BAGIAN TIGA : PERMAINAN HATI

158 28 0
                                    

"Lo tau gak kalo minggu depan pemilihan Ketua OSIS udah mulai? Mungkin lusa visi misi calonnya udah di tempel di mading, udah mulai debat juga."

"Lo nyalonin gak, Mit?" tanya Keisha pada Mitha.

"Nyalon, tapi gue ambil posisi wakil. Jadi Laskar ketuanya, gue wakil."

Anami dan Keisha mengangguk paham.

"Sena juga nyalonin," tambah Mitha.

"Sena? Sena yang temennya pacar kamu itu kan?" tanya Anami.

"Iya, Anami. Sena yang itu, dia nyalonin jadi Ketua OSIS, wakilnya kalo gak salah Ulfa."

"Keren juga Sena, emang dia doang yang paling bener diantara mereka berempat." Keisha kembali menyuap siomay ke dalam mulutnya. "Guys, kayanya gue mau minta orang tua gue buat batalin perjodohan gue sama Hugo deh."

"Serius?!" Mitha tampak terkejut. "Kenapa lagi?"

"Hugo makin hari makin jauh rasanya, Mit. Gue juga gak yakin bisa bertahan kalo dia terus-terusan bikin jarak. Gue capek ngalah terus, gue capek ngeladenin emosinya yang gak karuan itu. Gue paham, dia masih stuck sama mantannya, cuma kenapa dia gak pernah menghargai gue sedikitpun gitu? Setiap dia kenapa-kenapa, gue yang cover ke orang tua nya biar dia gak kena masalah. Minimal diam aja deh, gue gak ngarepin dia bilang makasih. Tau-tau gue di maki-maki, dibilang gue sombong lah. Gue jujur, muak."

Anami jadi sedih mendengarnya, walaupun ia belum pernah berhubungan dengan lelaki manapun. Rasanya penyaluran rasa lelah Keisha menembus hatinya, membuatnya merasa sangat iba.

"Kamu gak papa kok, kalo mau berhenti, Kei," kata Anami. "Jangan dipaksa, kamu gak harus memenuhi ekspetasi orang-orang tentang kamu. Cukup penuhi cinta untuk diri kamu sendiri."

"Betul. Dari awal emang dia gak pernah nganggep lo ada, Kei. Gak papa kalo lo mau berhenti, kita dukung keputusan lo. Pilihan lo, hidup lo, semua ada di tangan lo."

Keisha tersenyum terharu. "Guys, thank you so much. I feel better, i love you guys."

"Seneng lo?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Seneng lo?"

Anami menengadahkan kepalanya, Sabrina sudah duduk di hadapannya dengan menghadap kearahnya.

"Maksud kamu?"

"Itu Javier kan?" tebak Sabrina. "Pasti Javier, gue sendiri yang ngasih nomor lo ke dia."

"Kenapa kamu kasih? Lagipula, kamu gak bisa nyebar nomor aku tanpa izin."

"Lo kira gue peduli?" Sabrina menunjuk ponsel Anami. "Blokir nomornya Javier."

"Kamu bisa berhenti ganggu aku gak?" kesal Anami sudah tak tahan lagi. "Kamu nuduh aku ini itu, padahal aku gak ngapa-ngapain. Kamu kasih nomor aku ke dia padahal kamu gak suka aku ada interaksi sama dia, kamu aneh tau gak?"

"Oh, sekarang lo bisa ngelawan?" Sabrina menaikkan alisnya. "Javier gak akan deketin lo kalo lo gak caper duluan."

"Caper apa sih? Aku kenal dia aja baru kemarin, caper darimana? Aku cuma ngobrol biasa, pikiran kamu tuh yang seenaknya!"

Anami bangun dari tempat duduknya. "Ayo kita ke Javier!"

"Apa maksud lo?" Sabrina panik. "Gak usah bawa-bawa Javier, ini urusan kita berdua."

"Inti masalahnya kan Javier, kenapa kita gak bisa bawa Javier ke dalam masalah ini? Ayo, aku gak mau terus-terusan kamu usik kaya gini."

Sabrina mengepalkan tangannya. "Lo cari masalah ya sama gue, Anami?"

"Bukan aku, tapi kamu. Dari kemarin aku diem aja loh, aku turutin mau kamu nyatanya kamu gak berubah. Kamu malah makin jadi," kata Anami.

"Kalo kamu gak mau nyamperin Javier, biar dia aku suruh kesini," sambut Anami memancing emosi Sabrina.

Sabrina langsung mengambil alih ponsel Anami begitu Anami tampak ingin menelepon Javier. Anami dengan sigap mengambil lagi ponselnya.

"Sampe lo berani suruh Javier kesini, lo makin abis sama gue, Nam," peringat Sabrina.

"Kalo gitu janji buat jangan usik aku lagi," suruh Anami.

"Ck!"

"Janji gak?"

"Iya! Puas lo?!"

Anami mengangguk. "Awas ya kalo kamu usik aku lagi."

Javier merasa aneh, pasalnya sudah 3 jam setelah ia mengirimkan pesan pada Anami tapi sampai sekarang pesannya belum juga mendapatkan balasan. Javier juga sempat hampir berpapasan dengan Anami saat ia akan ke lapangan untuk kelas olahraga, Anami sedang menuju toilet. Anami langsung memutar arah begitu melihat Javier dari jauh.

"Mikirin siapa coba?"

Perkataan Sena menyadarkan Javier dari lamunannya. "Gak mikirin siapa-siapa."

Sena mendecih. "Gak mikirin siapa-siapa tapi fokusnya entah kemana. Lo nyadar gak kalo Doni manggil lo dari tadi?"

Javier melirik Doni yang sedang melakukan pemanasan.

"Tadi dia tanya, lo mau ikut main gak. Gue jawab ngga, ngeliat fokus lo melayang kemana-mana gini."

"Sorry, Sen." Kata Javier. "Gue kayanya emang lagi gak fokus, sorry."

"Mikirin apa?" tanya Sena sambil memandang lurus ke depan.

"Gak ada, Sen."

"Jujur aja sama gue, kita temenan udah berapa lama si? Masih aja lo rahasia-rahasiaan sama gue," ujar Sena.

Javier diam sebentar. "Gue kepikiran cewe."

Sena langsung melotot. "Siapa?! Gila, cewe mana yang berhasil menaklukkan lo ini? Gue harus banyak terima kasih sih sama nih cewe."

"Anami."

Sena diam.

"Lo gak perlu takut gitu, gue gak tertarik buat macarin dia."

"Lo kepancing?" tanya Sena.

"Maksud lo?"

"Gue emang sengaja bilang kalo gue ngincer Anami, karena gelagat lo aneh sejak ada Anami."

"Gila. Lo berubah profesi jadi penulis? Gak usah ngarang cerita, Sen."

Sena tertawa. "Coba lo temenan dulu sama Anami."

"Buat apa?" Javier bertanya. "Dibilang, gue gak tertarik sama dia."

"Kan gue nyuruh temenan, bukan pacaran."

"Ck!"

TBC

GREEDYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang