1

336 58 1
                                    

Aku duduk di kursi, menatap dokter yang sedang mengamati komputernya. Beberapa desahan kudengar darinya yang membuat aku mempertanyakan apa yang membuat desahan-desahan itu keluar. Mungkinkah karena aku tidak menjaga kesehatan dengan baik yang membuat metabolisme tubuhku terganggu? Karena memang akhir-akhir ini aku merasa ada yang salah denganku. Terutama perutku yang suka sekali bergejolak tidak menyenangkan.

Mimisan menjadi salah satu hal lain yang membuat aku datang menemui dokternya.

Saat dokter menatapku, dia memberikan aku senyuman. Dokter pria yang tidak memiliki rambut di bagian depan itu tampak menyentuh gagang kacamata yang dia kenakan dan segera berdeham menarik perhatianku pada bola mata tuanya.

"Hari ini komputer kami terganggu dan mengalami sedikit masalah. Maaf, membuat anda menunggu lama."

"Tidak masalah, Dokter. Apa ada yang salah dengan saya? Dokter tampaknya tidak terlalu senang melihat hasilnya."

"Baiklah, Nyonya Jenkins. Apa anda memiliki keluarga yang bisa dihubungi?"

"Hah?"

"Apa yang akan saya sampaikan lebih baik didengar juga oleh keluarga anda. Itu akan membuat anda tidak merasa sendiri."

"Apa seserius itu, Dokter?"

Dokter mendesah. "Saya tidak akan berbohong pada anda. Ini memang serius."

Memikirkannya, aku baru menyadari kalau aku memang tidak memiliki keluarga sama sekali. Aku memiliki ibu kandung, yang sudah menikah lagi dengan suami baru. Pernikahannya sudah tidak dapat dihitung dengan jari banyaknya. Jika ada yang tidak memuaskannya, dia akan segera melayangkan gugatan cerai. Wanita itu lebih sibuk memikirkan pakaian apa yang akan dia kenakan besok dibandingkan harus memikirkan putrinya bernasib seperti apa.

Ibu mertua, ah, jangan harapkan dia. Mungkin saat ini dia sedang sibuk dengan teman-teman arisannya yang sama-sama cerewet seperti dirinya. Selalu memerintah ini dan itu, tapi tidak pernah menunjukkan kasih sayang sama sekali. Segala apa yang aku lakukan, selalu salah di matanya. Tapi jika tidak aku lakukan, itu juga salah. Intinya, jika aku sampai meninggal, dia mungkin orang pertama yang akan tertawa dengan lantang. Tentu tanah kuburanku belum kering dia akan langsung memnyuruh putranya menikahi perempuan pilihannya. Perempuan yang selalu mondar-mandir di rumah kami tanpa ada yang bisa melarangnya.

Suami, bajingan itu ... aku bahkan tidak mau memikirkannya. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Bisa dikatakan pekerjaannya adalah hidupnya. Dari pada memiliki istri di rumah, dia lebih suka memiliki pekerjaan.

Menikahiku saja memang atas permintaan kakeknya yang sedang sakit jantung. Dia tidak mau menolak karena itu membahayakan hidup kakeknya. Makanya kami menikah dan tanpa cinta di dalamnya. Tentu saja, aku menikahinya juga karena menginginkan sesuatu pada si kakek tua. Uang, untuk hutang karena perkara ibuku yang memukul suaminya tanpa ampun. Kami harus membayar mahal dan itu membutuhkan banyak sekali hutang. Aku yang tidak mau memiliki hutang setuju menikah dengan Archie.

Tapi ketulusanku pada rumah tanggaku, tidak kuizinkan siapa pun meragukannya. Aku berusaha membuat rumah tangga itu berhasil. Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku tidak sama dengan ibuku. Aku tidak akan berganti pria. Aku hanya akan menikahi satu pria seumur hidupku.

Dan tampaknya semesta mendengarkan doaku. Sampai aku mati, hanya akan ada Archie sebagai suamiku.

"Nyonya Jenkins?"

Aku menatap dokter itu. Mendesah. "Tidak ada satu keluarga pun."

"Anda yakin? Suami anda ...."

"Dia sibuk dengan selingkuhannya. Jika dia tahu aku akan mati sebentar lagi, dia akan dengan senang hati memilihkan makam yang murah untukku."

"Nyonya ...."

Aku coba tersenyum. Meski dengan kuluman pahir di lidah. "Katakan saja, Dokter. Apa penyakitku, aku akan mendengarnya sendiri. Aku akan menanggungnya. Aku yakin bisa."

Dokter mendesah. Dia menyerahkan kertas padaku.

Mengambil benda itu, aku membacanya. Banyak catatan medis yang tidak kumengerti. Di sana ada gambar hasil ronsen yang aku sendiri tidak paham.

"Anda mengalami kanker lambung. Stadium akhir."

Wajahku memucat, bibirku bergetar. Dan hatiku mencelos kehilangan dekat jantungku. Sesaat aku tidak dapat bernapas. Sesaat aku merasa tubuhku melayang padahal aku yakin, hanya duduk diam di kursi itu. Tapi seolah nyawaku direbut dari ragaku.

"Nyonya, saya harap anda akan tabah."

Aku memandang dokter itu seksama. "Kau yakin, Dokter? Kau yakin aku akan mati?"

"Kami akan mengusahakan yang terbaik. Tapi melakukan operasi sama sekali bukan jawabannya. Akan kubuatkan resep obat yang bisa menghilangkan rasa sakitnya."

Aku tersenyum. Tertawa dan bahkan tergelak. Sepertinya dosa di masalalu belum selesai kutebus sampai aku berada pada penderitaan yang lebih gila. Kanker lambung? Apa segalanya benar-benar terjadi?

Sebelum dokter mengatakan lebih banyak, aku keluar dari ruangannya. Dia memberikan obatnya padaku dan aku hanya mengangguk. Aku tidak mengatakan apa pun pada dokter tersebut, hanya memberikan anggukan padanya dan segera bergerak pergi.

Waktuku hanya tiga bulan. Itu yang kudengar.

"Saya salut pada anda yang masih bisa bertahan berdiri dan tampak kuat. Pastinya tubuh anda membuat anda tidak merasakan banyak rasa sakit. Tapi saya harap anda tetap meminum obat itu. Karena sewaktu-waktu rasa sakitnya bisa membuat anda ingin mati saja."

Itu pesan terakhir dan aku menutup pikiranku sendiri pada kehadiran dokter itu yang memberikan lebih banyak hal buruk pada mentalku. Aku berjalan di lorong dengan langkah gontai. Membawa kertas yang kugenggam erat.

Beberapa kali mataku berpapasan dengan beberapa pasien yang tampak begitu buruk dalam kondisi mereka. Ada yang sedang meminum obat dengan wajah pucat. Ada yang terkulai lemah di atas kursi roda tidak sanggup menopang beban tubuhnya sendiri. Dan beberapa sedang menatap ke langit cerah di luar sana.

Aku menjadi salah satu yang sedang menatap langit cerah tersebut. Mendesahkan diri pada kenyataan pahit ini. Yang menjadi pertanyaan paling ingin aku tahu jawabannya adalah, apakah mereka akan menangisi kepergianku? Apakah ada yang menangis di makamku? Akankah mereka menyesali kepergianku?

Pertanyaan itu mendatangkan jawabannya sendiri saat bayangan mereka yang kutinggalkan memiliki senyuman paling lebar di dunia. Kini aku benar-benar merasa sendirian. Seolah seluruh dunia menelantarkan aku dan tidak memandang padaku. Perasaan kerdil dan penuh dengan penyalahan diri ini membuat aku benar-benar ingin mengakhiri segalanya.

Aku selalu mengedepankan orang lain dibandingkan diriku sendiri. Aku selalu mengabaikan kemauanku dan keinginan orang lain yang utama. Penyebab dari penyakit ini adalah diriku sendiri. Kalau saja aku menyayangi diri lebih dari menyayangi siapa pun, maka aku tidak akan mungkin menderita seperti ini. Aku menderita dari awal sampai akhir. Menyedihkan sekali.

Beberapa saat setelahnya, aku meninggalkan rumah sakit. Membawa langkah gontai ke arah taksi yang ada di parkiran. Aku membuka pintu dan hendak masuk saat suara dering ponselku mengganggu. Tadinya mau kujawab nanti saja tapi saat aku menemukan nama ibu mertuaku di sana, aku tidak lagi berminat menunggu.



Istri Presiden - TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang