Langit kota tampak berbeda dari langit desa yang biasa Iza pandangi. Udara terasa lebih hangat dan berat, dengan deru kendaraan yang terus mengisi setiap sudut telinga. Iza melangkah keluar dari terminal bus dengan perasaan campur aduk—antara antusiasme dan kegugupan. Di depannya, menjulang gedung-gedung tinggi yang seolah memamerkan kekuasaan kota atas para penduduknya.
Iza menenteng tas punggungnya yang penuh dengan barang-barang penting, termasuk buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemanapun. Buku itu adalah tempatnya menuliskan pemikiran, renungan, dan terkadang hanya coretan-coretan acak yang muncul di kepalanya. Sebuah pelarian kecil dari hiruk-pikuk dunia luar yang kini mulai ia masuki.
Kampus tempat Iza akan menimba ilmu terletak di tengah kota, dikelilingi oleh deretan pertokoan, kafe, dan lalu lintas yang seolah tidak pernah berhenti. Jalan menuju kampus itu dipenuhi oleh para mahasiswa lain yang berjalan dengan langkah cepat, sebagian besar dengan mata tertuju pada layar ponsel mereka. Pemandangan ini kontras dengan suasana di desanya, di mana waktu seolah berjalan lebih lambat, dan setiap orang masih menyempatkan diri untuk menyapa satu sama lain.
Iza menarik napas dalam-dalam sebelum melangkah memasuki gerbang kampus. Bangunan-bangunan kampus berdiri kokoh, dengan arsitektur yang megah dan sedikit intimidatif bagi seorang pemuda desa seperti Iza. Namun, ia mengingat kembali pesan Abah sebelum berangkat: "Jangan pernah takut dengan hal-hal yang baru. Mereka adalah kesempatan untuk belajar dan tumbuh."
Di kampus, Iza segera menyadari bahwa ia adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Ribuan mahasiswa, dari berbagai daerah dan latar belakang, berkumpul di sini dengan tujuan yang sama—menuntut ilmu dan meraih masa depan yang lebih baik. Suasana kampus terasa hidup, penuh dengan energi muda yang dinamis. Namun, di tengah keramaian itu, Iza tetap merasa sedikit terasing. Ini adalah dunia yang sangat berbeda dari apa yang selama ini ia kenal.
Hari pertama kuliah, Iza menghabiskan waktunya dengan berkeliling kampus, mencoba mengenal lingkungan barunya. Gedung-gedung fakultas berdiri megah, dengan taman-taman kecil yang tersebar di sekitarnya. Di salah satu sudut kampus, terdapat perpustakaan yang luas, dengan jendela-jendela besar yang memancarkan cahaya alami. Tempat ini segera menjadi salah satu favorit Iza. Ia bisa membayangkan dirinya menghabiskan banyak waktu di sini, tenggelam dalam buku-buku yang menanti untuk dibaca.
Di salah satu lorong fakultas, Iza bertemu dengan seorang mahasiswa yang tampak ramah. Namanya Bima, seorang pemuda dengan senyum lebar yang langsung membuat Iza merasa lebih nyaman. Bima, yang juga baru memulai kuliahnya, dengan antusias memperkenalkan Iza kepada beberapa teman sekelas mereka. Percakapan mereka ringan dan santai, membicarakan hal-hal sepele seperti dosen yang terkenal tegas hingga kafe mana yang paling enak di sekitar kampus.
"Kamu dari mana, Za?" tanya Bima saat mereka duduk di salah satu bangku di taman kampus.
"Dari desa kecil, agak jauh dari sini," jawab Iza sambil tersenyum. "Baru pertama kali ke kota besar seperti ini."
Bima mengangguk paham. "Pasti agak kaget ya, dengan suasana di sini? Tapi tenang aja, lama-lama juga terbiasa. Aku juga awalnya bingung, tapi sekarang malah suka dengan keramaian kota."
Iza hanya bisa tersenyum. Memang, segala sesuatu di sini terasa baru dan asing baginya. Namun, ia juga merasakan semangat untuk menjelajahi dan memahami dunia baru ini. Di dalam dirinya, ada rasa ingin tahu yang besar, seperti saat ia pertama kali belajar membaca di perpustakaan desanya. Semua hal baru ini seperti halaman-halaman yang belum terbaca, menunggu untuk diungkapkan maknanya.
Di kampus, Iza mulai memperhatikan berbagai kebiasaan baru yang perlu ia pelajari. Misalnya, jam kuliah yang lebih ketat, tugas-tugas yang menumpuk, dan dosen-dosen yang menantang cara berpikirnya. Meskipun ia merasa sedikit tertekan dengan perubahan ini, Iza tetap berusaha menjalani semuanya dengan hati-hati. Ia mengingat ajaran Abah untuk selalu berpikir kritis dan tidak mudah menyerah.
Suatu sore, Iza memutuskan untuk menjelajahi kota lebih jauh. Ia berjalan menyusuri jalanan yang dipenuhi toko-toko dan kafe, melihat berbagai macam orang yang berlalu-lalang. Di sebuah kafe kecil yang tampak sepi, ia memutuskan untuk berhenti dan masuk. Kafe itu sederhana, dengan meja dan kursi kayu yang nyaman serta dinding yang dihiasi dengan foto-foto hitam putih kota ini di masa lampau. Iza memesan secangkir kopi dan duduk di pojok ruangan, menikmati ketenangan di tengah keramaian.
Di sana, Iza mulai menuliskan pemikirannya di buku catatan kecilnya. Ia menulis tentang perbedaan besar antara desa dan kota, tentang bagaimana ia merasa kecil di tengah-tengah gedung-gedung tinggi dan orang-orang yang tampaknya selalu sibuk. Namun, di sisi lain, ia juga merasa tertantang untuk menemukan tempatnya di sini. Dunia baru ini mungkin tampak menakutkan, tapi juga penuh dengan peluang yang menunggu untuk diambil.
Waktu berlalu tanpa terasa, dan hari mulai gelap. Iza memutuskan untuk kembali ke kosnya, sebuah kamar sederhana yang ia sewa di dekat kampus. Di dalam kamar itu, hanya ada beberapa perabotan dasar—tempat tidur, meja belajar, dan lemari kecil. Di dinding, ia menempelkan foto Abah yang selalu ia bawa dari rumah. Foto itu menjadi pengingat baginya untuk tetap teguh pada nilai-nilai yang telah ditanamkan Abah, meskipun ia kini berada jauh dari rumah.
Malam itu, sebelum tidur, Iza merenungkan perjalanan yang telah ia mulai. Dunia baru ini penuh dengan hal-hal yang belum ia pahami, tapi ia tahu bahwa ini adalah bagian dari prosesnya untuk tumbuh dan belajar. Ia merasa sedikit rindu dengan desanya, dengan kehangatan rumah dan nasihat-nasihat Abah. Tapi ia juga tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil di kota ini adalah untuk masa depannya, masa depan yang ia harap bisa ia banggakan suatu hari nanti.
Dengan pikiran itu, Iza menutup matanya, membiarkan dirinya larut dalam keheningan malam kota yang berbeda dengan malam-malam di desanya. Meski jauh dari rumah, Iza merasa bahwa ia sedang berada di jalur yang benar, menjalani hidup dengan penuh semangat dan keteguhan hati, seperti yang selalu diajarkan oleh Abah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Abah
Teen FictionIza adalah seorang pemuda yang tumbuh dalam didikan Abahnya, seorang pria yang memiliki prinsip kuat dan pemahaman mendalam tentang dunia. Abah mengajarkan Iza untuk selalu berpikir kritis dan tidak takut untuk mempertanyakan segala sesuatu yang tam...