Aku berjalan menatap jalanan di mana Brad memutuskan mengantarku pulang. Aku sudah katakan padanya kalau aku bisa kembali sendiri tapi Brad keras kepala. Jadi aku mengiyakannya dengan berat hati meski aku masih merasa bersalah karena Brad luka-luka. Dokter sudah memeriksanya dan melihat lukanya yang tidak dalam. Aku coba membayar pengobatannya tapi Brad melakukannya sendiri. Itu membuat aku semakin tidak nyaman.
Tapi Brad mengerti, saat ini aku memiliki terlalu banyak pikiran yang membuat aku bahkan tidak dapat fokus pada sesuatu.
"Alamat ini apakah rumah pribadimu?" tanya Brad memastikan.
"Tidak. Rumah suamiku."
"Kau akan mengatakan padanya?"
Aku diam sejenak dan memikirannya. "Aku tidak tahu. Setelah apa yang aku akui padanya, mana mungkin aku tiba-tiba berdiri di depannya dan mengatakan hamil anaknya. Soal kanker juga salah jadi tidak dapat membuktikan."
"Bagaimana kalau mengundang dokternya langsung?"
"Archie bukan tipe yang mudah percaya. Dia akan melakukan segalanya untuk mengusik kecurigaan di setiap sisinya. Jadi lebih baik tidak mengatakannya."
"Lalu perceraiannya?"
"Mungkin itu yang terbaik. Mengingat kalau aku mempertahankan kandunganku, akan ada kematian di depanku. Lebih bagus begini. Dan soal tanah makamnya, aku tetap memesannya."
"Azalea ...."
"Aku tahu. Aku mengerti. Akan kupikirkan bagaimana ke depannya. Setidaknya aku tidak akan menyerah di awal. Aku harus berjuang, mengetes sampai di mana batas mampuku baru aku menyerah. Jika aku menyerah tanpa perjuangan, rasanya begitu salah. Aku tahu anakku juga ingin aku berjuang untuknya."
"Kalau begitu aku hanya bisa mendukungmu."
Mobil Brad kemudian berhenti di depan pintu gerbang rumah yang terbuka. Aku membuka sabuk pengaman, menatap Brad dengan senyuman lega. "Terima kasih sudah menemaniku melewatinya."
"Aku hanya pernah mengalami hal yang sama. Ibuku, meninggal dalam kesalahpahaman dengan ayahku. Kuharap akhir kalian tidak seperti orangtuaku."
"Soal lukamu ...."
"Jangan membahasnya. Ini tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa sakitmu sendiri. Oh, dokter memesan untukmu meminum pil ini jika kau tidak tahan pada rasa sakitnya. Dia mengatakan kalau pil ini bisa menghentikan darah yang sederas apa pun mengucur dari tubuhmu. Hanya konsekuensinya, kandunganmu akan bermasalah."
"Kalau begitu aku tidak membutuhkannya." Aku mendorong botol berwarna putih tanpa tulisan di badan botol itu.
"Pegang saja. Jaga-jaga." Mata Brad membujuk.
Aku mengambik botol pil itu dan mengangguk kemudian. "Sampai jumpa minggu depan."
"Aku menunggumu di tempat biasa. Aku akan mengajakmu melihat makamnya."
Anggukan kuberikan dan segera aku melangkah keluar. Aku berdiri di sisi mobil Brad dan memberikan lambaian tangan. Kemudian setelah mobil itu benar-benar pergi, aku mendongak menatap langit biru di atas sana dengan perasaan yang benar-benar tidak nyaman. Sepertinya perasaan tidak nyaman yang selama ini aku abaikan berasal dari janin yang sedang aku kandung.
Aku berbalik dan melangkah memasuki gerbang yang terbuka, melewati jalanan kecil di mana aku akan tiba di bagian depan rumah, aku tetap melangkah dalam redup langkah dan perasaanku. Aku meremas-remas tanganku memaksa langkahku terus bergerak.
Tiba di dekat pohon, aku berhenti. Menatap ke depan, aku menemukan pemandangan yang tidak akan pernah senang untuk kutemukan. Wajah pucatku menjadi semakin pias saat ini. Degup sakit jantungku mewarnai kengerian pada penyakit yang aku alami. Archie ada di sana, berdiri dengan tegak dan menatap padaku. Dia menemukanku. Tapi saat ini aku tidak bahagia melihatnya. Seorang perempuan memeluknya dengan erat. Melingkarkan lengan di tubuhnya dan perempuan itu menempel begitu erat padanya.
Aku mengenal perempuan itu, dia Ashlee. Perempuan yang selalu menjadi kebangaan Tammi dalam segala hal. Karena Ashlee memang memenuhi aspek sebagai perempuan idaman yang bisa dijadikan istri dan menantu. Aku tidak ada apa-apa dibandingkan dengannya. Apalagi melihat dia sekarang bersanding dengan suamiku.
Archie meraih tubuh Ashlee dan memeluk balas padanya. Tapi mata itu tidak lepas dari memandangku. Seolah pusat bumi berada di dalam diriku yang membuat dia mau tidak mau harus menatap ke arahku padahal dia tidak menginginkannya.
Menunggu sampai mereka selesai berpelukan, aku diam mematung. Sepertinya Ashlee sudah hendak melepaskan sejak tadi tapi Archie tetap memeluknya dengan sangat erat. Seolah kedua tangan itu tidak ingin melepaskannya selamanya. Seolah kalau dia melepaskannya, pelukan itu akan menjadi pelukan terakhir mereka. Itu membuat aku menunduk dan hanya menatap kedua kakiku sendiri. Wajah getir seharusnya jelas tergambar di dalam diriku.
Suara terengah kudengar kemudian, aku mengangkat pandangan dan menemukan Ashlee yang sudah mengap-mengap seolah kehilangan napasnya. Tampaknya Archie hendak membunuhnya dengan pelukan itu.
"Archie, kau—" Ashlee diam tidak melanjutkan suaranya. Dia melihat mata Archie yang terpasak ke belakangnya. Itu membuat Ashlee segera berbalik dan menatap ke arahku. Sepertinya mulai mengerti atas sikap Archie beberapa saat tadi.
Yang mengalihkan mataku kemudian adalah Ashlee yang meraih lengan Archie dan memeluknya. Archie menatap apa yang dia lakukan tapi tidak mengatakan apa-apa. Pandangannya kembali tertuju ke arahku, menunggu aku mendekat untuk tahu apa yang aku inginkan dengan berani kembali mendatanginya setelah semua perkara yang aku lakukan.
Aku berjalan ke arah mereka, berdiri di depan mereka dengan dua anak tangga yang menjadi pembatas kami. Tanpa anak tangga, tinggu Archie sudah cukup membuat aku mendongak. Dengan dua anak tangga yang mendukung pijakannya, aku memandangnya menyakiti leherku sendiri.
"Aku ingin menyelesaikan segalanya dengan benar. Itu yang membuat aku datang."
"Menyelesaikan? Bukankah segalanya sudah selesai? Kau harusnya kembali ke selingkuhanmu itu dan menikmati kebersamaan kalian. Oh, mungkinkah kau sedang coba mendapatkan setengah dari harta Archie? Itu yang kau maksud dengan menyelesaikan dengan benar?" Wajah meremehkan Ashlee tidak berubah. Cara dia bersikap padaku juga sama. Bedanya, dia melakukannya di depan Archie. Dulu dia tidak akan berani.
Aku hanya mengangkat sudut bibirku.
"Archie, dia meremehkanku!" seru Ashlee dengan telunjuk mengarah padaku.
"Kau pantas."
Aku menatap Archie yang mengatakannya tanpa perasaan. Dia kemudian menatapku yang membuat pandangan kami bertemu. Aku memandang dia seksama, memberikan lebih banyak keleluasaan pada diri ini menjadikan dia objek hidup untuk hatiku.
"Masuk ...."
Aku memasak kaki di tanah. Apa yang akan dia lakukan jika aku masuk? Bukankah lebih bagus menyelesaikannya di sini saja?
Archie yang menunggu aku bergerak segera saja mendekat. Dia turun satu anak tangga dan itu masih tidak bisa membuat kami sejajar, Archie sedikit menundukkan tubuhnya ke arahku. "Jika kau tidak mau masuk maka kau tidak akan pernah bebas dariku. Akan kubuat kau dan pria itu tidak bisa bersama. Karena aku akan tetap menjadi suamimu dan aku bisa menuntut pria itu atas perselingkuhan. Hukumannya paling lama tujuh tahun penjara. Tertarik?"
***
Ready Ebook di playstore
Tamat di karyakarsa
Bisa beli pdf di akuSampai jumpa mingdep 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Presiden - TAMAT
RomanceAzalea Edward harus menerima kenyataan pahit saat dokter menyerahkannya surat keterangan kesehatannya yang menyatakan kalau dia mengalami kanker lambung. Setelah hidup dalam penderitaan bersama mertua kejam, takdir malah memberikannya pil pahit lain...