Ron- Sahabat?

154 18 0
                                    


"Mau langsung pulang aja, Ca?" tanya Ronald, suaranya penuh perhatian.

Wajah Salisa tampak pucat. Saat performa tadi, beberapa kali dia salah nada—sesuatu yang hampir tak pernah terjadi sebelumnya, terutama saat kompetisi. Ini jelas bukan Salisa yang biasanya.

"Iya, Ron," jawab Salisa dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

"Nando sama Ruby kemana?" tanyanya, mencoba mengalihkan pikirannya dari kekacauan yang ia rasakan.

"Mereka pulang duluan. Ruby besok pagi ada flight," jawab Ronald singkat.

Salisa hanya mengangguk, tidak punya energi untuk berbicara lebih banyak.

"Pak Fer, aku pulang bareng Ronald ya," pamit Salisa pada Ferdy, manajernya.

"Iya, Dek. Hati-hati ya. Istirahat yang cukup! Besok sore kamu harus tampil lagi," pesan Ferdy.

"Iya, Pak. Habis ini aku langsung tidur di rumah," jawab Salisa, meskipun di dalam hatinya ia tidak yakin apakah bisa tidur malam ini.

Sementara itu, Ronald mendekati kakaknya, Bang Jo, yang juga asistennya. "Bang, lo pulang ke rumah mama malam ini?" tanyanya.

"Yoi, lo anterin Salisa dulu?" balas Bang Jo.

"Iya, nanti gue pulang ke apartemen aja," jawab Ronald, mantap.

Ronald lalu mengajak Salisa. "Yuk, Ca," katanya, membantu membawa barang-barang Salisa.

"Pak Fer, Bang Jo pamit duluan ya," kata Salisa, berusaha tetap sopan meski tubuhnya terasa lelah.

"Cepet sembuh, Sal," ucap Bang Jo

"Makasih Bang" Salisa

Mereka pun meninggalkan studio. Ronald sengaja meminta Bang Jo pulang dengan grab karena mobil yang dipakai Bang Jo akan dia gunakan untuk mengantar Salisa.

Namun, saat mereka hendak memasuki mobil, suara yang familiar dan tidak diinginkan terdengar. "Sa, aku butuh bicara sama kamu," Gama tiba-tiba muncul dan menjegal tangan Salisa, membuatnya terkejut.

"Lepas!" teriak Salisa dengan kemarahan yang tak bisa lagi ia tahan.

Salisa merasa semua emosi yang ia pendam malam itu akhirnya meledak. Dia sangat lelah, baik secara fisik maupun mental.

"Gue bilang lepas, Gama!" Salisa berteriak lagi, lebih keras, dengan tangis yang hampir pecah.

Namun Gama hanya mengeratkan genggamannya. "Nggak, aku nggak akan lepasin tangan kamu," katanya dengan nada memaksa.

Ronald, yang sudah menahan diri sejak awal, tak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. "Ga, dari tadi gue diem aja, bukan berarti gue nggak tau ya sifat busuk lo itu," ucapnya dengan nada tajam. Tanpa ragu, Ronald meraih tangan Salisa dan menariknya dari genggaman Gama.

"Sekali lagi lo ganggu Salisa, lo habis di tangan gue," Ronald menegaskan, suaranya penuh ancaman.

Tanpa membuang waktu, Ronald segera membawa Salisa masuk ke dalam mobil, menutup pintu dengan tegas. Mereka meninggalkan Gama yang hanya bisa berdiri terpaku di parkiran, menatap mobil yang perlahan menghilang dalam kegelapan malam. Di dalam mobil, keheningan sejenak menguasai mereka berdua.

"Ca, jangan dipikirin ya," Ronald mencoba memecah keheningan, suaranya lembut namun penuh perhatian. Dia bisa melihat air mata yang mulai mengalir di wajah Salisa.

Salisa menarik napas panjang, namun tetap tidak mampu menghentikan air matanya. "Ron, gue enggak salah kan kalau nggak mau dengerin penjelasan apapun lagi dari dia?" suaranya bergetar, mencerminkan rasa sakit yang masih begitu nyata.

The Idol's (Sal-Ron)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang