15. Penyesalan

646 93 29
                                    

Setelah bujuk rayu yang tiada hentinya dari Kartina dan juga Juwi, akhirnya Karen menuruti kedua wanita itu untuk tetap berada di klinik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah bujuk rayu yang tiada hentinya dari Kartina dan juga Juwi, akhirnya Karen menuruti kedua wanita itu untuk tetap berada di klinik. Setidaknya, sampai keadaannya sudah baik-baik saja. Setelah sadar dari pingsannya, Karen tiba-tiba saja muntah dua kali, juga dengan suhu tubuhnya yang naik. Dokter meminta agar Karen di rawat, namun anak itu menolak dengan tegas.

Juwi dan Kartina lah yang bertugas untuk membujuk. Bahkan tak sekali dua kali juga Juwi mengeluarkan ancaman kepada anak itu. Karena tahu kondisi tubuhnya sedang tidak baik-baik saja saat ini, Karen tak ingin membantah lagi. Takut jika kondisinya semakin parah, justru akan membuat Kartina dan Juwi semakin kesusahan lagi.

"Mau makan sekarang?" Sebuah pertanyaan itu terlontar dari mulut Juwi. "Kamu belum makan apa-apa sejak muntah tadi. Pasti sekarang perutnya kosong, 'kan? Makan, ya, biar Mbak suapi. Mau?"

Karen mengangguk lemah. "Makasih, ya, Mbak."

Melihat Karen yang memiliki niatan untuk makan, Juwi tersenyum senang. Tentu saja. "Sama-sama. Jangan makasih terus. Kita sekarang sudah jadi keluarga, dan ini lah yang dilakuin sama anggota keluarga untuk merawat yang sakit. Kamu juga adik Mbak sekarang, Ren."

Masih setengah berbaring, Karen tersenyum mendengar kalimat yang lebih tua. Lalu menerima suapan demi suapan yang wanita itu beri. "Ibuk sama Mas Jaka mana, Mbak?" tanyanya.

"Lagi pulang dulu sebentar. Ibuk mungkin lagi mandi juga, terus nanti ke sini lagi."

"Mas Jaka ... masih marah, ya?" Pertanyaan ini membuat Karen ingin sekali memaki dirinya sendiri. Tentu saja Jaka pasti masih marah kepadanya. Kenapa masih bertanya?

Juwi diam sejenak, kemudian membalas. "Nggak. Dia udah nggak marah sama kamu. Tadi saja waktu kamu pingsan di samping dia, yang paling panik itu bukan aku atau Ibuk, tapi dia. Dia beneran se-panik itu lho, Ren. Sampai lari-lari ke klinik sambil gendong kamu. Ribut banget tadi, sampai banyak tetangga yang keluar dan ikutan panik juga waktu lihat kamu di gendong sama Jaka."

"Separah itu?"

"Iya, separah itu." Mengingat kembali kejadian siang tadi, Juwi terkadang merasa bersyukur memiliki orang-orang sekitar yang begitu peduli satu sama lain. Ucapannya tidak berlebihan, tetangga mereka memang benar-benar panik kala melihat Jaka menggendong Karen yang sudah tidak sadarkan diri. "Tadi bahkan sudah ada beberapa orang datang menjenguk kamu, waktu kamu masih belum sadar. Kamu ini, berhasil bikin orang satu kampung panik, asal kamu tau."

Si empu yang di marahi justru terkekeh. "Aku nggak kebayang, deh, gimana paniknya mereka. Ada Buk Sekar juga, nggak, Mbak?"

"Tentu ada. Buk Sekar yang paling panik tadi. Bahkan hampir aja ngambil alih kamu dari gendongan Jaka." Juwi tertawa di akhir kalimat. Tadi itu, adalah hal paling menegangkan yang pernah dia alami, tetapi juga lucu secara bersamaan.

Tawa Karen mengudara. Kali ini benar-benar terbahak sampai anak itu tersedak ludahnya sendiri. Juwi panik, buru-buru berdiri dan mengusap punggung yang lebih muda. "Hati-hati. Nanti kamu muntah lagi." ucapnya.

Karen Laka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang