Minggu demi minggu berlalu, dan Iza mulai merasa semakin nyaman dengan kehidupannya di kota. Setiap pagi, ia bangun dengan semangat baru, siap menghadapi hari-hari yang penuh dengan tantangan dan pelajaran baru. Ia kini sudah lebih mengenal kampusnya—setiap sudut taman, lorong perpustakaan, hingga kantin yang selalu dipenuhi oleh mahasiswa yang berbincang dengan penuh semangat.
Rutinitas kuliah mulai terasa akrab, namun tidak pernah membosankan. Setiap mata kuliah membawa topik baru yang membuka wawasan Iza tentang berbagai aspek dunia, dari sejarah, sosiologi, hingga filsafat yang selalu menjadi favoritnya. Meskipun materi kuliah kadang terasa berat, Iza menikmati proses pembelajaran ini. Ia merasa setiap hari di kampus adalah kesempatan untuk mengasah pikirannya dan menantang diri sendiri.
Hubungannya dengan Bima dan Rina semakin erat. Mereka sering belajar bersama, saling membantu memahami materi yang sulit. Rina, dengan kebaikan hatinya, selalu siap memberikan bantuan ketika Iza kesulitan dengan tugas atau butuh teman untuk berdiskusi. Iza merasa beruntung memiliki teman-teman seperti mereka, yang tidak hanya menjadi rekan belajar tetapi juga sahabat yang selalu ada di sisinya.
Satu sore, setelah kelas yang melelahkan, Iza dan teman-temannya memutuskan untuk bersantai di taman kampus. Taman itu menjadi tempat favorit mereka, terutama saat cuaca cerah seperti hari itu. Mereka duduk di bawah pohon besar, menikmati angin sepoi-sepoi yang membawa kesejukan di tengah hari yang panas.
"Enak ya, bisa santai kayak gini setelah seharian otak kita diperas sama dosen," kata Bima sambil meregangkan tubuhnya.
Rina tertawa kecil. "Iya, setuju. Tapi aku suka kelas hari ini, diskusinya menarik. Menantang cara berpikir kita."
Iza mengangguk setuju. Diskusi hari itu memang cukup mendalam, membahas tentang etika dan moral dalam kehidupan sosial. Iza ingat bagaimana dosen mereka memancing para mahasiswa untuk berpikir kritis, mempertanyakan nilai-nilai yang selama ini mereka pegang. Meski awalnya sulit, Iza merasa puas bisa terlibat dalam diskusi itu.
"Za, tadi aku lihat kamu semangat banget waktu diskusi. Kamu benar-benar suka topik-topik kayak gitu ya?" tanya Rina, menatap Iza dengan penasaran.
Iza tersenyum. "Iya, aku suka memikirkan hal-hal yang lebih dalam. Abah dulu sering ngajak aku ngobrol tentang hal-hal kayak gitu. Jadi aku terbiasa memikirkan apa yang ada di balik setiap kejadian."
Rina tersenyum mendengar jawaban Iza. "Kamu beruntung punya Abah yang mendidikmu dengan baik. Itu membuatmu jadi pribadi yang kuat dan bijak."
Iza merasa tersentuh dengan kata-kata Rina. Ia memang selalu merasa bahwa ajaran-ajaran Abah adalah harta berharga yang ia bawa ke mana pun ia pergi. Meskipun kini ia jauh dari rumah, nilai-nilai yang diajarkan Abah tetap menjadi pedoman hidupnya.
Obrolan santai mereka terus berlanjut, membahas berbagai hal dari tugas kuliah hingga rencana akhir pekan. Rina bercerita tentang keluarganya yang tinggal di kota ini, sementara Bima berbagi tentang hobinya bermain musik di waktu luang. Iza, meskipun lebih sering menjadi pendengar, merasa senang bisa belajar banyak hal dari teman-temannya.
Menjelang sore, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kampus. Kampus yang luas dan penuh dengan pepohonan itu selalu menawarkan pemandangan yang menenangkan, terutama di sore hari saat matahari mulai terbenam. Mereka melewati gedung-gedung fakultas yang sudah mulai sepi, menuju ke danau kecil yang terletak di bagian belakang kampus.
Danau itu adalah salah satu tempat favorit Iza. Di sini, ia bisa duduk dan merenung, menikmati keindahan alam di tengah keramaian kota. Mereka bertiga duduk di pinggir danau, menyaksikan matahari yang perlahan tenggelam di balik pepohonan. Cahaya oranye keemasan memantul di permukaan air, menciptakan pemandangan yang indah dan damai.
"Kadang aku merasa, kampus ini seperti dunia kecil yang penuh dengan kejutan," kata Iza pelan, matanya masih tertuju pada danau.
Bima mengangguk. "Iya, benar. Setiap hari selalu ada hal baru yang kita pelajari, orang baru yang kita temui."
Rina menambahkan, "Dan kita beruntung bisa mengalaminya bersama. Aku bersyukur bisa kenal kalian, Za, Bim. Kalian membuat hari-hari di kampus ini jadi lebih bermakna."
Mereka bertiga terdiam sejenak, meresapi momen kebersamaan itu. Iza merasa bahwa di tengah kesibukan dan tantangan yang mereka hadapi, ada sesuatu yang sangat berharga dalam persahabatan ini. Teman-teman seperti Bima dan Rina membuat perjalanan kuliah menjadi lebih ringan dan menyenangkan.
Setelah matahari sepenuhnya tenggelam, mereka memutuskan untuk kembali ke kos masing-masing. Jalanan kampus sudah mulai sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang masih berlalu lalang. Iza berjalan pelan, menikmati keheningan malam yang menyelimuti kampus.
Saat sampai di kos, Iza langsung menuju kamarnya dan menyalakan lampu meja belajar. Ia membuka buku catatannya, menuliskan beberapa hal yang ia pikirkan sepanjang hari itu. Iza selalu merasa menulis adalah cara yang baik untuk merangkum dan memahami apa yang telah ia alami.
Sebelum tidur, Iza menatap foto Abah yang tergantung di dinding. Ia merasa tenang, seolah Abah ada di sana, menemani setiap langkahnya. Dengan senyuman kecil di wajahnya, Iza memejamkan mata, bersiap untuk menghadapi hari esok dengan semangat yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anak Abah
Teen FictionIza adalah seorang pemuda yang tumbuh dalam didikan Abahnya, seorang pria yang memiliki prinsip kuat dan pemahaman mendalam tentang dunia. Abah mengajarkan Iza untuk selalu berpikir kritis dan tidak takut untuk mempertanyakan segala sesuatu yang tam...