Chap 14 💕 Pertama

9 0 0
                                    


Raka mengambil beberapa sampanye, lalu meninggalkan ruangan pesta. Dia sengaja meninggalkan ingar bingar pesta yang terdengar begitu berisik di telinganya.

Raka tidak menyalahkan pesta, atau juga Madam Chalsea yang mengundang teman-temannya untuk berpesta. Setiap orang berhak merayakan kegembiraan ataupun momen menyenangkan dalam hidupnya. Hanya saja lelaki itu kurang suka keramaian.

Seharusnya Raka tidak ada di sini. Ini bukan tempat nyaman untuknya, bukan dunianya. Namun keharusannya mengawal bosnya membuatnya, mau tidak mau, menuntutnya berada di sekitarnya setiap saat. Terlebih jika berada di keramaian.

Raka tidak bisa menolak. Itu sudah menjadi tugasnya. Lelaki itu tidak punya pilihan lain selain berdamai dengan keadaan. Saat seperti inilah yang dinantikannya. Saat bosnya, Tirtayasa, memberinya kelonggaran untuk sedikit menikmati udara segar tanpa harus terlibat dalam gemerlap pesta.

Raka menyecap sampanye dari salah satu gelas di tangannya. Dia kemudian menyusuri lorong-lorong panjang berkarpet merah. Sepi. Tak seorangpun terlihat karena semuanya terfokus pada ruang utama pesta. Sesekali dia berhenti untuk memandangi lukisan yang terpasang di sepanjang dinding lorong.

Di mata Raka, rumah Madam Chalsea hampir sebelas dua belas dengan galeri seni. Lukisan, patung, ukiran, dan masih banyak benda seni yang dipajang Madam Chalsea di setiap sudut rumahnya. Bagi Raka, Madam Chalsea adalah perempuan yang memiliki selera tinggi terutama terhadap barang-barang seni. Tidak salah kalau Tirtayasa menjadikan Madam Chalsea salah seorang klien utamanya.

Selama berbisnis dengan Madam Chalsea, Raka melihat perempuan itu tidak pernah bermasalah dengan uang. Bisa jadi uangnya tak berseri, hasil warisan dari suaminya yang masuk dalam daftar pengusaha paling kaya di negeri ini. Sering kali perempuan itu membeli barang-barang seni tanpa mempertimbangkan harga.

"Untuk setiap yang aku suka, aku ingin, akan jadi milikku," kalimat yang sering Raka dengar dari mulut perempuan itu saat tertarik pada sesuatu. Bahkan dia berani membayar dengan harga mahal untuk sesuatu yang diinginkannya. Inilah yang membuat Tirtayasa menduduknya Madam Chalsea sebagai pelanggan pertamanya.

Raka merapat ke salah satu balkon yang menghadap ke taman belakang rumah Madam Chalsea. Lelaki itu disambut angin malam yang berembus lembut menyapu kulitnya. Lelaki itu kemudian menarik napas panjang, memenuhi rongga paru-parunya dengan udara segar. Dia meneguk habis salah satu sampanyenya lalu meninggalkan gelas kosong itu di atas pembatas balkon.

Raka menuruni salah satu tangga dari dua tangga pada sisi kiri dan kanan balkon, yang menghubungkannya dengan taman belakang. Langit bersih dengan sinar bulan membuat suasana taman terlihat lebih terang dari hanya sekedar sinar dari lampu-lampu taman.

Tidak ada seorang pun di taman. Dalam kesunyian, dia kembali merasakan kehilangan ayahnya. Kesunyian selalu membawanya ke dalam kesedihan rasa paling dalam.

Hati Raka terasa sakit. Meski bukan ayah kandungnya, Raka sudah menganggap Arya seperti ayah sendiri. Pun demikian dengan perlakuan Arya terhadapnya, melebihi perlakuan ayah kandungnya kepadanya.

Raka ingat betul bagaimana pertemuan pertamanya dengan Arya. Malam itu hujan, Raka yang saat itu baru berusia lima tahun mengamen bersama kakaknya, Eza.

Sebuah mobil berhenti di perempatan saat lampu merah. Kedua anak itu mendekat. Eza memainkan alat musik yang dibuatnya dari tutup botol hingga mengeluarkan irama seadanya sambil bernyanyi, sedangkan Raka hanya bertepuk tangan sambil sesekali bernyanyi hanya pada bagian dia tahu liriknya.

Meski keduanya basah kuyup, lelaki di belakang kemudi mobil itu bergeming. Bahkan dia tidak melihat ke arah kakak adik itu seolah keduanya tak kasat mata.

(NOT) MY BACKUP PLANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang