kenapa Abah selalu ajak kamu duduk di sini tiap sore?" tanya Abah, suaranya tenang dan penuh kebijaksanaan.

Iza menggeleng pelan. Meskipun sudah berkali-kali mereka duduk bersama seperti ini, Iza belum pernah menanyakan alasan di balik kebiasaan tersebut. Baginya, ini adalah waktu yang berharga, waktu di mana dia bisa dekat dengan Abah dan mendengarkan segala nasihatnya.

"Karena di sini, Abah bisa melihat kehidupan berjalan. Burung-burung terbang pulang ke sarang, tetangga pulang dari ladang, anak-anak kecil bermain di halaman. Semua itu mengingatkan Abah bahwa hidup ini sederhana, tapi penuh dengan makna," Abah menjelaskan, suaranya berat namun hangat.

Iza mengangguk pelan. Dia tahu bahwa setiap kata yang keluar dari mulut Abah selalu memiliki makna yang dalam. Abah adalah orang yang selalu mengajarinya untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, untuk tidak hanya melihat permukaan, tapi juga memahami apa yang ada di baliknya.

"Mungkin kelihatannya sederhana, Za," lanjut Abah, "tapi setiap hal yang kita lihat ini punya cerita. Dan tugas kita sebagai manusia adalah belajar dari setiap cerita itu."

Itu adalah salah satu dari banyak pelajaran yang Iza dapatkan dari Abah. Dari kecil, Abah selalu mendidiknya untuk berpikir kritis, untuk selalu mempertanyakan apa yang tampak biasa. Abah selalu berkata, "Jangan pernah menerima sesuatu begitu saja, Za. Pertanyakan, pelajari, pahami."

Hari itu, Iza tidak tahu bahwa nasihat-nasihat Abah ini akan menjadi fondasi bagi perjalanan hidupnya yang penuh dengan pertanyaan dan pencarian kebenaran.