2

249 58 2
                                    

"Halo?"

"Lea! Apa yang kau lakukan di luar sana? Datang sekarang dan masak untukku dan teman-temanku. Cepat!"

Mendengarnya membuat aku dilanda pusing. Tanpa menjawabnya, aku segera mematikan sambungan dan mematikan ponselku. Aku kemudian masuk ke taksi dan menyebut alamat rumahku. Tapi kemudian aku menatap tanganku sendiri yang sudah agak kasar. Itu membuat aku mulai memikirkan sesuatu yang harusnya aku lakukan di akhir hidupku.

"Pak, ubah alamatnya. Ke pusat pebelanjaan paling besar di kota ini."

Sopir yang mendengar menjawab dengan deheman. Mobil berbalik dan mengubah arah tujuan.

Aku duduk dengan tenang menatap ke arah langit di luar sana. Membawa tasku ke pangkuan di mana obat dan kertas soal penyakitku ada di sana. Aku tidak akan meminum obatnya, aku bisa melewati seluruh rasa sakitnya. Aku takut kalau obatnya hanya akan membuat aku tidak dapat mati dengan cepat. Jadi tidak meminumnya adalah hal yang lebih baik dilakukan.

Mobil berhenti. Aku segera keluar dari taksi dan melangkah ke pusat pebelanjaan. Aku masuk ke toko pakaian, melihat beberapa pakaian yang bisa kukenakan. Aku memilih dari satu ke dua dengan tatapan pramuniaga yang agak meragukan aku. Mungkin karena memang penampilanku yang hanya mengenakan blouse tipis dengan rok panjang lusuh. Aku bahkan akan meragukan diriku, apalagi orang lain. Itu membuat aku tersenyum.

Aku menyerahkan kartuku pada pelayan itu, dia tampak tertegun sejenak melihat kartu emas yang aku berikan. Warnanya benar-benar sebening emas. Dan itulah yang membuat aku tidak terlalu merasa dihina oleh Archie. Dia tidak segan memberikan uang atau barang padaku. Dia bahkan menyerahkan kartu dengan limit tidak terbatas padaku. Membuat aku harusnya hidup dalam kemewahan.

Tapi sebagai istri yang baik yang tentu setengahnya goblok, aku tentu saja memilih tidak pernah memakai uang suamiku. Agar dia tahu kalau aku menikahinya bukan karena uang. Pikiran tolol itu membuat aku hanya memiliki beberapa helai pakaian lusuh yang menyedihkan.

Sekarang aku sudah tidak akan memikirkan apa pun dan siapa pun lagi. Aku hanya akan memikirkan diriku dan kebahagiaanku di akhir hidupku ini. Mati tanpa penyesalan adalah sebuah berkah. Dan aku tidak mau menyesali apa pun.

"Anda mau gaun yang mana, Nyonya?" tanya pramuniaga dengan keramahan luar biasa.

Aku menunjuk dengan jariku. "Semuanya."

"Hah?" rahang pramuniaga itu hampir jatuh ke lantai.

"Oh, dan semua sepatu itu. Bungkus."

Pramuniaga berbinar matanya. Dia segera mengangguk dan mulai mengambil semua barangnya. Aku mencoba beberapa pakaian dengan wanita itu yang memberikan nilai padaku.

"Tubuh anda sangat bagus. Semua pakaian sangat cocok dengan anda."

Aku menyentuh tali gaunku. "Aku tidak menyangka memiliki tubuh kurus rupanya ada gunanya. Semua gaunnya muat padaku."

"Anda benar-benar tidak cocok dengan apa yang anda kenakan sebelumnya, Nyonya. Saya minta maaf, saya bahkan meragukan anda."

"Tidak masalah. Pantas diragukan."

Wanita itu berdehem masih dengan agak salah tingkah. Aku mengambil gaun dengan warna merah menyala. Gaun itu hanya ada satu tali bahunya. Jadi itu menunjukkan leher jenjang yangbegitu putih. Kulitku memang pucat. Satu cubitan akan meninggalkan bekas yang kentara. Untung akhir-akhir ini ibu mertuaku tidak pernah mencubitku. Itu membuat tidak ada bekas di sana.

Setelah aku memborong semuanya, aku melakukan tanda tangan pada kartuku dan segera pergi dengan meminta wanita itu mengantar ke alamat yang aku tuliskan.

