Chapter 03

107 23 3
                                    

Sheilla menghembuskan napas panjang setelah selesai meletakkan barang-barang terakhirnya. Rumah Arsen, yang kini menjadi rumahnya, terasa begitu besar dan asing. Ia duduk di sofa besar di ruang tengah, matanya menyapu seluruh ruangan yang masih terasa benar-benar asing baginya. Arsen, yang sudah tidak lagi serapi saat mereka berangkat dari rumah ayah dan bundanya tadi, ikut duduk di sebelahnya.

Ya, hari ini Sheilla pindah ke tempat tinggal baru, rumah Arsen. Meninggalkan rumah masa kecilnya, menyisakan ayah dan ibunya yang kini hanya tinggal berdua, dan itu membuatnya sangat emosional tadi pagi, begitu pula dengan ayah dan bunda. Tapi mau bagaimana lagi, Sheilla juga tidak diizinkan untuk tinggal disana. Ia tahu, bahwa ini adalah langkah besar dalam hidupnya, ia harus mengikuti suaminya, seperti yang selalu diucapkan bundanya, "Perempuan harus mengikuti suaminya."

Terlebih lagi rumah Arsen ternyata lebih dekat dengan kantornya, jadi Sheilla tidak perlu menghabiskan waktu setengah sampai satu jam sendiri untuk ke kantor.

"Rumah segede ini lo tinggalin sendirian? Lo nggak punya 'mbak' buat bantu-bantu?" tanya Sheilla.

Arsen menggeleng, "Dulu punya, tapi katanya sering digangguin sama yang jaga rumah ini. Akhirnya, dia keluar deh," jawabnya dengan nada datar, seolah-olah itu hal biasa.

Mata Sheilla membelalak. Dengan cepat, ia mendekat dan mencubit lengan Arsen, membuat lelaki itu meringis. "Ih! Lo nggak usah nakut-nakutin deh!" Sheilla berusaha menutupi kegelisahan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Bagaimana tidak? Rumah sebesar ini, dengan banyak sudut yang kosong, pasti menimbulkan pikiran aneh-aneh.

Arsen berusaha menahan tawa, tapi wajah galak Sheilla justru membuatnya ingin tertawa lebih keras. Gadis yang biasanya tegas ini ternyata penakut juga.

"Arsen! Beneran nggak sih? Kalau iya, gue balik lagi ke rumah ayah nih!" ancam Sheilla dengan nada serius, tapi Arsen tahu bahwa itu hanya gertakan.

Arsen tidak bisa menahan tawanya lagi. "Engga. Gue cuma nggak nyaman aja kalo di rumah cuma berdua sama perempuan, apalagi nggak ada Mama." Ucap Arsen menggoda.

Sheilla mengangguk, mencoba memahami. Jawaban itu masuk akal, dan sedikit meredakan kegelisahan di hatinya.

"Lo istirahat aja. Nanti barang-barangnya biar gue yang ngurusin," ucap Arsen sambil mengibaskan rambut dari wajahnya.

"Emang lo tau barang-barang itu harus ditata di mana? Orang ini cuma tinggal nata di kamar," balas Sheilla dengan nada sinis, masih sedikit kesal.

"Yaudah, lo tata dulu barang-barang di kamar. Kamar gue—eh, maksudnya kamar kita—di atas. Sekalian aja ditata buat malam pertama nanti," ucap Arsen sambil menyeringai, membuat Sheilla langsung merasakan darahnya naik ke wajah.

"Gilaaa lo! Dasar mesum!" Sheilla cepat-cepat bangkit, membawa barang-barangnya ke lantai atas sebelum Arsen melihat pipinya yang memerah.

Arsen hanya bisa tertawa puas melihat reaksi Sheilla. Rasanya seperti ada sesuatu yang berbeda di rumah ini sekarang. Sesuatu yang menyenangkan dan menghangatkan, rasanya seperti ada suasana baru dirumah yang terasa kosong ini.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

"Kamar lo berantakan banget, gila!" protes Sheilla sambil merebahkan dirinya di kasur besar setelah selesai membersihkan kamar. Pandangannya menyapu ruangan yang kini sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya.

Sebelumnya, kamar itu terlihat sangat berantakan. Pakaian berserakan di lantai, beberapa masih setengah digantung di kursi atau tepi tempat tidur. Jaket kulit, kemeja, dan celana jeans tampak bertumpuk di pojok ruangan, seolah-olah dilempar begitu saja tanpa pikir panjang. Di sudut lain, sebuah konsol PlayStation yang sudah berdebu terletak di atas meja kecil, dengan kabel-kabelnya kusut dan berserakan, menggabungkan diri dengan setumpuk majalah musik dan buku-buku yang tampaknya sudah lama tidak tersentuh.

When Time Calls for LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang