Hari-hari pertama Iza di kampus berjalan dengan cepat, meskipun di setiap detiknya ia merasakan banyak hal baru yang perlu diadaptasi. Setiap pagi, Iza bangun lebih awal dari kebanyakan mahasiswa lainnya. Kebiasaan ini tertanam kuat sejak ia masih di desa, di mana Abah selalu menekankan pentingnya memulai hari dengan semangat. Dengan tenang, Iza berjalan menuju kampus, menikmati sejuknya udara pagi yang sedikit mengingatkannya pada desanya.
Perkuliahan di kampus ini terasa berbeda dari apa yang ia bayangkan sebelumnya. Tidak hanya tentang mempelajari materi dari buku-buku tebal, tetapi juga tentang bertukar pikiran, berdiskusi, dan terkadang berdebat dengan teman sekelas dan dosen. Iza menyadari bahwa di sini, pendapat setiap orang dihargai dan diuji melalui dialog yang terbuka. Hal ini memberi tantangan tersendiri bagi Iza, yang terbiasa dengan suasana yang lebih tenang dan terstruktur.
Di antara jadwal kuliah yang padat, Iza mulai membangun persahabatan dengan beberapa teman sekelasnya. Bima, yang ia temui di hari pertama, menjadi salah satu sahabat terdekatnya. Mereka sering duduk bersama di kantin, membahas tugas kuliah, atau sekadar bercanda tentang hal-hal sepele. Bima adalah sosok yang ceria dan mudah bergaul, membuat Iza merasa lebih nyaman dalam lingkungan baru ini.
Suatu hari, ketika Iza dan Bima sedang asyik berdiskusi tentang salah satu materi kuliah yang sulit, seorang mahasiswi mendekati meja mereka. Dia adalah seorang gadis dengan senyum yang ramah dan mata yang bersinar penuh semangat. "Hai, aku Rina," sapanya sambil menjulurkan tangan. Iza sedikit terkejut, namun dengan cepat membalas jabat tangan itu.
Rina adalah tipe orang yang mudah membuat orang lain merasa nyaman. Dalam beberapa menit, dia sudah bisa membuat Iza dan Bima tertawa dengan cerita-cerita lucunya tentang kehidupan kampus. Dari obrolan singkat itu, Iza mengetahui bahwa Rina adalah salah satu mahasiswi yang cukup aktif di kelas mereka, dan dia juga sering terlibat dalam berbagai kegiatan kampus.
Rina mulai sering bergabung dengan Iza dan Bima dalam berbagai aktivitas di kampus. Ketiganya menjadi kelompok kecil yang sering terlihat bersama di kantin, perpustakaan, atau sekadar berjalan-jalan di taman kampus setelah kuliah. Meskipun Rina dan Bima lebih banyak bicara, Iza merasa senang bisa menjadi bagian dari percakapan mereka. Rina, khususnya, sering memberikan perspektif yang berbeda tentang berbagai hal, membuat Iza semakin tertarik untuk mendalami topik-topik yang mereka bahas.
"Za, kamu suka baca buku apa?" tanya Rina suatu hari saat mereka sedang duduk di perpustakaan.
"Buku sejarah dan filsafat," jawab Iza dengan tenang. "Aku suka mencari tahu kenapa sesuatu bisa terjadi, dan apa yang bisa kita pelajari dari itu."
Rina mengangguk, tampak terkesan. "Wah, keren. Aku juga suka baca, tapi lebih ke novel-novel klasik. Tapi kalau ada diskusi tentang sejarah atau filsafat, aku pasti akan mengandalkan kamu, Za," katanya sambil tersenyum.
Hari-hari di kampus menjadi semakin menyenangkan bagi Iza. Ia mulai merasa bahwa kampus ini bisa menjadi rumah keduanya, tempat di mana ia bisa terus belajar dan berkembang. Setiap mata kuliah membawa tantangan baru, namun juga kesempatan untuk memahami dunia dengan cara yang berbeda. Iza menikmati setiap pertemuan kelas, terutama saat dosen memberikan kesempatan untuk berdiskusi. Meskipun pada awalnya ia merasa canggung untuk berbicara di depan kelas, perlahan ia mulai menemukan kepercayaan diri untuk menyuarakan pendapatnya.
Persahabatannya dengan Bima dan Rina juga semakin erat. Mereka sering belajar bersama, terutama saat mendekati ujian. Bima biasanya akan membawa suasana yang lebih santai dengan lelucon-leluconnya, sementara Rina membantu menjelaskan konsep-konsep yang sulit dipahami. Iza merasa bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka, yang bukan hanya mendukungnya dalam hal akademik, tetapi juga membuatnya merasa tidak sendirian di tengah-tengah lingkungan yang masih baru baginya.
Suatu sore, setelah selesai mengikuti kelas yang cukup berat, Rina mengajak Iza dan Bima untuk bersantai di kafe favoritnya di dekat kampus. Kafe itu kecil dan nyaman, dengan suasana yang hangat dan menu yang sederhana namun lezat. Mereka duduk di salah satu sudut kafe, menikmati minuman hangat sambil berbicara tentang rencana akhir pekan.
"Kalian ada rencana apa akhir pekan ini?" tanya Rina.
Bima menjawab dengan semangat, "Aku mungkin akan pulang ke rumah, kumpul sama keluarga. Sudah lama nggak pulang, kangen juga sama masakan ibu."
Rina mengangguk, lalu menoleh ke Iza. "Kalau kamu, Za? Punya rencana apa?"
Iza terdiam sejenak, berpikir. "Belum tahu, mungkin akan habiskan waktu di perpustakaan, atau jalan-jalan sebentar di sekitar kota."
Rina tersenyum, "Kalau begitu, gimana kalau kita jalan-jalan bareng? Ada banyak tempat menarik di kota ini yang mungkin belum kamu kunjungi. Aku bisa jadi pemandu wisatamu."
Iza tersenyum tipis, merasa terharu dengan tawaran Rina. "Boleh juga," jawabnya. Ia merasa senang karena Rina selalu mencoba membuatnya merasa nyaman dan diterima di lingkungan baru ini.
Akhir pekan itu, Iza, Bima, dan Rina menghabiskan waktu bersama menjelajahi kota. Rina membawa mereka ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi Iza, seperti taman kota yang rindang, pasar tradisional yang ramai, dan sebuah museum kecil yang menyimpan banyak sejarah tentang kota itu. Iza menikmati setiap momen, merasa bahwa ia sedang menjalani salah satu fase terbaik dalam hidupnya.
Di malam hari, mereka duduk di tepi sungai yang mengalir di pinggir kota, menikmati angin malam yang sejuk. Rina bercerita tentang mimpinya setelah lulus kuliah, tentang keinginannya untuk bekerja di bidang sosial, membantu masyarakat yang kurang beruntung. Iza mendengarkan dengan seksama, merasa kagum dengan semangat dan kepedulian Rina.
"Aku ingin melakukan sesuatu yang berarti, sesuatu yang bisa membuat hidup orang lain lebih baik," kata Rina dengan penuh keyakinan.
Iza tersenyum, mengingat pesan Abah tentang pentingnya memiliki tujuan dalam hidup. "Aku yakin kamu bisa, Rin," ujarnya. "Kamu punya hati yang besar, dan itu lebih dari cukup untuk membuat perubahan."
Percakapan malam itu semakin mengeratkan persahabatan mereka. Iza merasa bahwa di antara keramaian kota dan segala kesibukannya, ia telah menemukan orang-orang yang bisa dia percaya dan andalkan. Ia tahu bahwa perjalanan kuliahnya masih panjang, dan tantangan akan terus datang. Namun, dengan teman-teman yang mendukung di sisinya, Iza merasa siap untuk menghadapi semuanya.
Malam itu, saat Iza kembali ke kosnya, ia merasa tenang. Di kamar yang sederhana itu, dengan foto Abah yang tergantung di dinding, Iza merenung tentang perjalanan yang telah ia tempuh. Dunia baru ini, dengan segala keindahannya dan tantangannya, mulai terasa lebih akrab. Dan di dalam dunia baru ini, Iza merasa dirinya tumbuh, bukan hanya sebagai mahasiswa, tetapi sebagai pribadi yang lebih kuat dan lebih bijak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Abah
Teen FictionIza adalah seorang pemuda yang tumbuh dalam didikan Abahnya, seorang pria yang memiliki prinsip kuat dan pemahaman mendalam tentang dunia. Abah mengajarkan Iza untuk selalu berpikir kritis dan tidak takut untuk mempertanyakan segala sesuatu yang tam...