"Baik, Nyonya. Sampai jumpa lagi, Nyonya. Semoga hari anda menyenangkan."

Akan menyenangkan. Aku pastikan itu.

Aku masuk ke salon, meminta orang salon mempercantik rambut lusuhku. Kemudian juga memperbaiki wajahku dengan dandanan sederhana di mana aku memang tidak perlu melakukan banyak. Segalanya sudah tampak bagus. Suamiku saja yang memang bodoh tidak pernah peduli dan mau tahu. Selama dia sudah memberikan uang, dia berpikir itu cukup.

Setelah aku memperbaiki rambut dan wajah. Aku masuk ke toko perhiasan. Membeli beberapa kalung, cincin dan gelang. Oh, bukan beberapa. Aku hampir memborong semua barang di toko itu.

Segalanya selesai dan saat aku keluar dari toko, malam sudah menjelang. Itu membuat aku mendesah dengan penampilan baru. Aku melihat jam tangan mewah yang melingkar di pergelangan tanganku. Sudah benar-benar malam sekali. Aku melangkahkan kaki ke arah trotoar jalan saat seseorang dengan motornya mendekat. Dia menatapku dengan siulan yang membuat aku menatapnya agak jengah.

"Rick?"

"Butuh tumpangan gadis cantik?"

Aku mendengus ke arahnya. "Aku kakak sepupumu."

Rick menipiskan bibir. "Aku tidak tahu kalau istri Archie akan begitu menawan. Oh, salahkan aku yang tidak dapat melihat berlian di dalamnya. Tapi aku sungguh-sungguh. Aku akan membawamu pulang, tidak ke mana-mana. Kau harusnya percaya padaku."

Aku melirik dan menatap motor itu dengan ngeri. Motor adalah alat transportasi paling berbahaya di dunia. Seumur hidupku, aku tidak pernah memakai motor. Dan sekarang pria yang beda usia dua tahun denganku itu menawarkan aku memakainya? Oh, dia bercanda.

"Takut? Apa kematian semenakutkan itu?"

Mendengarnya membuat aku terdiam. Kenyataan kalau aku akan mati sebentar lagi membuat adrenalin di dalam diriku bangkit tanpa sisa. Benar yang dia katakan, kenapa aku harus takut saat aku sendiri tahu akan mati bahkan tanpa aku mengendarai motor. Bukankah akan lebih baik kalau aku mengendarainya dan membawa pengalaman baru untuk hidupku. Mungkin aku tidak akan menyesal mati setelahnya.

Mendekat, Rick menatap aku tidak yakin.

"Kau sungguh-sungguh?" ada kegelian pada tawanya. Seolah dia meragukan keputusan yang akan kulakukan.

Aku memegang bahunya, hendak naik saat tangannya terulur dan benar-benar membawa aku naik di belakangnya. Dia melirikku dari balik bahunya.

"Kau benar-benar sudah gila, Azalea."

Aku mendengus. "Jalan saja."

"Peluk kalau begitu, aku tidak mau kakak sepupuku jatuh menyedihkan."

"Archie akan membunuhmu kalau dia tahu."

"Oh, aku siap mati denganmu."

Aku akhirnya melakukannya, memeluknya dengan erat. Melingkarkan tangan di atas perutnya yang membuat aku merasakan ketertegunannya. Tapi tidak lama. Dia sudah mengenakan helmnya dan menyalakan mesin motor yang segera meraung dengan keras.

"Aku tidak membawa helm untukmu. Lain kali mungkin."

"Jalan saja!" seruku dengan anda keras.

Dia kemudian menjalankan motor itu yang benar-benar meraung seperti auman harimau. Aku hanya tersenyum dengan lebar merasakan adrenalin kuat mengalir di seluruh tubuhku. Aku berteriak sepanjang jalan, merasakan kebebasan dan angin malam yang membelaiku. Gaun yang aku kenakan berkibar seolah mengibarkan kebebasanku. Aku akan mati dan itu tidak masalah. Selama aku bisa menikmati akhir hidupku dengan lebih menyenangkan.

Tidak apa-apa, sungguh tidak apa-apa. Aku mendekap Rick dengan lebih kuat, menangis di punggungnya yang kupastikan dia tidak mendengarnya. Aku hanya ingin melampiaskan rasa frustasiku.

Istri Presiden - TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang