Jisoo duduk di perpustakaan, tapi pikirannya melayang entah ke mana. Dari semalam, hatinya nggak tenang, pengen banget dia minta maaf ke Jeonghan karena kejadian waktu Mobile legends nya kehapus. Tapi gengsinya juga gede. Ah, tapi tiap kali lihat muka masam Jeonghan, hatinya jadi nggak enak. Tadi pagi aja, dia sampai berangkat sendiri karena Jeonghan memilih berangkat lebih dulu, padahal jadwal jeonghan dengan nya sama. Setelah berjam-jam bertarung dengan pikirannya sendiri, Jisoo akhirnya memutuskan untuk beranjak dari tempat duduk dan menuju gedung teknik, berharap bisa bicara sama Jeonghan.Saat dia bangkit dan mulai berjalan, tiba-tiba…
Bruk!
Jisoo meringis, punggungnya terasa sakit akibat ditabrak seseorang dari depan. “Gimana sih, Mas? Jalan pakai mata dong, masa badan gede gini di tabrak aja,” ucapnya kesal.
“Maaf, Mbak... Loh, Jisoo? Maaf banget, gue lagi buru-buru, ada kelas mendadak,” suara itu milik Joshua, gebetannya yang sekarang menatapnya dengan wajah cemas sambil mengulurkan tangan.
“Oh, Joshua… Iya, nggak apa-apa. Makasih ya,” Jisoo menerima uluran tangan Joshua dan berdiri dengan sedikit kikuk. “Ya udah, sana ke kelas.”
“Ya udah ya, Jis, gue pamit,” ucap Joshua sambil beranjak pergi, meninggalkan Jisoo yang masih malu-malu.
Tapi, mendadak Jisoo merasa ada sesuatu yang harus dia lakukan. Meski malu, dia memberanikan diri.
“JOSH!” teriak Jisoo tiba-tiba. Teriakannya menggaung di seluruh perpustakaan, membuat semua orang menoleh ke arahnya, termasuk Joshua yang langsung berhenti dan berbalik dengan tatapan bingung. Jisoo cepat-cepat berjalan mendekat, wajahnya memerah menahan malu karena menjadi pusat perhatian.
“Kenapa?” tanya Joshua dengan alis terangkat.
“Besok... free nggak?” tanya Jisoo sambil berusaha menenangkan diri.
Joshua berpikir sejenak sebelum menjawab, “Free sih, sekitar jam 3 sampai 5, kenapa?”
“Mau minta temenin ke Gramed, bisa? Jeonghan masih marah soalnya…”
Joshua tersenyum tipis, seolah mengerti situasi Jisoo. “Ooh, bisa banget. Kabarin aja besok kalau udah siap, gue jemput.”
Jisoo mengangguk dengan senyum lebar, saking senangnya, dia sampai lupa menutup mulutnya yang menganga. Joshua hanya bisa tersenyum gemas melihat ekspresi polos Jisoo.
“Ya udah ya, Jis, gue ke kelas dulu,” ucap Joshua, lalu pergi meninggalkan Jisoo yang masih senyum-senyum sendiri.
Astaga, dia lupa dia mau nemuin jeonghan ke gedung teknik, tapi dia mendadak mager juga si buat jalan ke sana, berakhir jisoo memilih buat balik ke rumah aja.
Sekarang Jisoo sedang berdiri di depan papan pengumuman itu, matanya tertuju pada tulisan "Buka loker untuk Barista". Dia menghela napas, bimbang antara mau daftar atau nggak. Setiap bulan, ibunya cuma bisa ngirim sejuta, itu pun kadang cuma 500 ribu. Buat Jisoo, uang segitu jelas nggak cukup. Meskipun tinggal di rumah bibi, tetap saja ada kebutuhan yang harus dia penuhi seperti buku wajib dari dosen, biaya print, ongkos pulang-pergi. Sekarang aja, dia lagi jalan kaki karena nggak punya cukup uang buat naik ojol. Nggak mungkin juga dia terus-terusan bergantung sama Jeonghan, apalagi sekarang mereka lagi perang dingin.
Sambil meremas tas ransel yang mulai kusam, Jisoo mikir keras. Dia tahu, dengan uang bulanan yang pas-pasan, hidup di Jogja nggak semudah yang dibayangkan. Terkadang dia harus mengorbankan makan atau menghindari beli barang yang sebenarnya dia butuhin.
‘Kalau aku kerja, mungkin bisa bantu sedikit buat nambahin uang jajan dan meringankan beban bibi. Lagian, aku juga nggak harus sering-sering minta tolong sama Jeonghan,’ pikirnya.
Tapi dia juga takut. Takut nggak bisa ngatur waktu antara kuliah dan kerja, takut kesehatan jadi drop karena terlalu capek. Terlebih lagi, dia takut gagal dan malah ngerepotin orang lain.
Ibunya sempat bilang di telepon, "Ibu tahu kamu bisa kuat, tapi jangan terlalu memaksakan diri. Fokus aja kuliahmu."
Jisoo tahu dia harus bertahan, dan kadang itu berarti harus ngambil langkah yang mungkin dia sendiri nggak yakin. Dia ngeluarin ponselnya, mulai mengetik pesan ke nomor yang ada di papan itu.
‘Ya udahlah, coba aja dulu. Mungkin ini jalanku buat bertahan,’ pikir Jisoo sambil mencoba menenangkan diri. Hidup di Jogja bukan tentang kemewahan, tapi tentang gimana dia bisa terus maju, walaupun kadang harus ngos-ngosan.
---
Setelah sampai di rumah bibi, Jisoo duduk di kamar sambil merasa lelah setelah jalan kaki hampir 20 menit. Dia tahu dia harus minta maaf ke Jeonghan. Dengan rasa cemas, dia membuka aplikasi pesan dan mulai mengetik.
Anda
Han, maaf banget soal ML yang aku hapus kemarin. Aku beneran nggak tahu kalau itu penting banget buat kamu. Aku nggak sengaja dan bener-bener nyesel. Maaf kalau aku bikin kamu marah dan kesal. Aku bener-bener nggak mau bikin masalah.Setelah mengirim pesan, Jisoo menunggu dengan gugup. Beberapa menit kemudian, ponselnya bergetar dan muncul balasan dari Jeonghan.
Johan
Jis, gue ngerti kok. Gue juga mungkin kemarin agak lebay. Gue cuma lagi stres dan capek. Tapi, gue appreciate banget kamu yang mau minta maaf dan paham pentingnya game itu buat gue. Nggak apa-apa, kita bisa atur lagi nanti. Thanks ya!Jisoo merasa lega setelah membaca balasan Jeonghan. Dia tahu temannya masih agak kesal, tapi setidaknya mereka bisa bereskan semuanya.
Anda
Makasih, Han. Aku bener-bener minta maaf. Aku bakal lebih hati-hati ke depannya. Semoga kita bisa ngobrol lebih baik lagi dan semuanya bisa baikan.
Johan
Oke, Jis. Nanti kita bisa ngobrol lagi kalau ketemu. Selamat malam, ya!Jisoo menutup ponselnya dengan perasaan lebih tenang. Dia siap untuk beristirahat saat ini, sebelum dia harus membantu bibi nya membersihkan rumah dan memasak sore Nanti, dia selalu berharap ke depannya akan lebih baik dari sekarang dan kemarin.
Jangan lupa vote gays
Terimakasih!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bayang Bayang di Jogja
FanfictionBagi banyak orang jogja merupakan kota yang indah dan nyaman untuk di tinggali, namun tidak dengan Kim jisoo yang memiliki banyak kenangan buruk di sana. Aku berharap tidak ada lagi yang mengenali ku ~ Kim jisoo